“Bhinneka” Terancam Tidak “Tunggal Ika” Lagi?
Bhinneka Tunggal Ika. Keanekaragaman berpadu satu. Diadaptasi dari frasa yang terdapat dalam babad kuno Sutasoma karya Mpu Tantular. Oleh para bapak pendiri negara ini, dijadikan semboyan bangsa kita. Menggambarkan betapa kayanya bangsa Indonesia akan keberagaman. Dan betapa semua perbedaan dan keberbedaan itu bisa bersatu membentuk satu tanah air, bangsa, dan negara. Dan betapa setelah itu, semuanya hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Rukun dan damai? Benarkah? Secara global, ya, masih rukun dan damai. Namun, itu adalah kedamaian dan kerukunan yang bagaikan damainya suasana alam di sekitar Gunung Krakatau, Gunung Merapi, Gunung Semeru, dan gunung-gunung berapi lainnya kala sedang tenang, sedang tidak erupsi. Tetapi, suatu saat, bisa kapan saja, ketenangan dan kedamaian nan sejuk dan menyegarkan itu akan segera berubah 180 derajat menjadi kegemparan, hiruk-pikuk, dan huru-hara yang teramat panas dan mematikan. Pasalnya, jauh di perut bumi yang berada tepat di bawah vulkan-vulkan tersebut, tersimpan magma yang siap bergejolak dan meluap keluar.
Ya, potensi konflik dan perpecahan masih tetap besar di kalangan bangsa kita ini! Bahkan, kian hari kian membesar. Kita bisa lihat banyak contohnya di banyak daerah.
Kaum Syiah dan Ahmadiyah dihujat, diusir dari rumah dan kampung halamannya, bahkan dianiaya dan dibunuh pula. Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasin dilarang oleh pemerintah daerah setempat untuk beribadah di rumah ibadah yang bahkan tanah dan gedungnya berstatus hak milik dari yayasan gereja tersebut sendiri. Lurah Susan sempat ditolak oleh warga kelurahan yang hendak dipimpinnya lantaran beragama Kristen. Gubernur Ahok juga sampai saat ini masih kerap didemo massa yang menolak beliau, mudah diduga karena status sang gubernur yang Kristen dan Tionghoa.
Diskriminasi bukan hanya diderita oleh kaum minoritas tapi juga oleh kaum yang dianggap lemah. Perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas masih terpinggirkan. Masih dianggap kaum kelas dua. Bahkan, tak sedikit perlakuan diskriminasi yang mereka terima itu sudah dapat dikategorikan sebagai perlakuan yang menunjukkan bahwa mereka tidak dianggap sebagai manusia sama sekali!
Dan, yang walaupun sudah cukup lama terjadi namun tetap meninggalkan torehan bekas luka yang sukar sembuh di hati masyarakat (terutama mereka yang menjadi korban dan keluarga korban), peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998.
Serta, yang paling gres, dan masih hangat sekali sebagai bahan pemberitaan, tentu saja adalah kian banyaknya anak bangsa yang tertarik dan bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan paham Islam ultra-radikalnya.
Akan tetapi, apa yang kita semua lakukan? Alih-alih menangani potensi konflik itu dengan manajemen yang benar, kita semua malah menafikannya. Kita menyangkalinya. Malah, kita seolah sengaja meninabobokan diri kita sendiri dengan cara memuji-muji diri dan menikmati sanjung-sanjungan bangsa-bangsa lain dengan sebutan bahwa kita adalah bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, sehingga penuh toleransi, mampu hidup berdampingan secara damai sekalipun berbeda-beda agama, suku, ras, dan sebagainya. Kita menjadi lengah dan sengaja abai karena kita tidak suka mengakui kelemahan. Padahal, dengan bertindak seperti itu, justru kita membuktikan bahwa diri kita memang lemah. Karena, hanya orang kuat saja yang sanggup menghadapi kelemahannya, mengakuinya, dan kemudian bertindak mengatasinya.
Pohon Beringin “Nasionalisme Indonesia” Itu Ternyata Tidak Berakar Tunggang Tapi Berakar Serabut?
Tapi, kenapa kita sampai bisa lemah begitu? Sebab diri kita ini memang rapuh, baik per individu maupun secara keseluruhan kolektif sebagai kelompok masyarakat dan bangsa. Dan kita bisa dalam keadaan rapuh demikian lantaran kita mengalami krisis identitas. Kita tidak berakar dalam dan kuat. Sehingga kita tidak mendapatkan nutrisi yang adekuat. Akibatnya, pohon kebangsaan kita menjadi rapuh dan lapuk pada seluruh bagiannya. Ditambah lagi, banyak jamur dan benalu yang semakin lama semakin marak bertumbuhan di pohon nasional kita. Belum lagi tikus-tikus, koloni rayap, dan burung-burung pelatuk yang makin ramai menggerogoti. Diserang begitu hebat dari dalam dan dari luar, apa yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang sungguh mengerikan untuk dibayangkan!
Orang yang mengalami krisis jatidiri bukan saja memprihatinkan keadaannya. Dia pun merupakan bahaya untuk lingkungannya. Krisis identitas dan segala akibatnya ini terjadi dan berlaku bukan cuma bagi manusia secara pribadi-per-pribadi namun juga secara kelompok. Lihat saja pribadi dan kelompok orang yang berasal dari golongan yang terkenal memang pasti mengalami krisis jatidiri, yaitu remaja. Remaja yang tengah krisis identitas tidak hanya mengibakan kondisinya lantaran selalu tampil murung, depresi, dan galau, tapi juga acap menjadi pengganggu kenyamanan, ketenteraman, dan keamanan lingkungan di sekitarnya gara-gara kecenderungannya untuk memberontak, melakukan perlawanan, dan berkonflik dengan siapa saja. Mereka seakan gemar sekali tawuran, melawan orangtua dan guru, serta bahkan sampai melakukan pembegalan sepeda motor. Sebaliknya, mereka sepertinya muak sekali pada peraturan, keteraturan, kemapanan, kedisiplinan, serta sikap hormat dan menghargai. Jangankan dengan orang yang punya banyak perbedaan dengannya, dengan orang yang banyak kesamaan dengan dirinya pun ia sukar berdamai. Yah, bagaimana tidak? Sedangkan dengan dirinya sendiri saja, dia berkonflik. Orang yang krisis identitas pasti melihat dirinya sebagai sosok asing yang tak dikenalnya dan sekaligus dipandangnya sebagai ancaman. Apalagi orang lain. Terlebih lagi terhadap orang yang banyak sekali perbedaannya dari dia sendiri.
Seperti demikianlah kondisi kehidupan bangsa kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Banyak Wadi Bermunculan di (Daerah yang Bisa-bisa namun Belum Tentu Menjadi) Gurun!
Meski begitu, tidak ada alasan dan juga tak ada gunanya untuk menjadi pesimis dengan kondisi tersebut. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuat orang menjadi pesimis, cemas, dan ketakutan. Justru sebaliknya. Tulisan ini bertujuan untuk membangkitkan optimisme. Sebab, masih amat banyak dan masih sangat besar harapan bagi bangsa kita untuk benar-benar menjiwai semangat Bhinneka Tunggal Ika. Serta, karena itu pula, identitas nasional dan nasionalisme kita dapat sungguh-sungguh terbentuk dalam diri kita, baik masing-masing pribadi maupun keseluruhan bangsa. Apa yang dituliskan di atas adalah paparan realita yang sebenarnya tak boleh kita pungkiri. Optimisme sejati pasti berpijak pada kenyataan. Tanpa itu, namanya bukanlah optimisme. Melainkan delusi. Dan, yang pasti juga, optimisme sejati selalu dibuktikan lewat tindakan nyata. Tanpa itu, namanya bukanlah optimisme. Melainkan halusinasi.
Kita dapat melihat prospek yang cerah di balik upaya mulia yang digalang banyak pihak di negeri ini. Sejak diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2008 lalu, batik telah menjadi idola semua orang, bukan saja orang Indonesia, namun juga orang asing. Media-media massa, juga media sosial dan jurnalis warga, makin banyak yang mempublikasikan keindahan panorama, adat-istiadat, kehidupan berkearifan lokal, kuliner, serta produk-produk dan aset-aset budaya Indonesia lainnya.
Memang, tak dapat disangkal, semua usaha tersebut masih harus diuji terlebih dahulu apakah efektif untuk mengembangbiakkan Bhinneka Tunggal Ika supaya sampai berakar dalam dan kuat di dalam hati seluruh rakyat Indonesia atau tidak. Cukup bisa dimengerti bila ada sinisme dan skeptisisme yang menyebutkan bahwa semua pekerjaan itu sia-sia belaka karena diskriminasi dan kejahatan, terutama yang berbau suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), masih kerap terjadi di berbagai wilayah di bumi Nusantara ini.
Akan tetapi, pada saat yang sama, dari sudut pandang berseberangan yang positif, kita pun sah bilamana membela segala kerja keras banyak pihak itu untuk menanamkan rasa ke-bhinneka-an dalam diri rakyat. Patut dipikirkan, jika dengan banyaknya publikasi akan keindahan Indonesia, terutama dari perspektif budaya, saja masih terjadi perilaku-perilaku intoleransi dan diskriminatif, bayangkan bagaimana kalau sampai sama sekali tidak ada upaya-upaya publikasi semacam itu! Jangan-jangan, sudah beberapa tahun yang namanya Republik Indonesia ini sudah tidak ada lagi gara-gara telah terpecah-belah!
Dan yang pula tak perlu disanggah adalah apabila ada pandangan sebelah mata dengan alasan bahwa semua itu hanyalah secara fragmentasi. Budaya-budaya dan kekayaan-kekayaan kearifan yang diulas cuma satu-dua saja, dan itu pun hanya di satu daerah. Tidak menyeluruh membahas semua budaya yang ada di seantero Nusantara. Kalaupun ada, kita harus menunggu edisi pemberitaan berikutnya. Jadi, untuk seluruh Indonesia, berapa lama kita perlu mengikutinya? Bisa-bisa, pemirsa keburu bosan duluan!
Cibiran ini pun bisa kita tangkal. Tak usah terintimidasi. Sebab, paling tidak, ada satu entitas yang sejak empat dekade lalu hingga saat ini tetap konsisten memupuk jatidiri kebangsaan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini. “Benteng” kukuh itu bernama Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
TMII Menanamkan dan Memupuk Identitas Nasional Indonesia Secara Menyeluruh
Berlokasi di kawasan Jakarta Timur, TMII yang ada sejak 20 April 1975 ini terus berkembang menjadi tempat yang menjalankan misi sesuai namanya, yakni menjadi miniatur Indonesia. Seluruh yang ada di bumi Indonesia ini dapat kita peroleh secara gambaran besar di TMII.
Di TMII, kita bisa melihat danau yang berisikan pulau-pulau yang bentuknya mirip Kepulauan Nusantara. Kita juga akan menemukan 34 anjungan yang mewakili 34 provinsi Indonesia. Anjungan-anjungan tersebut merupakan kawasan yang berisikan rumah-rumah tradisional, pakaian adat, senjata pusaka, perabotan dan tembikar, alat musik dan kerajinan, serta berbagai hal lainnya yang khas dari masing-masing provinsi. Bahkan, di anjungan-anjungan itu secara berkala juga diselenggarakan pertunjukan musik, tarian, upacara adat, dan berbagai pertunjukan khas daerah lainnya yang berasal dari provinsi bersangkutan. Kemudian, di TMII juga kita dapat menikmati keindahan beraneka-ragamnya flora dan satwa di taman-taman yang sengaja diperuntukkan bagi perwakilan semua makhluk yang berhabitat di Indonesia itu. Rumah-rumah ibadah dari semua agama besar dan sebagian kepercayaan yang diakui negara dan dianut masyarakat Indonesia pun ada. Selain itu, kita pun dapat mengujungi museum-museum di sana, tempat kita bisa memperkaya khasanah kita akan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sejarah, dan sebagainya.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua itu? Kita dapat, dan memang sudah seharusnya, mempelajari jatidiri kebangsaan kita.
Pertama, masing-masing kita semestinya mengetahui, mengenal, dan (yang memang diharapkan) mengapresiasi dan mencintai budaya, adat-istiadat, kehidupan keseharian masyarakat, bentuk-bentuk kehidupan makhluk lain, dan kekayaan alam yangterkandung di daerah (provinsi) di mana kita tinggal dan/atau berasal. Karena, belum tentu kita tahu, kenal, apalagi cinta pada semua yang ada di daerah tempat tinggal dan/atau tempat asal-usul kita. Seandainya pun tahu, belum tentu kenal dengan baik. Kalaupun sudah kenal dan malah telah bergaul akrab pula, belum tentu mengapresiasinya. Belum tentu kita mau berinisiatif dan berjuang mengawal, memelihara, melestarikan, dan mengembangkan adat dan kebiasaan serta budaya masyarakat, flora-fauna endemik, serta bahan tambang mineral, air, dan sumber daya energi yang terkandung di udara, laut, perairan, dan perut bumi di daerah kita itu. Nah, di TMII, kita bisa memulai hal itu, yang sebetulnya sudah merupakan kewajiban kita sebagai warga. TMII memperlihatkan apa-apa yang memang harus dan perlu kita lihat, amati, pelajari, kontemplasikan, dan internalisasikan tentang provinsi tempat tinggal dan/atau asal keturunan kita.
Kedua, setelah dari anjungan yang mewakili provinsi tempat tinggal dan/atau asal kita, alangkah ruginya kalau kita tidak mengunjungi anjungan-anjungan dari provinsi-provinsi lain. Dari kunjungan-kunjungan itu, kita pun bisa mengetahui dan mengenal kekayaan daerah-daerah lain di seluruh tanah air kita. Kita akan melihat, betapa indahnya semua itu! Tidak perlu menahan hati dan perasaan serta selera kita. Kita harus membebaskannya. Niscaya, cinta akan tumbuh perlahan terhadap semua daerah-daerah itu.
Dengan demikian, TMII mengajak, mengundang, dan bahkan mendesak kita untuk menanamkan bibit nasionalisme dan jatidiri kebangsaan di dalam diri kita. Kalaupun bibit itu sudah ada, TMII menyarankan untuk menyirami dan memupuknya kembali agar kembali dan terus mekar dan tumbuh besar.
Kita sadari maupun tidak, dengan memperlihatkan seluruh Indonesia, TMII hendak mengajarkan dua hal. Pertama, bahwa kita, suka atau tidak, adalah bagian tak terpisahkan dari daerah tempat tinggal kita dan/atau daerah tempat leluhur dan orangtua kita berasal. Kedua, juga suka maupun tidak, bahwa daerah tempat tinggal dan/atau tempat asal kita itu adalah bagian terintegral dan tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari kedua hal yang diajarkannya itu, TMII ingin memberitahu pikiran, hati, dan kesadaran kita, Indonesia adalah kebangsaan kita. Jatidiri kebangsaan kita adalah Indonesia. Bukan hanya daerah kita sendiri saja yang menjadi milik kita, akan tetapi seluruh Indonesia ini, baik udara, laut, dan daratannya maupun semua isinya adalah milik kita, bagian dari diri kita selaku warga bangsa. Dan sebaliknya, bukan cuma daerah tempat tinggal dan/atau daerah asal-usul kita saja yang memiliki diri kita, namun negara ini, Indonesia ini, juga memiliki diri kita, karena kita ini anak kandungnya, anak bangsanya. Bahkan, Indonesia punya hak yang lebih besar ketimbang daerah kita sendiri untuk memiliki diri kita. Kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah kita! Itulah identitas nasional kita! Itulah yang didorong terus oleh TMII untuk kita kembangkan secara kontinu. Kecuali orang yang tidak melihat jelas identitasnya, seperti disebutkan di atas, orang yang merasa pasti dan jelas akan identitasnya sudah barang tentu tidak akan menyakiti dirinya dan apapun serta siapapun juga yang dicintainya, yang menjadi bagian pula dari dirinya. Malah, bukan hanya rela, kita pun akan dengan senang hati mengorbankan apapun yang ada pada kita untuk menjaga, mempertahankan, dan meninggikan harkat semua hal yang kita cintai itu.
Singkatnya, karena Bhinneka Tunggal Ika merupakan roh dari identitas kebangsaan kita, sebagaimana yang memang ditunjukkannya dalam semua wahana dan anjungan yang ada di dalamnya, maka TMII sesungguhnya membimbing kita untuk menghargai, mencintai, memelihara, dan sampai merasa bersukacita membayar berapapun harganya untuk mempertahankan eksistensi seluruh perbedaan dan keberbedaan yang ada di dalam bangsa kita ini serta juga kerukunan hidup yang menjadi atmosfer dari keanekaragaman tersebut. TMII membina mata batin kita untuk melihat kenyataan terdalam bahwa segala perbedaan itu pada hakekatnya adalah bagian dari diri kita juga sebagai bangsa Indonesia, dan diri kita sendiri adalah salah satu elemen penting di dalam keanekaragaman yang luar biasa kaya itu.
Dengan begitu, tanpa mengecilkan peran pihak-pihak lain dan usaha mereka yang telah menyebarluaskan kekayaan keindahan keanekaragaman dalam segala bidang di Indonesia, kita boleh dengan berani mengatakan bahwa TMII memiliki keunggulan dalam hal memperkenalkan identitas nasional kepada insan-insan Indonesia. Keunggulan tersebut adalah dalam hal kemenyeluruhan dan kedalaman. Karena menampilkan seluruh Indonesia, TMII membuat orang Indonesia dapat mengenal negerinya secara komprehensif. Tidak sepenggal-penggal. Ini berarti sangat memperkecil kemungkinan distorsi pemahaman. Maksudnya, jika kita mengenal suatu daerah dan kekayaan serta budayanya tanpa mengenal daerah-daerah lain berikut segala kekayaan dan budaya yang ada di dalamnya, ada kemungkinan kita akan memaknai dan menginternalisasi rasa cinta pada daerah tersebut secara eksklusif, terlepas dari konteksnya. Padahal, kekayaan (termasuk kekayaan budayanya) suatu daerah punya satu ”benang merah” yang sama dengan kekayaan semua daerah lainnya di Indonesia. Bila itu yang terjadi dalam diri kita, maka bukannya nasionalisme yang sehat yang tumbuh dalam diri kita, yang didorong oleh jatidiri kebangsaan Indonesia. Melainkan suatu spirit yang justru patologis, yaitu semangat sektarian, etno-chauvinism, rasa primordial kesukuan atau agama atau ras atau golongan. Kita jadinya memandang suku atau ras atau agama atau budaya atau daerah kita itu lebih unggul ketimbang suku atau ras atau agama atau budaya atau daerah lainnya di Indonesia. Tapi, TMII amat mencegah semua itu terjadi berkat introduksinya akan Indonesia yang dilakukan secara komplet, tidak mengecualikan dan juga tidak menonjolkan satu daerah, adat, budaya, agama, populasi biosistem, dan unsur kekayaan daerah manapun. Semuanya dipaparkan dan diperkenalkan secara sama gamblang.
TMII Mengajarkan Hakekat Bhinneka Tunggal Ika Secara Paripurna
Kita telah melihat bagaimana TMII secara komprehensif dan holistik mempertunjukkan Indonesia secara ruang lingkup kedaerahan. Bersifat horisontal. Artinya, TMII punya cakupan yang menyeluruh secara luas. Namun, soal kemenyeluruhan tidak hanya diwadahi TMII secara horisontal saja. TMII pun menyeluruh secara vertikal. Jadi, TMII menjelaskan Indonesia juga secara mendalam.
Maksudnya begini. Bhinneka Tunggal Ika hampir selalu diterapkan dalam konteks manusia. Manusia yang tinggal di Indonesia ini beraneka-ragam dan berbeda-beda suku, budaya, adat-istiadat, kearifan lokal, kuliner, kesenian, agama, dan keyakinannya. Itu memang benar. Akan tetapi, TMII menunjukkan kepada kita, yang Bhinneka Tunggal Ika itu Indonesia, bukan hanya bangsa Indonesia saja! Bangsa (baca: populasi atau masyarakat manusia) Indonesia memang beraneka-ragam. Tapi, fauna, flora, kontur dan kondisi alam, sampai kekayaan perut bumi di Indonesia pun begitu, sangat bervariasi dan beragam!
Ini ditunjukkan TMII dengan adanya taman-taman flora dan fauna sebagai wahananya, di antaranya taman burung dan unggas, seperti disebutkan di atas. Bahkan, lebih jauh lagi, TMII pun sedikit “menyentil” ingatan kita, keanekaragaman manusia pun tidak melulu dalam perkara agama, suku, budaya, dan yang lain-lainnya itu, akan tetapi juga dalam hal ide, pemikiran, pilihan hidup, pekerjaan, profesi, dan sebagainya. Ini ditunjukkan dengan adanya berbagai museum sebagai wahana, seperti museum iptek, sebagaimana yang juga sudah disebutkan di atas.
Kita harus menyadari hal ini. TMII mengingatkan kita, kita ini, manusia, hidup dalam naungan atap langit yang sama, minum dari sumber air yang sama, makan dari tanah yang sama, serta tinggal dan beraktivitas di bumi yang sama dengan makhluk lain, yaitu satwa dan tumbuhan. Dan, lihatlah! Semua satwa dan tetumbuhan itu pun sangat kaya akan jenis dan varietas! Bahkan, tidak ada negara yang dapat menyaingi Indonesia dalam hal total jumlah kekayaan hayati! Mereka juga semua hidup. Mereka pun makhluk Tuhan, milik Tuhan pula. Sama seperti kita, manusia. Kehidupan yang berbeda-beda bentuk dan jenisnya ini pun adalah bagian terintegrasi dari Indonesia. Jadi, mereka pun adalah bagian dari diri kita sebagai bangsa Indonesia. Dan kita adalah bagian dari mereka pula! Maka, adalah keharusan yang tak boleh ditawar lagi untuk saling mencintai dan memberi kebaikan antara kita dengan makhluk-makhluk yang ada di bumi Indonesia ini.
Kita tadi melihat, ada “benang merah” di antara semua budaya yang ada di Indonesia. Salah satu “serat” dari “benang merah” itu adalah spirit kesatuan, kebersatuan, dan kemenyatuan dengan alam dan seluruh makhluk. Cobalah luangkan waktu sejenak demi mempelajari dan kemudian merenungkan lagi detail budaya-budaya yang ada di tanah air kita, terutama di TMII! Pastilah kita menemukan dan melihat hal ini: TMII menunjukkan bahwa semua budaya kita itu mengusung paradigma bahwa manusia itu satu (dan karena itu, harus menghormati serta menjaga persatuan dan keharmonisan) dengan alam. Semua budaya di Indonesia ini berwawasan lingkungan! Tidak perlu belajar dari orang luar negeri. Belajar saja dari kearifan nenek-moyang kita melalui budaya! Niscaya, kita akan menyadari betul betapa penting dan berharganya alam semesta dan seluruh makhluk, khususnya yang satu tanah air dan satu negeri dengan kita! Karena itu, tidak ada lagi konklusinya selain bahwa kita, manusia Indonesia, wajib membangun dan mengerjakan kegiatan apapun dengan menjunjung tinggi kelestarian, keasrian, keamanan, kenyamanan, dan keindahan lingkungan.
Kita pun sering terjebak di dalam pemikiran dikotomis. Mempertentangkan budaya dengan iptek. Tradisi dengan modernitas. Yang satu dianggap klasik (kalau tidak mau dibilang “ketinggalan zaman”, “basi”, “stagnan”, atau “anti-kemajuan”), sementara yang lain dipandang canggih, futuristik, dan sophisticated. Padahal, keduanya adalah bagian-bagian dari pohon yang sama, yakni pohon “peradaban”. Budaya dan tradisi adalah akar dan batang tubuhnya, iptek dan ke-modern-an adalah daun, bunga, dan buahnya. Tidak ada penemuan dan perkembangan iptek serta modernitas yang dapat tumbuh dan muncul tanpa ditopang budaya dan tradisi yang kuat oleh sejarah. Sebaliknya, budaya dan tradisi pun ikut diangkat naik dan ditarik maju oleh iptek dan modernitas. Takkan mungkin suatu budaya dan tradisi akan bertahan jikalau tidak terus dimodifikasi oleh iptek dan modernitas. Karena, kalau budaya dan tradisi tidak terus-menerus diperindah dan dipoles oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, cepat atau lambat, budaya dan tradisi itu akan layu, mati, dan tidak diingat lagi! Sebab, seni dan budaya serta tradisi itu adalah sebuah bentuk kehidupan juga. Ia perlu bernafas, diberi nutrisi, dan dibiarkan bebas bergerak dinamis. Itulah sebabnya TMII memadukan barang-barang dan pertunjukan seni dan budaya dengan wahana-wahana semacam museum iptek. Dengan demikian, TMII menyarankan kita agar kita menjaga dan mengharmoniskan keduanya, seni-budaya maupun ilmu pengetahuan-teknologi, sejarah maupun futurologi.
Bukankah pertunjukan tari, wayang, teater, musik, dan kesenian apapun memerlukan dekorasi, lighting, dan sound-system? Bukankah jikalau semakin canggih sound-system dan lighting serta makin atraktif dekorasi dan penataan panggungnya, maka akan bertambah menarik, spektakuler, dan extravagant pertunjukan seni itu? Bukankah pakaian adat membutuhkan mesin-mesin pintal, tenun, dan jahit agar dapat diproduksi massal secara cepat supaya kian banyak yang dapat mengenakannya? Bukankah bahkan pakaian yang harus tetap dikerjakan secara manual agar hasilnya tetap optimal keotentikannya sekalipun memerlukan juga bahan-bahan pewarna yang lebih bermutu dan ramah lingkungan serta alat-alat kerja yang lebih praktis dan memudahkan penggunanya agar proses produksi dan produknya bisa lebih maksimal lagi kualitas dan malah juga kuantitasnya? Bukankah benda-benda seni dan senjata-senjata pusaka membutuhkan perawatan, di mana perawatan itu meliputi juga pengondisian suhu dan kelembaban udara, juga pengontrolan pertumbuhan mikro-organisme, yang mana semuanya itu hanya bisa disediakan oleh peralatan yang canggih?
Kalau begitu, manakala sudah membuktikan sendiri bahwa budaya dan tradisi tidak bisa dipisahkan dari teknologi dan ilmu pengetahuan, bukankah kita pun sudah selayaknya untuk dengan riang-gembira menaikkan derajat bangsa kita dan mempererat persatuan kita dengan cara berjuang memajukan budaya dan ilmu pengetahuan-teknologi karya anak bangsa kita sendiri?
TMII adalah dari Indonesia, oleh Indonesia, dan untuk Indonesia
Apakah sudah semua itu yang dapat kita pelajari dari TMII? Tidak. Masih ada satu hal lagi.
Selama ini, kita, terutama pemerintah, mengembangkan seni dan budaya untuk satu tujuan utama. Apa itu? Sebagai alat promosi wisata.
Tidak ada yang salah dengan menjadikan seni-budaya, kuliner, dan kearifan lokal bangsa kita sebagai penarik wisatawan asing agar datang ke Indonesia untuk meningkatkan pendapatan nasional kita secara finansial. Namun, jika itu dijadikan tujuan utama, dan bahkan satu-satunya, pengembangan seni dan budaya, maka arah kita selama ini telah keliru total!
Taman Mini berdiri dengan mengusung budaya-budaya Nusantara. Dikerjakan oleh tenaga dan pemikiran orang Indonesia. Tapi, justru ini yang terbaik: TMII diprioritaskan peruntukannya bagi bangsa Indonesia, untuk memupuk ke-Bhinneka-Tunggal-Ika-an dan persatuan Indonesia!
TMII bukan pertama-tama dan terutama dibuat agar budaya Indonesia dapat dinikmati orang asing. Atau, bahkan, digunakan untuk orang asing untuk mempertunjukkan seni-budaya dari negeri mereka. Tidak! TMII semata-mata hanya menginginkan agar seni dan budaya Indonesia bisa dinikmati oleh insan Indonesia, serta agar seni dan budaya itu harus dikerjakan oleh orang Indonesia saja!
Inilah semangat yang harus kita adaptasi dari TMII! Taman Mini sukses menjadi benteng kokoh dalam mempertahankan budaya bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika hanya karena ia mempersembahkan dirinya bagi orang Indonesia!
Janganlah lagi kita seperti sekarang ini. Memproduksi teh, kopi, dan hasil pertanian atau perkebunan lainnya dengan tujuan agar bisa dijadikan komoditas ekspor. Memproduksi pakaian dan bahan pakaian pun begitu, supaya laku dijual di luar negeri. Menambang minyak bumi, gas alam, besi, tembaga, timah, dan semua bahan tambang mineral lainnya supaya bisa dilarikan ke luar negeri, dipergunakan orang-orang asing.
TMII tidak anti-asing. Orang asing yang ingin berkunjung, tentu saja dipersilakan dengan hangat dan tangan terbuka. Kita pun begitu. Tidak boleh kita bersikap anti-asing. Sebab, dengan berlaku seperti itu, justru kita mengkhianati budaya kita sendiri yang inklusif dan egaliter. Tapi, di sisi lain, kita pun wajib tahu batas, mana yang menjadi milik kita dan berada di dalam teritori kita. Dan kita pun harus menghormatinya.
Semua hasil alam dan budaya serta produk-produknya yang ada di Indonesia ini adalah milik orang Indonesia sendiri dan wajib hukumnya untuk dinikmati oleh semua insan Indonesia tanpa terkecuali! Nah, setelah kita semua, seluruh orang Indonesia, puas, kita pun perlu mereservasi seluruh kekayaan alam dan budaya kita itu agar anak-cucu dan keturunan kita selanjutnya bisa pula menikmatinya. Barulah, setelah dicadangkan dan masih ada sisanya, sisanya itulah yang dijual kepada orang asing.
Itu berlaku untuk budaya, produk-produk budaya, dan aset-aset budaya kita. Itu pun seharusnya berlaku untuk hasil alam dan produk-produknya.
Kesimpulannya, TMII mendorong kita untuk meluruskan dan membenarkan mindset kita dalam hal mengelola dan menikmati kekayaan yang ada di bumi Indonesia ini. Baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Jangan sampai orang asing lama-lama makin banyak menyimpan produk dan aset budaya kita serta hasil-hasil alam dan produk-produknya, lalu memberi cap kepemilikan bangsa dan negeri mereka atas semua itu, kemudian menjualnya kembali ke Indonesia dengan harga lebih tinggi berkali-kali lipat, dan, sudah begitu, kita beli pula, membanggakannya sebagai budaya dan produk luar negeri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H