Hutan. Bersama air (khususnya dalam bentuk hujan), ditentukan menjadi tonggak penyangga kehidupan bumi. Maka, tidak aneh dan sangatlah logis, ketika ia dikerdilkan, dilumpuhkan, sampai dibunuh perlahan-lahan, maut melanda bumi secara progresif dalam pelbagai bentuk. Wajar. Berangsur tapi pasti, air, yang semakin kehilangan tandemnya, berupaya sekuat tenaga menjaga bangunan kehidupan di planet biru ini agar tetap tegak. Namun, kesia-siaan tidak bisa dihalang-halangi. Tetap nyata dan mencolok. Malahan, tindak pengambilalihan itu justru menjadikan air tampak bak tiran keji, nan melanda dan menyapu semua kehidupan yang dijumpainya, menyingkirkannya ke jurang maut. Sesuatu yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh sang banyu sendiri....
Sudah jelas, semua itu sedikitpun bukan salah air. Apalagi kesalahan hutan. Manusialah yang mesti bertanggung-jawab sepenuhnya, sebab semua hanyalah akibat dosa manusia belaka.
Telah menjadi ketetapan Ilahi yang berkekuatan hukum tetap, bumi Nusantara-lah salah satu tempat terutama yang dikhususkan untuk menjadi situs pewadah tonggak kembar kehidupan bumi tersebut. Oleh sebab itu, wajah Nusantara menjadi begitu elok. Dan kecantikan itu semata-mata dibentuk hanya oleh hamparan hutan nan hijau royo-royo yang memenuhi semua pulau, yang sempurna berkasih-kasihan dengan aliran sungai-sungai, tenangnya danau-danau, dan megahnya lautan Wawasan Nusantara. Sebuah kecantikan yang menggambarkan kekayaan dahsyat dan potensi kemakmuran yang dikandung dalam perutnya, jauh di bawah kerak bumi. Anak-anak manusia yang hidup di atasnya bersukacita bersama para satwa nan tak terbilang populasi dan ragamnya. Namun, wahai! Segelintir oknum dari himpunan manusia yang kemudian menamakan diri "bangsa Indonesia" ini mengembangkan keserakahan di dalam hatinya. Lebih celakanya, oknum-oknum ini memangku sebagian terbesar kuasa, baik itu kuasa atas kepemimpinan, kuasa atas hukum, maupun kuasa atas ekonomi negeri. Mereka dibutakan oleh hawa nafsu mereka sendiri untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kekayaan dalam segala rupa dan bentuk bagi diri dan kalangan mereka sendiri. Sehingga mereka tidak mampu lagi melihat dengan mata cinta kasih atas kebutuhan sesamanya. Tidak lagi mereka bisa melihat pentingnya fauna, flora, dan semua sumber daya lainnya di mata Sang Pencipta. Yang terlihat oleh mereka hanyalah sosok-sosok dan benda-benda yang dapat dan harus dimanfaatkan untuk melayani hawa nafsu mereka sendiri saja. Bukan sebagai obyek-obyek kasih sayang, yang semestinya dijaga, dirawat, dan dikelola agar meningkat kualitasnya.
Mereka tidak bisa melihat bahwa hutan dan air adalah tiang yang menopang kehidupan mereka dan anak-cucu mereka sendiri...
Harus ada yang menghentikan mereka! Harus ada yang menyadarkan dan membukakan kembali mata akal dan hati bangsa ini, bangsa yang nyaris seluruhnya telah tertularkan kebutaan jahat para oknum bejad itu!
Tapi, siapa yang bisa? Siapa yang mampu dan mau?! Bukankah yang mampu melakukan itu hanyalah para pemimpin, istimewanya pemimpin tertinggi? Namun, bagaimana mungkin, jika ingat bahwa justru para pemimpin itulah oknum-oknum itu?! Apakah sang pemimpin tertinggi, sang RI-1, ikut terlibat dalam, atau, parahnya, yang justru memelopori, kebutaan ini? Sekiranyapun dia bersih, mungkinkah dia mampu bertindak sendirian?
Apa yang harusnya sang presiden lakukan?
Apa yang akan seseorang perbuat untuk mengatasi hal ini apabila dia menjadi presiden Indonesia?
Apa yang akan saya lakukan seandainya sayalah yang menjadi dia, orang yang dipercaya menjadi presiden atas republik dari bangsa ini...?!
* * *
Presiden dilimpahi hak dan kewenangan besar oleh konstitusi untuk membuat kebijakan sekaligus mengeksekusi kebijakan. Itulah mengapa pemerintahan yang dipimpinnya disebut "golongan eksekutif", sebab presiden dan para menterinyalah yang berkuasa sebagai eksekutor.