Membaca sebuah artikel yang dimuat tanggal 18 Februari 2013 mengenai Pungli yang terjadi di Balaikota, membuat saya ingin menceritakan sesuatu.
Singkatnya, perusahaan saya kebetulan hendak membuat sebuah dokumen yang disebut UUG (Undang-undang Gangguan). Kebetulan saya yang ditugaskan mengurus permohonan dokumen tersebut, atas perintah atasan saya segera ke kantor walikota Jakarta Pusat.Kemudian pegawai berinisial "A" yang ketika itu saya temui, segera menyerahkan formulir permohonan perijinan Undang-Undang Gangguan dan menjelaskan persyaratan dokumen apa saja yang harus saya lengkapi, dan tak lupa menyertakan nomor ponsel pribadi miliknya, dengan harapan setelah dokumen persyaratan dilengkapi saya bisa menghubunginya dengan mudah, dan sudah diwanti-wanti “nanti kalau mau datang lagi telepon atau sms saya dulu ya..”
Setelah melengkapi dokumen yang diperlukan, dua hari kemudian jam 09:30 pagi saya datang ke kantor walikota, sengaja saya tidak confirm terlebih dahulu, maksudnya biar surprise gitu,sesampainya disanaSaya celingukan mencari sosok berinisial "A" tersebut yang ternyata belum datang, hiks.. saya sampai ‘menelan ludah‘ secara jam sudah menunjukan 09:45 waktu itu dan abdi negara yang satu ini belum juga menempati “kursi panasnya” ckckck… nggak Wow banget deh. 15 menit berlalu akhirnya yang bersangkutan datang, dan seperti yang saya duga beliau membahas kenapa saya tidak menghubungi beliau dahulu sebelumnya, saya bilang saja “lupa pak” padahal dalam hati saya bilang “surprise” hehehe… Setelah saya serahkan dokumen yang saya bawa saat itu, beliau menjelaskan bahwa setelah ini akan ada Survei lapangan ke kantor saya untuk mengecek kebenaran data yang diberikan. Dan dalam percakapan tersebut tak lupa beliau menyelipkan sebuat “amanat” seperti ini : "...yaa.. nanti buat orang yang survei itu ibu kasih uang rokok lah, berapa gitu ya bu.." pelaann sekali diucapkanya, tapi jelas.
Sehari setelah itu bapak "A" datang ke kantor saya dengan ditemani seorang lelaki yang (menurut pengamatan saya) sepertinya bukan PNS entah siapa dia. singkatnya setelah survei bapak-bapak tersebut menyampaikan bahwa untuk permohonan dokumen UUG di perlukan biaya, yang dihitung berdasarkan luas bangunan m2, dan masih menurutnya bahwa biaya per m2 adalah sebesar Rp. 3.000.000,- dikarenakan bangunan kantor saya 300 m2 ,maka uang yang harus kami siapkan adalah Rp. 9.000.000,- ... WOW.. nilai yang fantastik untuk sebuah dokumen.
Ketika saya tanyakan kenapa biayanya begitu mahal, beliau beralibi bahwa pembuatan dokumen tersebut melibatkan 11 instansi pemerintah, yang meliputi walikota, kelurahan, kecamatan, Polri, dan sebagainya. Tapi saya tidak serta merta percaya dengan hal tersebut, langsung saja saya searching google dan mencari biaya Resmi untuk pembuatan sebuah dokumen UUG.
ups... pada hari itu sebenarnya saya sudah menyiapkan uang Rp. 300.000 untuk bapak-bapak yang Survei tersebut, tapi setelah saya mendengar angka 9 juta, saya jadi mengurungkan diri untuk menyerahkan nya, lebih baik uang tersebut saya kembalikan lagi ke Finance hehe..
Yup.. kembali ke biaya Resmi pembuatan dokumen UUG, setelah meminta bantuan om Google, ternyata biaya yang di perlukan jauh lebih murah dan lebih manusiawi, hanya sebesar Rp. 300.000,- untuk ukuran 201 – 400 m2 . Berikut saya sertakan kutipan dari Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 tahun 2006, tentang Retribusi Daerah, di Paragraf 4, pasal 13 :