Karena terjalnya lereng maka para petani hanya bisa membuat lahan bercocok tanam dengan lebar sekitar 1 meter-an dan memanjang mengikuti alur dinding gunung.
Nah di lahan selebar sekitar 1 meter-an itulah para petani berjuang untuk kehidupan mereka. Jadi bener-bener nampak bagai tangga.
Mereka menggeret air dari bawah, dari sungai terdekat dan mengalirkannya ke lereng yang terjal yang sudah mereka pahat itu dengan menggunakan pipa-pipa pralon yang menjuntai panjang berkilo-kilo yang nampak seperti ular dari jauh.
Mereka mengolah tanah sambil berpegangan supaya tidak jatuh, mereka menyiram lahan sambil berpegangan supaya tidak tergelincir.
Saya sampai geleng-geleng kepala menyaksikan perjuangan mereka itu dalam bertani. Apalagi istri saya sempat nyeletuk kalo kubis itu adalah hasil bumi yang paling murah sedunia padahal pemeliharaannya mulai dari sebar bibit sampai panen begitu njlimet.
Menurut istri saya yang sehari-hari berjualan pecel, dia kalo beli kubis sekilo cuman 2.500 rupiah sekilo dan kalo beli kentang harganya sekitar 10.000 ribu sekilonya.
Dan harga ini adalah harga di Surabaya kota dimana kami tinggal, ini artinya kalo di Dieng kubis dan kentang bener-bener murah. Bisa lebih mahal segelas kopi dari pada harga kubis dan kentang sekilo.
Kondisi ini masih normal (kerja keras yang sangat keras dari para petani itu masih normal menurut mereka) sebab ada lagi situasi yang lebih parah.
Parahnya situasi ini rutin terjadi berdasarkan informasi dari senior saya yang jadi tour guide kami, dalam setahun pasti ada suatu masa di beberapa bulan tertentu dimana Wonosobo dan Dieng menjadi sedemikian dinginnya sehingga bisa turun hujan es yang bikin tanaman kentang dan kubis itu beku seperti berada dalam freezer.
Dan bila ini terjadi maka panen para petani akan hancur sebab kentang dan kubis mereka rusak.
Wiii serem betul rasanya mendengar penjelasan dari senior ini. Untung saya adalah seorang penggemar kentang apalagi kalo digoreng, sambil duduk nonton tv atau baca buku gak terasa bisa 3kg saya santap sendiri.