Pagi ini di kamar berukuran 3x3 meter persegi dengan suhu 27 derajat celcius, pikiranku masih dipenuhi dengan semua bayangan tentang kamu. Semakin hari entah kenapa rasanya menjadi semakin berat, “Tuhan, jika memang dia yang terbaik untukku maka kembalikan perasaannya seperti yang lalu. Dan jika dia bukan yang terbaik untukku, Kau pasti tau Tuhan bagaimana cara membolak-balikkan perasaan seseorang dengan sangat mudahnya, maka permudahkanlah aku menerima baik dan buruknya dia sehingga dia menjadi baik untukku.”
Pagi ini pun setitik embun menetes dari mata, menginjak minggu ke-3 sejak cerita itu sudah menjadi sekedar kenangan. Aku mulai coba menata mimpi, berdiri meskipun masih harus dipegangi. Tapi sedikit saja ruang kegiatan ini kosong, aku kembali teringat. Lalu diam-diam mengusap airmata dan mendamaikan hati.
Percakapan singkat dengan Ibu di pagi ini, celotehan adik kecilku, dan obrolan-obrolan kami tentang nilai-nilai pewayangan jawa. Tidak lantas semua itu dapat mengalihkan perhatianku, aku tetap terdiam pada titik yang sama, titik dimana waktu tidak mampu mengubah kata kita menjadi aku dan kamu, dari sudut pandangku.
***
Aku beranjak dari kasur, menimbang keputusan besar di pagi hari yang harus aku lakukan. Berdadan rapi dan dengan bersemangat menyambut tumpukkan pekerjaan di kantor yang selama dua minggu ini terabaikan, bukan karena kadar kemalasan yang meningkat tentunya.
Sepotong sandwich dan segelas susu green tea hangat menjadi modal di hari ini, tidak lupa membawa laptop kesayangan, handphone, lengkap dengan alat-alat untuk mengisi baterainya. Hari ini bisa dipastikan lebih panjang dari yang sudah-sudah.
Sampai juga di kantor, menyapa satu persatu wajah. Memunculkan aura menyenangkan tentu bukan hal yang mudah, terlebih setelah dua minggu belakangan diri ini tampak menjaga jarak dengan tulisan besar di dahi, “Jangan tanya!”.
Bangku yang sama ketika aku membaca surat elektronik itu pertama kali, perasaan membuncah tidak tau harus berkata apa. Membacanya berulang-ulang, bukan karena bukan bahasa ibu yang digunakan tapi lebih kepada sebuah pertanyaan “Apakah aku salah mengartikan deretan kalimat menyakitkan yang terbaca ini?”
Sampai akhirnya ada bangku kosong lainnya, jauh dari bangku sebelumnya. Si empu bangku meninggalkannya selama tiga hari, lumayan sekali pikirku untuk mengusir bayang-bayang ilusi. Dan hari-hari berikutnya, aku akan mencari bangku kosong lainnya untuk tidak mengingat hal lampau yang terjadi dan sangat kuhindari memorinya.
Siapa pula yang akan menyangka jika semua hal akan berakhir semudah dan secepat ini? Jadi teringat lagu Tangga, “Cinta tak mungkin berhenti, secepat saat aku jatuh hati. Jatuhkan hatiku kepadamu, sehingga hidupku kan berakhir…”
Sekarang semua orang di sekitar memiliki satu kalimat yang seolah mereka sepakati bersama, “Kamu yang sabar ya, tenang saja nanti pasti akan ada gantinya, yang lebih baik.” Aaaah mereka pikir mudah menggantikan seseorang yang sudah bertahta dalam hati dan pikiran kita? Mungkin ini letak kesalahanku, menahtahkan seseorang yang belum seharusnya bertahta. Maafkan aku, Tuhan.
***
Jika aku punya waktu, mungkin aku tidak akan mengabaikan segala kemungkinan ketika mengatakan kata ‘bersedia’, ketika kamu datang padaku dengan keyakinanmu
Jika aku punya waktu, mungkin aku tidak akan sesulit ini ketika ingin meninggalkan kenanganmu yang sebenarnya sangat singkat berjalan denganku
Jika aku punya waktu, mungkin aku akan dengan mudahnya mencari penggantimu, seseorang yang lebih baik seperti yang orang-orang bilang padaku
Sayangnya aku tidak punya waktu untuk semua itu, bukan karena aku tidak mampu tapi melepaskan bayangmu adalah hal tersulit dalam hidupku.
(SQ)*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI