/I/Â
Aku selalu lebih suka memperhatikan sosok yang melintas lewat punggungnya ketimbang memandang langsung wajahnya terlalu lama. Itu mengingatkanku akan seseorang yang berada sangat jauh. Seseorang yang dengan entengnya menampar dan melempar kata-kata kasar --yang ku harap tidak pernah terjadi- di acara makan malam keluargaku. Aku tidak ingin menikah dengan seorang 'Playboy'. Ia mengatakan itu persis setelah menampar pipi kananku. Dan, panasnya, pedisnya --pun masih terasa sampai sekarang.
"Kamu mau makan apa?"
"Apa saja." Asalkan sosok yang memunggungiku itu masih berada disana, ditempatnya duduk dengan seorang anak perempuan kecil yang lucu. Entah kenapa, wajah anak itu sangat familiar.
"Pak, daging babi tiga lapisnya satu. Dan, ini, kamu mau makan apa? Sambal terong, mau? Sambal terongnya satu ya, pak! "
Seorang pramusaji menghampiri kursi makan, di aturnya senyum dan buku tamu yang hanya selayang pandang melewati pelipis mataku, sebelum ku alihkan lagi menerawang sosok dari balik punggung yang ada di meja lain.
"Babinya di panggang matang ya, pak!"
Aku menoleh lagi kearah pramusaji. Di pikiranku, terjadi macam-macam. Kenapa dia terlalu lama memesan. Maksudku Shindi. Bukankah babi panggang tiga lapis itu menu yang selalu dipesannya setiap berada direstoran ini? Atau, dia mau melihat-lihat, dan mencoba menu lain? Ah, tidak mungkin.
"Kita makan babi lagi, ya!" Â Â Â
Kemana perginya pemilik punggung dan anak perempuan itu tadi ya?
/II/