Tupperware, merek ikonik wadah makanan yang telah dikenal luas dengan klaim keamanan produknya, resmi menutup operasionalnya di Indonesia pada Januari 2025 setelah mengajukan kebangkrutan global. Penutupan ini membuka ruang bagi banyak produk alternatif terutama buatan luar negeri seperti China yang belum tentu memenuhi standar keamanan bahan makanan. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat memahami jenis plastik yang berbahaya bagi kesehatan serta panduan dari lembaga dunia seperti WHO, CDC, dan AAP mengenai keamanan plastik untuk makanan. Artikel ini mengulas secara sistematis keamanan bahan plastik, bahaya yang ditimbulkan, serta pilihan alternatif yang direkomendasikan.
Tupperware Tutup setelah selama puluhan tahun menjadi simbol inovasi penyimpanan makanan yang aman dan efisien di berbagai rumah tangga Indonesia. Dengan desain tahan lama dan bahan yang diklaim bebas BPA, merek ini berhasil memperoleh kepercayaan luas. Namun, pada awal 2025, Tupperware Indonesia resmi menutup operasionalnya, sejalan dengan krisis finansial global yang dialami perusahaan induknya.
Penutupan ini membuat masyarakat beralih ke merek alternatif, banyak di antaranya berasal dari produsen luar negeri seperti China yang belum tentu memenuhi standar keamanan bahan makanan. Dalam situasi ini, penting untuk mengevaluasi ulang bahan dasar wadah makanan, terutama plastik, dan memahami risiko serta rekomendasi ilmiah yang dikeluarkan oleh lembaga internasional kesehatan terkait.
Sebelum Tupperware, telah memproduksi berbagai jenis wadah dari plastik yang telah disertifikasi aman, seperti polypropylene (kode daur ulang #5) dan polyethylene (#2 dan #4), yang termasuk dalam kategori plastik food grade dan bebas dari senyawa berbahaya seperti BPA (Bisphenol-A). Mereka juga telah menyesuaikan standar produksi dengan regulasi keamanan bahan makanan di berbagai negara.
Meski demikian, konsumen tetap harus berhati-hati dalam penggunaan, terutama saat memanaskan makanan dalam microwave atau menyimpan bahan panas, karena penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan pelepasan senyawa kimia dari permukaan wadah. Bahkan wadah yang aman tetap berpotensi menjadi sumber migrasi kimia bila tergores, berubah warna, atau digunakan melebihi usia pakainya.
Plastik yang tergolong tidak aman umumnya mengandung senyawa kimia seperti Bisphenol-A (BPA), ftalat, dan styrene, yang biasa ditemukan pada jenis plastik polikarbonat dan polistirena dikenal dengan kode daur ulang #6 dan #7. Ketika plastik ini digunakan untuk menyimpan makanan, terutama makanan panas atau yang dipanaskan dalam microwave, senyawa berbahaya tersebut dapat bermigrasi ke dalam makanan dan minuman. Proses pelepasan ini meningkat jika wadah tergores, aus, atau terkena suhu tinggi, menjadikannya sumber paparan bahan kimia toksik yang tidak disadari.
Dampak dari paparan senyawa ini telah menjadi perhatian utama berbagai badan kesehatan dunia. BPA dan ftalat diketahui bersifat sebagai pengganggu endokrin (endocrine disruptor), yang dapat mengganggu keseimbangan hormon dalam tubuh. Hal ini berisiko menyebabkan masalah kesuburan, pubertas dini, gangguan perkembangan otak pada anak, serta peningkatan risiko kanker payudara dan prostat. Sementara itu, styrene yang terdapat dalam plastik polistirena juga dikaitkan dengan efek neurotoksik dan karsinogenik. Oleh karena itu, penting untuk menghindari penggunaan plastik jenis ini, khususnya dalam konteks penyimpanan atau pemanasan makanan.
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), paparan jangka panjang terhadap bahan aditif plastik dalam makanan dapat berdampak buruk pada kesehatan anak-anak. World Health Organization (WHO) dan Center For Disease Control and Prevention (CDC) juga menekankan pentingnya membatasi penggunaan plastik dalam pemanasan makanan dan menyarankan konsumen memilih bahan yang tidak melepaskan senyawa kimia saat digunakan untuk makanan panas.
Bahaya Produk Pengganti Tupperware Buatan China