Beberapa kali gue selalu menghindari postingan isu-isu sosial politik di medsos, FB khususnya, biasanya gue selalu menulis di blog pribadi atau saluran media lain misal kompasiana dan lainnya. Namun, beberapa hari ini banyak teman yang menanyakan ke gue tentang isu yang berkembang. Yes, Somad, ustad Abdul Somad! Sebagai akademisi ilmu sosial, memang sudah seharusnya sebagai tanggung jawab moral untuk bersuara.
Gue pas ngampus memang aktif dialog soal lintas agama. To the pint aja, semenjak ledakan pilgub, dilanjutkan dengan pilpres, nafsu dan birahi politik yang liar terus menggerogoti sel-sel kebangsaan. Clash of civilization (Hutington,1996) adalah teori yang dirasa cocok untuk menjelaskan permasalhan ini.
Persoalan lain, apa yang terjadi di negeri kita tidak lepas dari dinamika politik global, raising kelompok Kanan Extrim dan populisme kita dapat melihat Trump di Amerika, Brexit di UK, ada Marine Le Pen di Prancis, Jrg Meuthen, Alexander Gauland di Jerman atau kita bisa melihat Catalunya atau hari ini adalah Hongkong. Ini semua adalah dinamika politik dalam negeri di negara lain, yang tidaklepas dari dinamika politik global yang satu sama lain saling mempengaruhui di karena adanya konstruksi norma, ide dan kepentingan.
Namun, negara kita menghadapi hal lain. Yes, Si Somad. Boleh tidak kalo gue menggunakan kata manusia ini keji, mengerikan dan boleh ya sedikit kasar menjijikan. Rasanya bisa kita sandingkan beliau dengan Zakir Naik. Spceeh yang diberikan sudah hampir muncrat di luar nalar kebangsaan dan kemanusiaan. Pesan yang disampaikan tidak lain menghardik, menghina dan menjejalkan kebencian atas dasar agama. Mungkinkah boleh dekatkan mereka dengan Hitler? silahkan teman-teman berpendapat.
Gue dilahirkan dalam lingkup NU, sekolah di Muhammadiyah, berteman dengan teman"" Budhis dan Kong Hucu dan Tao, hampir enam bulan di bali belajar tentang Hindu dan ke Pure, gue sering dialog dengan teman"" Katholik dan Protestan dan di sini tidak jarang gue ke Katerdal, kapel'' Orthodox, Sinagog dan tentu gue ke Masjid dan sudah pasti dialog dengan teman"" yang tidak memiliki kepercayaan, Atheis dan kepercayaan lainnya.
Jika teman-teman membaca Karen Amstrong series, maka akan menemukan. Tidak lain dari yang lain, pesan agama adalah kebaikan. Bukan menghardik!
Gue tidak menuduh beliau radikal, namun kita tahu bagaimana bahwa saat ini ada gempuran yang luar biasa dahsyat, seperti letupan nuklir yang hendak menghancurkan identitas bangsa dengan cara dalih agama. Dogma!
Jika kita lupa, mari sama-samasaling ingatkan,bahwa bahaya kebencian rasial dan agama sangat merusak secara brutal. Ada tragedi Ambon, Sampang, Perang 30 tahun Wesphalia, Perang Salib, ISIS, Taliban, Al-qaeda, Boo Haram, JAD, Bom bali 1 2 dantragedi Surabaya.
Jauhkan ide-ide radikal yang mengerikan! Negeri kita adalah surga para pembumi, bukan ladang liar para pembunuh yang tidak manusiawi, barbar dan menjijikan.
KIta menyaksikan bahwa kata "hijrah" dikonstruksikan untuk menghardik orang"" yang memilih identitas bangsa, persepsi dibangun bahwa hijab lebih baik dari pakaian tradisional, seperti kebaya. Wayang, Jaran kepang, reog dikatakan tidak sesuai dengan syariat. Ini adalah penghiataan terbesar terhadap local wsidom dan identitas bangsa. Lalu mereka mau mengubah indahnya warna-warni kita menjadi hitam-hitam tanpa gradasi? Terpujilah Perun!hentikan mereka! Ibu Pertiwi selamatkan kami!
Lebih baik kita isi diskursus publik dengan kasus lingkungan, masih ada bocah kelaparan di depok yang hingga tertidur, isu pendidikan kita yang masih sangat kurang, kesehatan, R&D dan AI dari pada urusan agama melulu dan mengkafir-kafirkan.
Ingat bahwa semua agama adalah barang impor, Yahudi, Islam dan Kristen kita impor dari Timur Tengah, Tao, Budha, Hindu dan Konghucu kita impor dari Asia selatan dan Timur. Sedangkan kita sudah memiliki kepercayaan lokal yang sudah hidup ribuan tahun lalu sebelum mereka hadir, cintalah produk-produk dalam negeri. Bukan malah dihasut dan gusur.