Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

3 Dissenting Opinion Hakim MK adalah Suara Rakyat Indonesia?

23 April 2024   07:39 Diperbarui: 25 April 2024   16:30 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali dalam sejarah hukum di Indonesia, sidang sengketa pilpres 2024 terjadi dissenting opinion dalam sidang  Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pilpres. Penolakan MK terhadap para pemohon itu diwarnai dengan dissenting opinion yang diajukan tiga orang hakim MK diantaranya adalah Prof DR Saldi Isra SH, Prof Dr Enny Nurbaningsih SH dan Prof DR Arief Hidayat SH. Apakah penolakan atau dissenting opinion ini mewakili wajah dan suara  masyarakat Indonesia dalam menyikapi Pemilu 2024. Pemilu ini ternyata banyak dipermasalahkan berbagai pihak dalam pelanggaran etika konstitusi dalam nepotisme, pelanggaran demokrasi cawe-cawe Kepala negara, keterlibatan ASN dan pengaruh penggelontoran bansos yang tidak biasa jelang pemilu 2024.  

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda alias dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kontras jika dibandingkan Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 yang dilaksanakan setelah Orde Baru runtuh. Menurut Arief, baru kali ini ada dugaan intervensi kuat dari kekuasaan eksekutif yang jelas-jelas mendukung kandidat tertentu. Perbedaan ini terletak pada adanya dugaan intervensi kuat dari sentral cabang kekuasaan eksekutif yang cenderung dan secara jelas mendukung calon tertentu dengan segenap infrastruktur politiknya. Arief Hidayat menilai sikap presiden dan aparaturnya yang tidak netral dan mendukung kandidat tertentu telah menyebabkan kegaduhan dan hiruk "Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan. Sementara itu, soal presiden boleh berkampanye juga merupakan justifikasi yang tidak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka.

Sementera itu Prof DR Saldi Isra SH, dalam kesempatan itu membacakan dua alasan yang membuat dirinya dissenting opinion adalah karena penyaluran dana bantuan sosial atau bansos yang dilakukan oleh pemerintah dijadikan alat untuk memenangkan salah satu peserta Pilpres dan keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara negara dalam memenangkan salah satu peserta Pilpres. Sedangkan Prof DR Enny Nurbainingsih SH, mengatakan dalam pembacaan dissenting opinion, meyakini telah terjadi ketidaknetralan yang sebagain berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah. Bahkan Enny, dengan tegas mengatakan untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya MK memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

Tampaknya alasan atau pertimbangan hukum dissenting opinion ketiga hakim MK yang banyak diapresiasi banyak pakar hukum, sosial dan politik itu, juga banyak disuarakan oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan puluhan perguruan Tinggi bergengsi di tanah air, ratusan guru besar yang dihormati dan puluhan ribu mahasiswa bergerak bersama sama berteriak menuntut adanya pelanggaran etika konstitusi dan pelanggaran demokrasi yang demikian parah yang menjadi dasar untuk menjadikan pemilu terburuk sepanjang sejarah.

Meski keputusan MK menolak tuntutan pemohon dengan memastikan bahwa secara hukum tidak terbukti Jokowi cawe-cawe, nepotisme, pelanggaran bansos dan keterlibatan ASN dalam pemilu 2024, tetapi ternyata suara itu tidak bulat. Apalagi masih banyaknya kecurigaan intervensi dari pihak tertentu pada MK yang tercoreng namanya hingga telah dijuluki masyarakat sebagai "Mahkamah Keluarga". Banyak pengamat hukum dan tokoh bangsa memberikan apresiasi kepada 3 guru besar yang telah melakukan dissenting opinion tersebut. Ternyata masih ada moral mulia dan hati bersih hakim di Indonesia dalam menegakkan keadilan ditengah  coreng moreng dan semakin buruk citra hukum di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Sebaliknya apakah suara 5 hakim MK lainnya yang menolak  tuntutan pemohon juga merupakan gambaran suara rakyat atau justru gambaran intervensi dari kekuatan tertentu terhadap hakim MK. Kualitas penilaian keputusan jumlah hakim MK sulit dinilai dengan perhitungan matematika biasa. Bila 1 hakim berubah pikiran atau hakim MK dissenting dan non Dissenting 50%-50% maka akan terjadi kebuntuan dan kekacauan hukum, sosial, politik  yang luarbiasa. 

Tampaknya apapun keputusan MK dan siapapun dissenting opinion hakim MK akan terus menjadi perdebatan dan polemik di antara rakyat negeri demokrasi terbesar dibumi ini. Apapun perdebatan itu tidak mudah mencari kebenaran yang hakiki, karena semua pihak selalu bersikeras kubu yang paling benar. Semua hakim mengaku yang paling mewakili suara Tuhan.  Bila ada yang menyudutkan mereka seolah ada yang selalu benar, padahal kebenaran tidak pernah absolut. Kita lebih cenderung untuk mencapai kebenaran melalui kesalahan daripada melalui kebingungan. Musuh terbesar manusia adalah kebenaran yang disembunyikan. Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Bukan kebenaran yang membuat manusia menjadi besar, tetapi manusia yang membuat kebenaran menjadi besar.  Kebenaran suatu hal tidaklah ditentukan oleh berapa banyak orang yang mempercayainya. Kebenaran yang setengah-setengah tetaplah kebohongan.

Hal penting yang harus dipahami, ditolaknya tuntutan para pemohon bukan berarti dosa pelaggaran etika dan pelanggaran demokrasi itu dianggap benar. Semoga pelanggaran etika konstitusi dan pelanggaran demokrasi yang dianggap benar itu bukan menjadi preseden buruk bahwa sesuatu perilaku buruk pemimpin dianggap perilaku halal di masa mendatang. Di era akhir jaman ini tampaknya tidak mudah menjadikan rujukan atau referensi sebuah kebenaran. Suara terbesar belum tentu kebenaran,  mereka yang marah ketika mendengar kebenaran adalah mereka yang hidup dalam kebohongan. Berjalanlah sesuai dengan kata hatimu selagi masih dijalan yang benar. Satu kebohongan sudah cukup meragukan berjuta kebenaran. Bila dihatimu ada bibit bibit kebaikan maka akalmu akan lebih mudah menilai mana yang benar dan mana yang salah. Bila moralmu didominasi oleh kemuliaan maka sikapmu akan lebih sulit menutupi dan menerima kebohongan dan ketidakadilan yang mendominasi kehidupan manusia dalam dasa warsa terakhir ini. 

Apakah moral dan hati anda berpihak pada pro dissenting opinion atau kontra dissenting opinion ? Hati dan moral andalah yang akan menilainya sendiri.  Sebanyak apapun kebohongan, tidak akan mampu menutupi kebenaran, kebohongan hanya menunda kebenaran namun tidak menghilangkannya. Seringkali kita merasa benar dalam sekali pandang, padahal kebenaran yang seperti itu selalu dibatasi oleh sudut pandang maupun kemampuan mata kita sendiri. Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar, dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan. Selamat Prabowo-Gibran, semoga suara rakyat dan 3 dissenting opinion Hakam MK tidak menjadi beban psikologis, sosial dan politik dalam 5 tahun mendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun