Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Masih Berat Berasuransi Itu Alasannya Subyektif dan Naif namun Logis

13 April 2015   20:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:09 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep asuransi itu sangat baik. Dari namanya saja, “asuransi”, yang berasal dari kata “insurance” yang berarti “jaminan”, sudah dapat kita ketahui kalau asuransi merupakan jaminan bagi kita. Jaminan untuk menghadapi keadaan atau situasi buruk yang mungkin akan kita hadapi di masa mendatang, entah masa mendatang yang dekat ataupun yang masih jauh. Kita maupun orang-orang terdekat kita tak pernah tahu kapan akan terserang penyakit, kecelakaan, atau musibah lainnya yang membuat kita invalid dan membutuhkan pemulihan yang ongkosnya tak sedikit. Bilamana punya simpanan di asuransi, kita akan sangat terbantu untuk pulih dengan cepat dari segala kondisi seperti itu.

Meski demikian, mengetahui semua kebaikan dan keuntungan yang bisa diperoleh itu tidak serta-merta membuat saya antusias berinvestasi dalam asuransi, selain asuransi kesehatan yang difasilitasi pemerintah. Sama sekali bukan karena saya mendapati adanya kesalahan-kesalahan fatal, apalagi serangkaian kejahatan, pada perusahaan-perusahaan dan agen-agen asuransi. Melainkan disebabkan hal yang sangat pribadi dan subyektif sifatnya. Hal yang sebetulnya naif. Lugu. Bahkan, terkesan konyol dan primitif sekali lantaran dilandasi kondisi yang begitu primer.

Tadi saya bilang, satu-satunya asuransi yang saya ikuti hanyalah asuransi kesehatan yang difasilitasi pemerintah secara nasional bagi seluruh rakyat, tidak peduli miskin ataupun kaya, supaya semua yang mengikuti program asuransi tersebut bisa mendapat layanan kesehatan, mulai dari tingkat pertama di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sampai dengan tingkat terlanjut di rumah-sakit, tanpa harus mengeluarkan uang lagi, sewaktu berobat atau dirawat inap, juga untuk membeli obat. Mengapa saya ikut asuransi tersebut? Jelas, karena premi bulanannya sangat murah!

Jadi, mudah ditebak, bukan? Masalah yang sangat klasik. Uang!

Tepatnya, cadangan uang. Penghasilan saya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebab, saya masih lajang. Untuk kebutuhan seorang diri saja, tentu saja bukan hanya cukup uang saya memenuhinya, tapi bahkan ada kelebihannya juga. Nah, persoalannya, kelebihannya itu hanya cukup untuk ditabung. Sekiranya kelebihan itu saya pakai untuk bayar angsuran premi asuransi reguler selain daripada asuransi kesehatan program pemerintah tadi, tidak ada lagi sisa uang untuk saya tabung. Bagaimana jikalau tiba-tiba ada kebutuhan tak terduga? Memang bisa saja meminta bantuan atau pinjaman dari ibu atau saudara-saudara saya. Tapi, saya tak tega dan tak enak hati, berhubung mereka dan keluarga mereka pun tidak berkelebihan. Sama-sama berkecukupan saja juga seperti saya. Apalagi ibu saya yang sudah cukup sepuh usianya. Mana ada hati saya membebani wanita lansia (lanjut usia) yang masih semangat berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya sendiri hanya karena tidak mau bergantung pada anak-anaknya dan pada siapapun juga?

Saya pun tidak punya kendaraan pribadi. Jadi, masak harus ikut asuransi kendaraan bermotor? Asuransi jiwa? Saya belum punya isteri. Apalagi anak, tentunya. Lantas, kalau begitu, siapa yang akan menderita kehilangan penopang hidup jika saya meninggal, sehingga perlu diringankan bebannya dengan asuransi jiwa saya? Lebih-lebih asuransi pendidikan! Pendidikan siapa?

Bagaimana dengan asuransi hari tua? Bukankah itu perlu untuk berjaga-jaga saat saya sudah pensiun dan tak mampu lagi untuk kembali bekerja mencari nafkah? Memang. Justru karena itulah saya investasikan kelebihan penghasilan saya di tabungan! Itu juga sudah merupakan investasi untuk hari tua, bukan? Maka, untuk apa lagi ikut asuransi jaminan hari tua?

Bagaimana seandainya saya mengalami sakit atau kecelakaan yang terbilang sangat parah, yang membuat saya harus mendapat perawatan ekstra yang biayanya di luar jangkauan kesanggupan asuransi kesehatan pemerintah itu untuk menutupinya? Bukankah akan lebih aman apabila saya mengambil asuransi jiwa dan, kalau masih memungkinkan, juga asuransi kesehatan kedua? Sekali lagi, uangnya dari mana buat membayar premi?

Bukankah ada bagusnya saya bekerja lebih keras lagi agar bisa mendapatkan pendapatan yang lebih besar lagi, sehingga dengan begitu, bisa membeli asuransi tambahan? Saya setuju bahwa saya harus bekerja lebih keras lagi. Bagaimanapun, saya juga manusia. Laki-laki pula! Punya ambisi dan cita-cita besar. Jadi, tentu saja saya sudah bekerja secara ekstra. Hingga marjin waktu dan tenaga saya sudah amat sangat sempit sekali. Bahkan barangkali marjin itu sudah tidak ada lagi! Dan memang, itu ada hasilnya! Pemasukan saya jadi bertambah. Masalahnya, total jumlahnya tetap masih belum mencukupi untuk membeli asuransi tambahan. Terlebih kalau tambahannya itu sampai lebih dari satu asuransi!

Kalau saya paksakan bekerja lebih keras lagi, sehingga sampai melewati garis marjin waktu dan tenaga saya, itu malah tidak bijaksana! Sebab, kesehatan saya cepat atau lambat pasti memburuk. Baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental-spiritual-sosial. Mungkin memang bisa saja penghasilan saja menjadi bertambah besar lagi. Tapi, mungkin juga tidak. Katakanlah pendapatan saya memang meningkat, kemudian saya membeli satu lagi asuransi kesehatan karena sudah sanggup membayar preminya. Namun, kemudian saya jatuh sakit. Nah, apa gunanya itu? Lho, bukankah ada dua asuransi kesehatan yang saya punya? Bukankah malah jadi terbukti bahwa asuransi kesehatan tambahan itu sungguh-sungguh bermanfaat?

Justru tidak! Begini. Saya jatuh sakit gara-gara bekerja sampai kelewat batas. Saya bekerja keterlaluan seperti itu supaya saya bisa mendapat tambahan uang. Dan tujuan saya mencari lebih banyak uang itu adalah agar dapat membeli satu lagi asuransi kesehatan. Dan setelah saya memilikinya, asuransi itu dipakai untuk menutupi biaya berobat saya. Sedangkan, saya sakit justru gara-gara terlalu berambisi memiliki asuransi kesehatan itu! Seperti lingkaran setan, bukan?

Karena itu, di mana manfaatnya? Tidak ada! Malah kebodohan yang ada! Soalnya, ongkos penyembuhan penyakit saya ditutupi oleh sesuatu yang justru menyebabkan saya sakit karena mengejarnya! Memang, kalau tidak memaksakan bekerja lebih gila-gilaan lagi, saya tidak mendapat pemasukan lebih. Tapi, saya pun tidak sakit! Jadi, biarpun saya tak perlu mengeluarkan uang lagi untuk berobat, tetap saja saya rugi! Sudah uang yang saya perjuangkan secara kelewatan itu hilang untuk alasan yang sia-sia, masih pula saya harus mengalami sakit!

Apa yang saya tulis barusan adalah inti dari perdebatan saya dengan kakak sulung saya. Karena, sejujurnya, kakak saya sendiri tersebut adalah seorang agen asuransi. Dan, jelas, orang-orang pertama yang dia prospek untuk mau menjadi nasabah asuransinya adalah ibu, adik-adik, dan adik-adik iparnya sendiri. Termasuk saya, si bungsu. Tapi, ya itu tadilah argumentasi saya untuk menjawab persuasinya. Dan selalu dia kalah dari saya. Tidak bisa membalas dengan argumentasi lagi. Paling-paling hanya menggerutu dan mengomel seraya berlalu, untuk kemudian kembali dan terus kembali lagi untuk melancarkan persuasinya, yang lagi-lagi dan terus-menerus saya patahkan.

Sama sekali bukan karena saya pandai berdebat. Namun, karena alasan saya yang sekilas naif itu logis secara tak terbantahkan. Memaksakan bekerja sampai keterlaluan dengan mengorbankan kesehatan cuma dengan tujuan supaya bisa punya uang yang digunakan hanya sekadar untuk beli asuransi kesehatan saja adalah perbuatan yang tidak masuk akal, sia-sia, dan mencelakakan. Apalagi, alasan logis itu konsisten pula. Karena, semua orang yang kondisi sosial-ekonominya mirip dengan saya pasti juga memiliki keberatan-keberatan yang sama dengan dasar pemikiran yang serupa.

Tidak saya pungkiri, ada banyak sekali alasan orang di Indonesia ini sampai masih enggan berasuransi. Tapi, saya yakin benar, alasan terbesar dan terbanyak adalah apa yang saya tuliskan di atas. Berapa banyak sih orang yang pendapatannya sangat besar sehingga mampu membeli banyak asuransi? Paling-paling, tidak sampai dua-puluh persen dari total warganegara Indonesia yang tinggal di Indonesia! Sudah begitu, kita tahu sendiri, walaupun tingkat prosentasenya kecil, tetap saja inflasi terus terjadi setiap saat. Belum lagi dengan kondisi aktual akhir-akhir ini, di mana semua harga naik. Ditambah pula dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tak menentu. Naik, sebentar kemudian turun, lalu naik kembali. Sementara, nilai tukar mata uang rupiah kita terhadap dolar Amerika melemah, yang mengakibatkan perekonomian pun melesu dan harga-harga beberapa komoditas jadi tambah mahal lagi lantaran masih harus diimpor, baik bahan bakunya maupun barang jadinya sendiri.

Jadi, jangankan untuk berinvestasi lebih banyak di asuransi, untuk ditabung saja hampir menipis cadangan uangnya. Malah, barangkali banyak yang bahkan tidak menabung lagi karena uangnya sudah habis terpakai membeli dan membayar kebutuhan rutin!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun