Tentu kita tak asing dengan pameo "pelanggan adalah raja". Memang, sayangnya, kalau kita jujur, di Indonesia, perwujudan pameo tersebut masih terbilang minoritas sebagai etos pelayanan terhadap konsumen. Tapi bukannya tidak ada pedagang, penjual, dan penyedia jasa di negeri ini yang sudah merealisasikannya. Salah satunya adalah JNE.
Saya merasakan sendiri keunggulan layanan dari perusahaan penyedia jasa pengiriman barang ini. Baik sebagai pihak pengirim maupun sebagai pihak penerima.
Pertama kali saya "bersentuhan" dengan JNE empat tahun yang lalu sewaktu saya tinggal di sebuah rumah kontrakan di bilangan Paledang, Bandung. Saat itu, posisi saya sebagai penerima kiriman barang. Sebuah operator selular CDMA mengadakan kuis di media sosial, dan saya berhasil memenangkan hadiah berupa pesawat telepon selular (ponsel) produk dari operator tersebut. Tiga hari pasca-konfirmasi data diri, kira-kira pukul sepuluh pagi ketika saya tengah berada di tempat kerja, saya mendapat panggilan telepon di ponsel saya. Si penelepon mengaku sebagai petugas pengantar paket yang ditujukan kepada saya dari operator selular tersebut. Sang petugas bermaksud meminta beberapa arahan untuk menuju ke tempat kontrakan saya, berhubung rumah tersebut memang cukup jauh masuk ke sebuah gang sesudah melewati beberapa jalan perumahan yang hanya muat 2 mobil. Sebelum menjelaskan, saya beritahu dulu bahwa saya sedang berada di luar rumah, dan di rumah itu tidak ada siapa-siapa lagi selain saya sendiri. Jadi, kalaupun si petugas bisa menemukan rumah saya, itu akan sia-sia. Maka, saya tanyakan apakah bisa menunda pengantarannya sampai agak tengah hari, untuk memberi saya waktu buat membereskan pekerjaan dan menempuh perjalanan pulang. Dia menyetujui, karena memang posisinya saat itu kebetulan masih sedang mengantarkan paket ke alamat lain, dan masih ada barang-barang lain juga yang hendak diantarkan ke beberapa pelanggan lainnya. Jadi, kami bersepakat, paket untuk saya itu ia kirimkan selepas jam satu siang. Saya akhirnya tiba di rumah sekira pukul setengah satu. Kurang-lebih jam satu lebih lima menit, si pengantar menelepon saya lagi guna menegaskan kembali arah-arah gang yang mesti ia tempuh untuk sampai ke rumah saya. Kala itu, dia sudah ada di wilayah Lengkong Besar, tidak jauh lagi dari lokasi saya. Dan benar saja, beberapa menit menjelang jam setengah dua, si pengantar datang. Waktu itu saya tanya, apakah kesulitan menjelajahi perjalanan yang saya arahkan lewat telepon, dia jawab, tidak terlalu ada masalah. Hanya saja, memang perlu beberapa menit untuk mencari tempat parkir mobil paketnya di pinggir jalan raya, berhubung memang pada hari-hari kerja, pinggiran jalan raya utama dan jalan-jalan perumahan dekat rumah saya tersebut hampir selalu dipenuhi mobil-mobil yang parkir, karena lokasinya yang berada di pusat kota, sarat perkantoran dan pertokoan. Saya cukup kagum saat itu, sebab, sekalipun tampak beberapa kali menyeka keringat di dahi lantaran cuaca pertengahan musim kemarau yang terbilang terik sekali kala itu, si pengantar tetap nampak enerjik. Dan pasti, itu berpengaruh pada pembawaannya dalam menghadapi orang sehingga jadi tetap ramah dan hangat, walaupun saya tahu dia habis mengantarkan barang ke banyak tempat sebelum ke tempat saya. Tentu saja, sebelum paket itu datang, saya tidak tahu sama sekali perusahaan apa yang dipakai perusahaan operator selular itu untuk mengirimkan hadiahnya kepada saya. Saya baru tahu perusahaan ekspedisi mana yang menjadi pengirimnya saat barang itu datang. Karena, paket tersebut dibungkus rapat dan tebal (saya yakin maksudnya supaya menghindarkan kerusakan terhadap barang akibat benturan saat perjalanan pengiriman) memakai kertas, dus pembungkus, dan pita perekat yang berlogokan JNE. Kemudian, keesokan harinya setelah pengiriman, menjelang sore, saya mendapat telepon dari pihak operator selular yang mengirimkan hadiah tersebut. Sang penelepon ingin mendapat kepastian apakah paket yang mereka kirimkan benar-benar sudah saya terima, sebab, katanya, pihak JNE menelepon mereka untuk menginformasikan bahwa paketnya sudah diterima langsung oleh tangan pihak yang dituju, yaitu saya.
Beberapa bulan berikutnya, saya pindah tempat tinggal ke sebuah rumah kos di daerah Dago, masih di kota Bandung. Karena waktu itu menjelang akhir tahun, sebuah bank pemerintah, yang dengannya saya sering berinteraksi via media sosial, mengirim pesan ke kotak pesan akun media sosial saya, memberitahu bahwa mereka bermaksud mengirimi saya kalender meja tahun 2011, jadi mereka meminta data diri saya. Sesudah saya balas pesan tersebut dengan menuliskan alamat, nomor ponsel, dan sebagainya, admin media sosial bank terkait kembali menjawab untuk mengatakan kalau kalender akan segera mereka kirim, selambat-lambatnya satu minggu sudah akan tiba di tempat saya. Satu hari dan dua hari lewat sudah dari batas seminggu itu. Kalender itu tidak datang juga. Berganti menjadi tiga-empat hari dan seterusnya. Memang, harga kalender relatif tidak mahal. Lagian, bisa didapat dengan mudah di mana saja. Akan tetapi, yang menjadi persoalan bagi saya sama sekali bukan dapat-tidaknya kalender, melainkan soal penantian. Saya yakin, semua orang umumnya punya kecenderungan yang sama untuk berharap dan menunggu manakala dijanjikan sesuatu, apalagi kalau waktu pemenuhan janji itu sudah ditentukan secara relatif pasti. Sehingga, keterlambatan pemenuhan janji, sekalipun yang dijanjikan itu "hanya sekadar" kalender, nyaris selalu secara refleks menyebabkan munculnya energi negatif dalam pikiran, seperti kesal, kecewa, cemas, dan tak sabaran. Setelah 2 minggu, saya kirim lagi direct message ke media sosial bank tersebut. Mereka lekas menjawab, akan mengonfirmasi ke pihak jasa ekspedisi, sembari meminta saya menunggu kabar dari mereka (maksudnya pihak bank itu sendiri) barang satu-dua hari. Secara naluriah, saya tanyakan nama perusahaan pengiriman barang itu. Pihak bank menyebutkan satu nama, dan saya asing sama sekali dengan nama perusahaan ekspedisi itu. Betul, besoknya, admin media sosial bank itu kembali mengirim pesan ke kotak masuk saya. Mereka tidak menjelaskan letak kendalanya, namun berjanji akan mengirimkan satu unit kalender lagi pengganti yang sebelumnya. Tiga hari kemudian, kira-kira jam setengah tiga siang, saya mendapat telepon di ponsel saya. Layaknya deja vu, kembali yang menelepon itu mengaku dari pihak ekspedisi yang hendak mengirim paket dari bank itu ke saya. Dia mengonfirmasi alamat saya yang tertera pada paket, sekaligus menanyakan detil persis letak lokasi rumah kos saya. Sementara menjelaskan, kembali saya katakan, saya sedang tidak di rumah. Tapi, kata saya lagi, di sebelah rumah kos itu ada rumah ibu kos dan keluarganya. Mereka selalu ada di rumah, berhubung mereka juga buka usaha warung kelontong, jadi pasti selalu ada yang menjaga. Saya berikan saja nama ibu kos dan anaknya yang paling rutin menjaga warung itu, sekalian berpesan agar si pengantar menitipkan saja paket tersebut kepada salah satu dari mereka seandainya saya belum sampai di rumah. Menjelang magrib, orang dari perusahaan pengantar paket itu kembali menelepon saya, mengatakan bahwa paketnya sudah dititipkan kepada seorang ibu di warung di sebelah alamat kos saya, yang namanya sama dengan yang siangnya sudah saya beritahukan. Bahkan, ia juga menjelaskan ciri-ciri ibu tersebut. Saya membenarkan, itu memang anak perempuan dari ibu kos, yang memang paling sering menjaga warung. Dan memang benar, ketika saya pulang, sembari menyerahkan paket tersebut, anak ibu kos saya itu juga menceritakan kalau si pengirim paket sempat menanyakan namanya. Malah juga menanyakan apa hubungan Samuel (yaitu saya) dengan keluarga ibu tersebut, yang sudah pasti dijawab kalau saya ini orang yang kos di rumah mereka. Saya dan ibu tersebut, bahkan juga ibu kos saya yang ikut mendengarkan saat itu, kontan tertawa-tawa. Bukan bermaksud melecehkan, tapi justru karena keheranan, ada juga jasa ekspedisi yang sebegitu mendetail dan telitinya demi supaya barang itu diterima oleh yang memang benar-benar dituju, tidak menyasar ke tangan lain. Dalam hati, saya spontan berkata, "Pantas saja!" Pasalnya, sekilas saat paket itu masih dipegang anak ibu kos saya ketika hendak diberikan kepada saya, sudah terlihat oleh saya nama dan logo perusahaan ekspedisi pengirimnya pada pembungkus paket. JNE!
Sekitar empat bulan setelahnya, kakak perempuan saya di Tangerang minta bantuan saya untuk membantu bisnisnya satu-dua bulan, berhubung ada karyawan tokonya yang berhenti dan ada juga yang cuti hamil. Terlebih, karena kakak ipar saya juga sedang dinas di luar kota. Jadi, selama hampir tiga bulan itu saya tinggal di rumah kakak saya. Selama kurun waktu tersebut, saya kembali mendapat hadiah dari suatu tempat kursus bahasa Inggris. Sebuah tas. Dan itu pun dikirim lewat paket. Saya berikanlah alamat kakak saya tersebut. Kali ini, saya tidak mendapat telepon apa-apa dari pihak jasa pengiriman barang untuk mengonfirmasi alamat. Tahu-tahu saja, suatu siang, kira-kira empat hari sesudah saya memberikan data alamat dan nomor ponsel saya kepada pihak kursus tersebut, saat saya sedang berada di toko, seseorang yang mengaku sebagai petugas pengiriman paket menelepon ke ponsel saya. Ternyata dia sudah sampai di alamat yang merupakan rumah kakak saya, namun bingung karena, katanya, seorang bapak di rumah itu bilang kalau tidak ada yang namanya Samuel. Waktu dia memberitahu nama bapak tersebut, saya langsung mengerti, sebab yang disebutnya itu adalah nama suami kakak saya. Rupanya, kakak ipar saya itu baru pulang dari luar kota dan belum tahu kalau saya menginap di rumahnya. Langsung saja saya mengatakannya kepada si kurir, seraya memintanya menyerahkan ponsel ke kakak ipar saya supaya saya bisa bicara. Masalah pun selesai. Dan ketika saya pulang dan menerima paket itu, lagi-lagi saya menemukan nama dan logo yang sama di kertas dan plastik pembungkus. JNE!
Masih beberapa kali lagi saya menerima kiriman barang yang diantarkan JNE. Semuanya mirip polanya dengan ketiga kejadian di atas. Semuanya memberi kesan yang jelas bagi saya, JNE sangat berhati-hati, terinci dalam prosedur, dan, yang terutama, menghargai konsumennya, baik pihak pengirim maupun pihak tertuju. Kepentingan kedua pihak itu betul-betul dijaga. Konsekuensinya, tentu saja kedua pihak tersebut menjadi puas. Sebenarnya, apa yang dilakukan JNE itu sangat bagus namun bukanlah sesuatu yang luar biasa. Memang itulah yang seharusnya dilakukan dalam pekerjaan apapun, yakni mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang diemban dengan sebaik-baiknya, memperlakukan barang sebagai barang dan manusia sebagai manusia sehingga proporsional. Dan dari semua itu, tentu saja orientasi terhadap manusialah yang harus menjadi prioritas nomor satunya. Tetapi, lantaran sebagian besar orang di Indonesia cara bekerjanya tidak optimal seperti itu, maka apa yang dilakukan JNE tersebut jadinya terasa relatif istimewa, karena langka. Sebab, hemat saya, di negeri ini kebanyakan pekerjaan dilakukan dengan orientasi yang sangat kacau. Manusia diperlakukan seperti barang, jadi kurang diperhatikan perasaannya, terutama perasaan puas, aman-terjamin, nyaman, dan dihargai. Waktu diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak bernilai tinggi, malah sepertinya tidak bernilai apa-apa sama sekali, seolah tidak pernah tahu pepatah yang mengatakan "waktu adalah uang" sebab waktu dapat menentukan momentum dan kesempatan sehingga ketepatan atau ketidaktepatan momentum serta termanfaatkan atau terlewatkannya kesempatan bisa mengubah banyak sekali hal. Barang pun tidak diperlakukan sesuai nilainya, baik nilai ekonomis maupun nilai psikologisnya, sehingga perlakuan seenaknya sering diterapkan pada barang orang lain, seolah sampah dan kotoran yang najis saja. Tapi, sebaliknya, apa yang sesungguhnya tidak berguna dan malah dapat merugikan, justru diperlakukan begitu "hormat". Mengobrol ngalor-ngidul, keseringan menghentikan aktivitas kerja dengan merokok, atau menggunakan waktu yang melebihi daripada yang disediakan untuk beristirahat makan siang, semua itu contoh "sampah" yang harusnya tidak "dipungut" saat bekerja, apalagi sampai diperlakukan seperti emas. Jika yang melakukan seperti itu adalah pegawai dan kurir perusahaan jasa ekspedisi, maka akan semakin lambatlah barang antaran sampai ke tangan orang yang berhak, yang mungkin sekali sudah menunggu-nunggu dan sangat memerlukannya. Semua kekacauan orientasi itu sudah pasti menghasilkan ketidakpuasan semua pihak yang menjadi klien bisnis. Bandingkan saja kepuasan yang saya dapat dari bagusnya orientasi JNE dalam pekerjaannya mengantarkan paket barang dengan kasus yang akan saya di bawah ini.
Di atas saya sudah sedikit menyinggung oknum jasa ekspedisi yang mengecewakan dalam mengirimkan kalender dari sebuah bank pemerintah kepada saya, karena bahkan sampai sekarang pun tidak diketahui bagaimana nasib dan ke mana rimbanya paket kalender yang tidak sampai kepada saya itu. Itu saja sudah menjengkelkan. Tapi, masih belum seberapa dibandingkan kasus berikut ini. Dalam cerita pertama, saya mengisahkan ada vendor CDMA yang mengirimkan hadiah ponsel kepada saya sebagai hadiah kuis. Nah, usai membantu Kakak, berikutnya giliran ibu saya yang minta tolong saya menunggui rumah keluarga kami yang masih berada di bilangan Tangerang, karena beliau ada urusan selama beberapa bulan bersama famili di luar kota. Dalam waktu tersebut, operator selular tadi mengadakan kuis lagi. Dan saya kembali mengikutinya, dan kembali memenangkan hadiah ponsel. Seperti biasa, pasca-pengumuman, saya memberikan data diri, kemudian menunggu hadiah datang. Perkiraan saya, hadiah itu tidak akan lama dikirimnya, mengingat pengalaman sebelumnya. Tapi, ternyata, lewat dari seminggu setelah saya memberikan data diri, ponsel itu tak kunjung sampai! Saya tanyakan di kotak pesan media sosial operator selular bersangkutan. Apa yang saya dapatkan? Mereka mengabarkan, hadiah itu ternyata sudah dikirim satu hari sesudah saya memberikan data! Pihak operator pun kaget mengetahui hadiah itu belum juga datang. Saya langsung menduga ada yang tidak beres. Otak saya langsung mengarahkan saya untuk menanyakan perusahaan ekspedisi apa yang dipakai operator tersebut. Dan pihak operator mengakui, mereka mengganti pemakaian perusahaan pengiriman paket dari JNE ke sebuah perusahaan yang namanya saja saya baru pernah dengar, dan sekarang saya sudah lupa lagi saking asingnya. Mereka (admin media sosial operator tersebut) berjanji akan menanyakan dan mendesak perusahaan ekspedisi tersebut. Besoknya, lewat pesan di media sosial, sembari meminta maaf, sang admin operator selular menginformasikan, dalam satu-dua hari paket itu akan dikirimkan oleh perusahaan ekspedisi bersangkutan. Berhubung di rumah itu saya tinggal sendirian, saya sampai bela-bela nongkrong terus di ruang tamu sambil bekerja dengan komputer dari pagi supaya bisa segera membukakan pintu bilamana kurir ekspedisi itu datang. Jam terus berjalan. Hingga, pada kira-kira pukul setengah dua siang, saya ke WC sebentar untuk buang air kecil. Saat keluar, dari jendela saya melihat ada mobil boks dengan tulisan dan logo di badan boks belakangnya. Saya langsung ingat, itu nama perusahaan ekspedisi yang akan mengantarkan paket hadiah saya. Terlihat si sopir sudah membuka pintu kabinnya lagi. Rupanya, dia sempat keluar dari mobil. Namun, sewaktu saya sedang bergegas membuka pintu depan, mobil tersebut sudah jalan lagi! Saya segera menghambur keluar sambil berteriak memanggil. Sayang, masih ada pagar yang gemboknya harus saya buka! Dan begitu saya akhirnya keluar ke jalanan kompleks, mobil ekspedisi itu sudah membelok di tikungan yang berada kira-kira tiga puluh meter dari rumah. Saya lari seperti kesetanan untuk mengejar. Mobil itu berjalan lebih seperti kesetanan lagi, sehingga begitu saya tiba di belokan, dia sudah sejauh menghilang di tikungan yang lain yang menuju ke jalan raya, meninggalkan raungan suara mesinnya yang sepertinya di-gas pol! Meski darah sudah naik ke ubun-ubun, saya berusaha berpikir jernih. Segera saya googling, mencari keterangan tentang perusahaan ekspedisi tersebut. Setelah saya dapatkan nomor telepon kantornya, saya segera melaporkan kejadian mengecewakan tersebut. Saya juga komplain sikap kurir pengantar itu. Bukan hanya ia tidak sabaran menunggu, tapi bahkan sama sekali tidak ada usaha darinya untuk mengetuk pagar atau memanggil-manggil. Memang, saat itu sedang sepi di blok perumahan tersebut, tak ada satupun tetangga yang nampak. Tapi, itu bukan alasan juga! Bahkan, si kurir sama sekali tidak melakukan hal yang beberapa kali dilakukan kurir JNE: menelepon saya! Saya sendiri heran, apakah hal itu tidak terpikir olehnya? Ataukah memang nomor ponsel saya tidak dicantumkan oleh pihak operator pada sampul paketnya? Ataukah, yang paling buruk karena sudah merupakan apriori saya, nomor ponsel saya sebetulnya tertulis tapi memang si kurir saja yang tidak peduli dan malas? Mendengar sebegitu panjangnya komplain saya itu, respon pihak perusahaan pengiriman barang pun kurang memuaskan. Si operator telepon hanya memberi keterangan bahwa petugas yang berwenang mengatur jadwal dan rute pengiriman barang sedang tidak berada di tempat karena suatu keperluan. Operator itu hanya menjanjikan akan menyampaikannya ke penyelia kurir itu soal kiriman saya yang "tertunda". Dia meminta saya menunggu, karena pihak merekalah yang akan menghubungi saya. Saya ingat betul, hari itu Kamis. Besoknya, Jumat, perusahaan itu tidak menelepon. Sabtu dan Minggu saya perkirakan adalah hari libur kerja, jadi saya sabar-sabarkan diri dulu. Nyatanya, Senin pun, setelah saya tunggu-tunggu, telepon tidak juga berdering. Akhirnya, begitu Selasa tiba, sayalah yang kembali menelepon ke kantor ekspedisi itu. Saya berhasil juga berbicara dengan sang penyelia. Tapi, lagi-lagi pil pahit yang ia berikan! Dia bilang, tidak bisa hari itu juga barang saya dikirimkan. Alasannya, semua kurir sudah jalan, dan dia belum sempat mengatur pengantaran barang yang untuk saya. Padahal, saya menelepon itu jam delapan pagi teng! Dalam hati, saya bertanya sendiri, memangnya jam berapa kalian mulai masuk kerja lalu briefing? Bahkan, dia sempat sedikit membela diri dan anak buahnya dengan berkata, sewaktu si kurir mengantarkan paket itu, tidak ada orang di rumah. Saya berusaha keras menahan diri untuk tidak mencaci-maki di telepon. Nada marah pun saya upayakan tak terbersit. Saya jelaskan, saya saat itu sedang buang air kecil. Sebelum saya masuk kamar kecil, belum terlihat mobil itu datang. Jadi, mobil itu pasti baru tiba saat saya sedang berada di WC. Berapa menit waktu yang diperlukan seorang pria dari untuk buang air kecil, mulai masuk WC sampai keluar lagi? Rata-rata waktu terlamanya paling-paling juga hanya satu setengah menit, bukan? Lagipula, setiap orang yang bertamu harusnya memperhitungkan waktu yang dibutuhkan orang yang ada di dalam rumah untuk menuju ke pintu. Dan kedua perhitungan itu jelas sama sekali tidak dilakukan si kurir! Akhirnya, kesimpulan pembicaraan di telepon itu adalah bahwa si penyelia akan menugaskan salah seorang kurirnya untuk mengantarkan paket itu besoknya. Besoknya, Rabu, kembali saya sengaja-sengaja tidak beranjak dari ruang tamu dari pagi-pagi sekali. Pandangan terus saya arahkan ke jendela. Bahkan, saya seperti kesetanan saat satu-dua kali ke WC buat buang air kecil: serba lari dan serba terbirit-birit! Akan tetapi, hingga adzan magrib berkumandang, tidak ada satu orang, sepeda motor, dan mobil pun yang mampir ke rumah! Karena saya tahu saya tidak bisa menelepon untuk komplain ke kantor itu berhubung waktu sudah malam, saya bersusah-payah menahan emosi biar sisa hari itu tidak saya lewatkan dengan kelabu. Tapi sangat sia-sia! Besoknya, jadi sudah satu minggu sesudah kedatangan sang kurir yang "sangat menghargai waktu" itu, saya kembali pagi-pagi menelepon ke kantor ekspedisi tersebut. Si supervisor berkilah, kemarin (hari Rabu itu) dia sudah instruksikan salah seorang anak-buahnya untuk mengantarkan paket yang untuk saya, tapi tadi pagi belum sempat menanyakan apakah sang anak-buah sudah melaksanakannya atau belum. Dia berjanji, esoknya, jadi hari Jumat, ia akan menelepon saya untuk memberi kabar. Apa yang selanjutnya terjadi? Hari Jumat itu, sampai menjelang pukul tiga sore pun si penyelia tidak juga kunjung menelepon saya! Sayalah yang lagi-lagi meneleponnya ke kantor. Dan operator telepon pun menginformasikan, sang penyelia yang punya utang janji pada saya itu ternyata sudah pulang! Saya sudah tidak sabar lagi. Dengan nada bicara keras, saya desak si operator untuk segera mencari informasi soal barang saya, karena, ancam saya, kalau tidak juga segera digubris, saya akan melaporkan ke polisi dan menyebarluaskan ketidakbecusan perusahaan mereka itu di internet. Mendengar itu, si operator meminta saya menunggu. Satu-dua menit kemudian, sementara pulsa saya semakin terkuras gara-gara harus menunggu, akhirnya ada muncul juga suara di seberang. Dan itu adalah suara sang penyelia! Hah! Sudah pulang apanya?! Dasar pembohong dan penipu semuanya! maki saya dalam hati. Si penyelia bilang, barang saya sudah dikirimkan kemarinnya! Kontan saja saya membantah, karena memang saya tidak menerimanya! Dan kata si penyelia lagi, tanpa permintaan maaf sedikit pun, barang itu diserahkan oleh kurir bersepeda motor kepada seorang bapak (dia menyebutkan namanya, tapi di sini tidak akan saya sebutkan) yang mengaku sebagai petugas keamanan RT. Alasannya, lagi-lagi, waktu si kurir datang, rumah saya sedang kosong! Dan itu bohong besar! Sama sekali tidak ada orang dengan motor yang mendekati rumah saya dan melihat-lihat! Saya marah besar! Jelas saja itu beresiko sekali, menyerahkan barang ke tangan yang tidak berhak! Tapi, tetap saja, si penyelia tenang-tenang saja. Dan tak ada satu kata permohonan maaf pun terucap! Masih untung barang itu memang ternyata ada di bapak-bapak tersebut, yang memang betul adalah pegawai dari Pak RT. Tapi, walau begitu, tetap saja tidak pada tempatnya tindakan seperti yang dilakukan kurir tersebut! Itu tidak bertanggung jawab sekali!
Bagai bumi dan langit, bukan, kinerja JNE dengan ekspedisi yang terakhir ini? Mencolok dan terasa sekali perbedaan antara pelayanan yang diberikan dan dikerjakan dengan berorientasikan manusia dengan yang tidak! Jadi, berbekal kepuasan itu, sekarang-sekarang, jikalau saya mengirimkan barang pun, yang saya pakai sudah pasti JNE! Tidak usah berpikir sampai dua kali! Dan memang polanya tetap sama. JNE kerap mengontak dulu pihak yang saya kirimi barang sebelum barang itu dikirimkan. Jika ada alamat yang agak sulit dicari atau ada nomor ponsel penerima paket yang susah dihubungi, pihak JNE menelepon saya untuk memastikan lagi apakah semua informasi yang mereka baca di paket dan resinya itu sudah sama dengan yang saya maksud. Kalau paket itu terkirim lancar-lancar saja, memang hampir tidak pernah pihak JNE menelepon saya. Tapi saya masih bisa segera tahu kondisi barang kiriman saya lantaran kebanyakan pihak penerima memberi kabar kepada saya bahwa paketnya sudah sampai. Dan, sebetulnya, mereka, para penerima kiriman itu, menelepon saya bukan dengan maksud hendak mengabarkan sampai atau tidaknya barang tersebut, namun untuk bercerita kalau mereka terkesan dengan pelayanan JNE, yang begitu seksamanya dalam memastikan agar barang yang mereka kirimkan itu selamat sampai ke tangan orang yang memang dituju!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H