Hujan mengguyur deras saat saya dan keluarga memasuki kota Wonosobo setelah sekitar 3-4jam perjalanan naik mobil dari Jogja.
Kalo nggak di tekad-tin saya belom tentu bisa datang ke sana ngajak keluarga soale memang Wonosobo ada di tengah pulau jawa yang belum punya nbandara dan tidak ada jalur kereta api.
Karena letaknya bukan di jalur utara atau selatan pulau jawa yang ramai maka gak segampang itu dikunjungi. Sebab walaupun jalannya sudah bagus dan cukup lebar untuk dilalui bus dan truk secara berpapasan, kita harus menempuh perjalanan lagi selama kurang lebih 3-4 jam dari kota besar terdekat yaitu Jogja atau Semarang.
Wonosobo adalah sebuah kota kecil yang berada tepat di kaki gunung Dieng sehingga hawa disana dingin banget sebagai akibatnya tidak ada hotel yang menyediakan ac alias pendingin ruangan sebagai fasilitas di kamar hehheee, padahal (sekarang) kalo kita berada didalam kamar suhu di dalam kamar itu begitu panas sehingga saya gak bisa tidur karena sumuk.
Sebagai kota pegunungan tentu objek wisata disana adalah indahnya alam pegunungan yang terhampar hijau apalagi kalo sehabis dibasahi oleh hujan maka warna alam menjadi semakin tegas.
Tepat jam 8 pagi keesokan harinya kami sudah siap untuk mengunjungi berbagai objek wisata yang berada di pegunungan Dieng, dengan dikawal seorang senior saya sekaligus sebagai penunjujuk jalan dan tour guide selama kami berkeliling di dataran tinggi Dieng.
Dari kota Wonosobo ke pegunungan Dieng memakan waktu perjalanan kurang lebih sekitar 1 jam, tapi pemandangan yang kita lihat selama perjalanan ke sana sungguh eksotis sekali, pemandangan alam yang hijau terukir indah disepanjang jalan.
Sebagai daerah yang subur Wonosobo dikenal sebagai daerah penghasil kentang dan kubis, di kiri dan kanan jalan yang kami tempuh berjajar lahan-lahan petani yang sudah ditanami kedua tanaman itu.
Bukan hijaunya alam saja yang bikin saya terkesima tapi saya lebih terkesima oleh lahan yang digunakan oleh penduduk sekitar untuk bercocok tanam kentang dan kubis.
Lahan pertanian itu ada dilereng gunung Dieng yang terjal, jadi para petani harus membuat lahan dilereng gunung itu dulu baru bisa bercocok tanam.
Lereng gunung Dieng yang saya lihat dari kejauhan itu nampak seperti gunung yang ditatah atau di pahat rapi, bentuknya sekilas mirip anak tangga dimana di anak-anak tangga itulah para petani bercocok tanam.