Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merevolusi Mental dan Kesehatan Reproduksi Generasi Muda: Pendidikan Nikah, bukan Sekadar Pendidikan Seks!

11 Juli 2016   15:18 Diperbarui: 11 Juli 2016   15:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan Nikah (Sumber foto: http://www.jawaban.com/read/article/id/2014/05/03/80/140430154511/Ini-Alasan-Kenapa-Pasangan-Butuh-Konseling-Pranikah)


Tak kenal maka tak menghargai (perkawinan).... Dan tanggung sendiri akibatnya!

Pernikahan atau perkawinan. Semua orang mengetahuinya. Tetapi, sayangnya, terlalu sedikit yang memahaminya. Dan orang yang tidak memahami makna dan esensi pernikahan itu semuanya disebabkan karena tidak mau mengerti. Tidak mau mempelajari dan mendalaminya. Termasuk di Indonesia. Tidak mengerti kalau pernikahan itu luar-biasa mulia namun, karena itu, sekaligus juga luar-biasa berat dan sulit. Karena kebanyakan orang Indonesia seperti itu, maka pastilah juga marak sekali terjadi deviasi pemahaman yang sangat besar tentang makna dari anjuran untuk “memudahkan perkawinan”.

Alhasil, orang dengan gampang saja kawin, atau dikawinkan, atau dikawini. Entah yang bersangkutan sudah siap mental dan fisik maupun sistem reproduksinya ataukah belum. Dan, karena orang gampang kawin lantaran menganggap enteng pernikahan, maka mengakhiri dan memutuskan jalinan pernikahan pun sudah jelas dipandang sebagai sesuatu yang enteng pula. Kemudian, cari lawan jenis lain yang baru, setelah itu kawin lagi dengan mudahnya. Lalu, cerai lagi dengan gampangnya pula.

Dan apa yang menjadi buah dari semua rangkaian penggampangan perkawinan seperti itu? Sebuah generasi yang mayoritas manusianya menghasilkan keluarga yang disfungsi dan/atau mengalami disfungsi keluarga. Dan apa yang dihasilkan dari generasi semacam itu, yang kerasan-kerasan saja dengan carut-marutnya institusi keluarga pada zamannya? Sebuah generasi berikutnya yang mayoritas anggotanya tidak sehat secara mental dan tatanan reproduksi! Betapa tidak? Mental dan reproduksi yang sehat hanya mungkin dibentuk melalui pendidikan yang benar dan sehat pula.

Baik metode pendidikannya maupun nilai yang ditanamkannya, semuanya harus benar dan sehat. Dan, sebenarnya, satu-satunya lingkungan yang ditentukan sebagai “kawah candradimuka” untuk membentuk manusia menjadi benar, termasuk mental, kepribadian, dan tatanan reproduksinya, adalah keluarga. Lingkungan sekolah atau pendidikan formal lainnya hanyalah suplemen pendukung. Jadi, tetap, yang paling bertanggung-jawab dalam pembentukan seorang manusia adalah orangtua dan anggota keluarga inti dari yang bersangkutan sendiri. Namun, bagaimana sebuah keluarga mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya tersebut dengan optimal bilamana keluarga itu sendiri disfungsi?

Yang memprihatinkan, di Indonesia, generasi yang seperti itu sekarang ini tengah memanen kejahatan sebagai hasil dari sudah matangnya ketidaksehatan reproduksi dan mental mereka! Generasi muda, bahkan yang masih berusia anak-anak, bukan lagi menjadi korban kekerasan fisik dan seksual, namun sudah gantian menjadi pelaku juga! Mental mereka sakit karena cara pandang dan pola pikir mereka memang sudah jauh sekali meninggalkan cara pandang dan pola pikir yang diproduksi oleh mental yang berkondisi sehat dan ideal.

Mereka memandang kemanusiaan secara salah. Mereka memiliki pemikiran dan penilaian yang juga salah tentang kehidupan. Akibatnya, mereka menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak menghargai kemanusiaan dan kehidupan. Mereka tidak menghargai derajat kemanusiaan sesamanya sehingga dengan mudahnya memanfaatkan orang lain hanya selaku sarana pemuas belaka. Dan finalnya, mereka pun tidak merasa bersalah dan tidak terbebani secara moral untuk menghilangkan hidup orang tersebut setelah mereka peralat dan peras habis-habisan untuk memenuhi kepuasan rendah mereka.

Dan berhubung kesehatan reproduksi mereka juga telah sangat terganggu, maka perilaku perendahan kemanusiaan dan kehidupan orang lain demi pemuasan nafsu itu pun cenderung mereka realisasikan secara seksual. Mereka bukan cuma punya pemahaman seksualitas yang terputus dari konteks perkawinan, sebagaimana seharusnya, tetapi pemahaman mereka akan seksualitas itu sendiri pun tidak utuh. Dalam pemahaman mereka, kepuasan seksualitas itu harus segera didapatkan dan melulu untuk diri sendiri semata. Mereka tidak mengerti, bahkan belum pernah tahu, bahwa sejatinya, kepuasan seksual itu tercapai melalui proses yang gradual, serta mengalir secara dua-arah dalam paradigma “saling” (saling memuaskan dan saling dipuaskan di antara kedua pihak yang berinteraksi seksual).

Maksud hati dan niat sih baik, ingin membantu orang kembali celik dan melihat, hanya masalahnya, sendirinya juga buta...!

Generasi muda kita mesti dikembalikan kesehatan reproduksi dan mentalnya. Semua pihak di dalam masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali, bertanggung-jawab untuk melakukan hal itu. Hanya saja, bagaimana mungkin “orang buta menuntun orang buta”? Kalau masyarakat yang hendak memulihkan kesehatan reproduksi dan mental anak-anak muda itu adalah masyarakat yang merupakan “anak zamannya”, yang pemikiran dan paradigmanya sama-sama saja dengan anak-anak muda yang mereka ingin bantu, yaitu tidak menghargai perkawinan, menganggap enteng pernikahan, dan berpikir kalau seksualitas itu dapat dan bahkan mesti dipisahkan dari perkawinan, apakah itu bukan usaha yang sia-sia? Pasalnya, jika masyarakat kita sekarang ini diisi oleh generasi yang didominasi orang-orang yang minim pemahaman dan penghargaannya akan hakekat dan peran vital pernikahan, maka bisa dipastikan, psikolog, psikiater, konselor, aktivis, relawan, dan siapapun juga yang tergerak untuk membangun generasi muda bangsa kita itu mayoritasnya juga adalah orang-orang dengan pemahaman dan penghargaan minim terhadap pernikahan.

Mereka memang sangat mengidamkan terciptanya generasi muda Indonesia yang perilakunya mencerminkan mental yang sehat. Mereka pun amat memimpikan hilangnya kekerasan seksual oleh siapapun, dengan alasan apapun, dalam bentuk apapun, dan terhadap siapapun, utamanya terhadap perempuan dan anak-anak. Akan tetapi, mereka kurang begitu peduli, atau malah sangat mungkin tidak peduli sama sekali, apakah anak-anak muda Indonesia menjunjung tinggi dan benar-benar memahami pernikahan atau tidak. Seandainyapun ada yang peduli, kepedulian itu tidak pernah terbaca, terdengar, dan tertandaskan. Sebab, bisa dibilang, orang-orang itu sendiri pun kurang atau bahkan tidak memandang tinggi pernikahan. Sangat mungkin, banyak di antara para calon penolong itu sendiri yang pernikahannya bermasalah atau bahkan mengalami perceraian. Dan sangat mungkin, tidak berbeda dengan pendapat mayoritas orang Indonesia yang lain, perceraian itu bukanlah keputusan yang sulit dan berat bagi mereka, apalagi sampai memandangnya sebagai suatu dosa besar.

Orang-orang dengan kepedulian besar itu pun sepakat, agar generasi muda menjadi sehat mental dan tatanan reproduksinya, kepada mereka perlu diberikan pendidikan seks sejak dini. Alasannya, dengan mengenal seksualitas secara komprehensif, anak-anak muda pun dapat menjaga dirinya dari ancaman eksploitasi dan kekerasan seksual. Mereka pun jadi bisa memahami seksualitas dan perilaku seksual yang sehat, sehingga mempunyai pengendalian diri yang cukup kuat untuk mengelola libido mereka, yang dalam usia muda memang sedang tinggi.

Seksualitas manusia – pernikahan = seksualitas fauna!

Masalahnya, seksualitas mestinya tidak dilepaskan dari perkawinan selaku perisai yang melindungi keagungan seksualitas itu sendiri. Termasuk ketika seksualitas menjadi bahan pelajaran/pembelajaran. Mempelajari seksualitas secara terpisah dari diskursus perkawinan akan mengakibatkan orang cenderung mengabaikan perkawinan. Walaupun dalam program pendidikan seks itu kita membicarakan secara serius soal pernikahan juga, tetapi akibatnya sama saja, peserta didik tetap tidak akan memperoleh kesan bahwa pernikahan itu sesuatu yang adiluhur. Dipandang penting, ya. Tetapi, pertanyaannya, pernikahan itu penting sebagai apa? Dan penting untuk apa? Jawabannya beragam.

Namun, pada semua jawaban apapun, pastilah terdapat “benang-merah” yang meliputi tiga hal. Pertama, sepenting-pentingnya perkawinan, ia tidaklah lebih penting ketimbang seksualitas itu sendiri, bahkan bisa jadi dianggap kurang penting. Kedua, bagaimanapun tinggi-rendahnya derajat atau tingkat kepentingannya, pernikahan tetaplah merupakan bagian dari seksualitas, jadi seksualitaslah yang tetap menjadi bingkai. Sehingga, konsekuensinya, muncullah hal yang ketiga, yaitu bahwa pernikahan selalu menjadi “akibat” dan seksualitaslah yang merupakan “sebab”, pernikahan bergantung penuh pada seksualitas, pernikahan selalu menjadi hamba dari seksualitas, dan salah satu bentuk paling nyatanya ialah membuat pernikahan sebagai cap stempel yang melegitimasi dan melegalisasi seksualitas, contoh kasusnya adalah fenomena “kawin kontrak” dan “nikah siri”.

Dengan memberikan pendidikan seks secara intensif kepada seorang muda, kita memang bisa mengharapkan hasil yang positif berupa tingginya tingkat kesadaran dan pemahaman insan muda tersebut akan seksualitas yang sehat. Sangat mungkin kita akan puas melihatnya mampu menjaga dirinya sendiri dari potensi pelecehan seksual oleh orang lain. Kita pun bisa bangga melihat anak tersebut bertanggung-jawab dalam mengendalikan dan menyalurkan hasrat seksualnya bilamana sedang membara. Tetapi, kita sama sekali tidak punya alasan untuk optimis bahwa anak tersebut akan bertanggung-jawab dalam kehidupan pernikahannya. Kita pun sama sekali tidak bisa punya keyakinan yang mantap bahwa ia akan menjalani kehidupan seksual yang memuaskan hanya dan semata-mata di dalam lembaga perkawinan.

Malahan sebaliknya, kita justru punya beberapa alasan untuk yakin kalau anak yang kita bimbing itu mungkin saja akan mencari kepuasan seksual di luar pernikahan! Artinya, “perilaku seksual yang bertanggung-jawab” a la pendidikan seks itu hanyalah soal melakukan kegiatan seksual yang pada dasarnya hanya berprinsip “menguntungkan semua dan tidak merugikan siapapun”, alias “suka-sama-suka, menyenangkan semua pihak yang terlibat, dan tidak ada paksaan sama sekali”! Sudah, itu saja! Apakah itu tidak merupakan bentuk tanggung-jawab yang sangat superfisial sifatnya? Maka, kita tidak perlu heran bila mendengar bahwa kaum L.G.B.T. (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) pun mengklaim diri mereka sepenuhnya sanggup berperilaku seks secara bertanggung-jawab. Dan mereka memang benar! Sebab, mereka bisa saja tidak pernah memaksa siapapun untuk berhubungan seks. Dan banyak dari mereka yang melakukan aktivitas seksualnya hanya dengan satu orang saja sebagai pasangan, tidak berganti-ganti. Tetapi, mengapa kita di Indonesia tetap mengutuk orientasi seksual mereka?

“Pendidikan nikah”! Itu yang seharusnya! Bukan cuma “pendidikan seks”!

Keadaan akan sangat berbeda apabila yang kita jadikan bahan pendidikan dan pembelajaran bukan seksualitas, melainkan pernikahan. Ketika kita membicarakan seksualitas saja, maka bisa saja kita menyinggung juga soal pernikahan, tetapi mungkin juga tidak, seperti telah kita lihat di atas. Namun, tatkala membahas soal perkawinan, maka kita pun seratus persen pasti akan membicarakan seksualitas juga, tidak mungkin tidak, sebab memang seksualitas merupakan bagian tak terpisahkan dari institusi perkawinan. Dan kalau topik utama yang kita usung ialah perkawinan, maka otomatis seksualitas menjadi aspek yang bergantung penuh dan menghamba pada perkawinan. Kebahagiaan yang diperoleh dari kegiatan seksual, serta kualitas kegiatan seksual itu sendiri, sangatlah tergantung dari kebahagiaan dan kualitas perkawinan yang diusahakan oleh pasangan suami-isteri yang bersangkutan. Sebab, kegiatan seksual dalam bentuk apapun baru bisa dikatakan sebagai seksualitas yang benar, sehat, dan bertanggung-jawab jika, dan hanya jika, dilakukan di dalam ikatan pernikahan!

Jadi, pendidikan yang dibutuhkan untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental generasi muda bangsa kita bukanlah pendidikan seks, melainkan pendidikan pernikahan. Sebab, sesungguhnya, semua manusia punya kewajiban untuk sejak sangat dini memahami secara komprehensif apa dan bagaimana perkawinan itu.

Pernikahan itu apa sih sebenarnya?

Pernikahan memang harus dipermudah dan dimudahkan. Tetapi, pernikahan itu sama sekali bukan sesuatu yang gampangan! Bukan sesuatu yang murahan. Tidak satu pihak pun yang boleh menganggap enteng perkawinan. Karena, kebenarannya, justru sebaliknya: pernikahan adalah sesuatu yang bobotnya tak terhingga. Perkawinan pun sesuatu yang misterius dan tak terduga. Sebab, perkawinan adalah suatu kehidupan. Dan tak seorang pun yang mampu membaca jalan kehidupan yang masih membentang di depan dan belum dijalani.

Perkawinan adalah perwujudan tertinggi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada bentuk sosialisasi dan sosialitas yang lebih intim, lebih harmonis, lebih indah, lebih agung, dan lebih paripurna ketimbang bersatunya dua insan yang berbeda jenis kelamin di dalam mahligai pernikahan. Namun, di sisi lain, semua masalah sosialisasi dan sosialitas pun ada di dalam perkawinan. Bahkan, semua masalah itu lebih kompleks terdapat dalam pernikahan, sebab pernikahan memiliki masalah sosialisasi dan sosialitas yang unik yang hanya ada di dalam pernikahan dan tidak akan dijumpai di kelompok sosial lain. Itu artinya, oleh pernikahan, pasangan suami-isteri dapat mengukur tingkat kemahiran diri masing-masing dalam bersosialisasi.

Pernikahan pun merupakan aktualisasi paling nyata dan paling indah dari cinta dan asmara. Di dalam pernikahanlah kita dapat melihat, betapa cinta itu tak lain adalah penyerahan diri penuh untuk melayani sang obyek cinta, sang kekasih hati. Perkawinanlah yang memperlihatkan sebuah hakekat dan kebenaran bahwa cinta yang sejati hanyalah cinta yang menjunjung tinggi kesetiaan. Dan karena perkawinan telah begitu mengangkat harkat cinta, maka cinta pun membalasnya dengan menjunjung tinggi pernikahan. Cinta di dalam pernikahan itu membuktikan bahwa pernikahan itu punya harga diri tinggi sehingga tidak menyediakan tempat bagi pendamping hidup lain, tidak ada tempat bagi orang ketiga, apalagi orang keempat, kelima, dan seterusnya, sebab cinta yang hidup di dalam perkawinan itu adalah cinta yang menuntut semua tempat yang tersedia di hati masing-masing suami dan isteri, tidak memperbolehkan masih adanya ruang kosong sekecil sekalipun!

Dan pernikahan juga adalah salah satu aspek termulia dari kemanusiaan. Aspek kemanusiaan bisa dikatakan paling mulia apabila bersifat ilahi. Jadi, pernikahan ialah sesuatu yang bersifat ilahi. Sebab, bukan saja kita harus senantiasa terhubung dengan Tuhan dalam menjalani perkawinan agar selamat dari segala badai, tantangan, halangan, rintangan, dan bahaya, tetapi perkawinan itu sendiri adalah hal yang dapat secara paling sempurna memperlihatkan Tuhan!

Mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berpasangan? Karena, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mirip Sang Mahapencipta! Tidak mungkin bayangan global Tuhan akan terefleksikan seluruhnya jika manusia hanya terdiri dari satu jenis kelamin saja. Pria merepresentasikan kekuatan, kepemimpinan, ketegasan, kewibawaan, dan semua “sisi api” lainnya dari Tuhan. Sedangkan, wanita mewakili keindahan, kecantikan, kelembutan, kesabaran, dan semua “sisi air” lainnya dari Tuhan. Maka, ketika Adam dan Hawa menjadi satu, keduanya menyatukan pula kedua sisi gambaran pribadi Tuhan! Dan saat cinta laki-laki berfusi dengan cinta isterinya dalam peleburan paripurna secara spiritual, emosional, dan badaniah, terbentuklah cerminan dari syahdu dan panas-membaranya cinta-kasih Tuhan!

Serta, yang paling menggetarkan hati, sesungguhnya kemenyatuan pria dan wanita dalam seksualitas perkawinan adalah sebuah pewahyuan akan apa yang bakal terjadi kelak, yaitu bahwa pada akhir zaman nanti, Tuhan akan menyatu secara sempurna dan takkan terpisah lagi dengan mempelai-Nya, yakni umat-Nya dari kalangan manusia! Jadi, lihatlah: pernikahan manusia, terutama dan khususnya seksualitasnya, adalah sesuatu yang sangat ilahi! Bahkan, paling ilahi dari antara semua hal di dalam kemanusiaan! Itu sebabnya, Kerajaan Kegelapan di bawah pimpinan Iblis menjadikan seksualitas manusia sebagai target nomor satu untuk dihancurkan! Dan, tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk menghancurkan kemuliaan seksualitas manusia selain dengan memisahkannya dari “perisai” pelindung kemuliaan itu sendiri, yakni institusi pernikahan!

Lagipula, bagaimanapun juga, perkawinan bukan melulu seksualitas, kendatipun hubungan seks memang merupakan puncak pengejawantahan penyatuan dua manusia dalam perkawinan. Seperti sudah disinggung juga di atas, pernikahan merupakan sebuah kehidupan. Dan sesuatu bisa disebut sebagai “kehidupan” jika sesuatu tersebut memenuhi empat syarat atau tanda atau ciri mutlak sebuah kehidupan. Pertama, adanya pertumbuhan dan perkembangan. Kedua, adanya proses reproduksi atau perkembangbiakan atau multiplikasi. Ketiga, memiliki kemampuan beradaptasi. Serta, yang keempat, mempunyai kemampuan memulihkan atau merehabilitasi atau merekondisi diri sendiri. Berarti, sebuah perkawinan seharusnya memperlihatkan keempat tanda atau ciri tersebut. Satu saja ada syarat yang belum atau tak terpenuhi, itu pertanda pernikahan yang bersangkutan sedang sakit dan disfungsi. Kalau keempat-empatnya tidak ada, maka patut dicurigai, pernikahan itu sudah lumpuh atau malah barangkali sudah mati!

Berkaitan dengan hal itu, ada kabar buruk dan kabar baik. Kabar buruknya, keempat tanda kehidupan tersebut harus ada dalam pernikahan bukan hanya pada satu saat tertentu saja, melainkan harus di sepanjang waktu. Padahal, untuk mengadakan satu syarat saja, diperlukan perjuangan yang sangat berat! Ambil saja sebagai contoh, tanda kehidupan yang kedua, yakni adanya proses reproduksi atau multiplikasi. Proses ini jangan diartikan sebagai mempunyai anak. Adanya proses reproduksi atau multiplikasi berarti adanya proses pelipatgandaan kehidupan. Maksudnya, sebuah perkawinan dikatakan bereproduksi atau bermultiplikasi sama sekali bukan karena pasangan yang kawin melahirkan anak biologis. Melainkan karena kedua insan tersebut mampu menjadi inspirasi dan memberi motivasi bagi banyak orang lewat perkawinan mereka.

Dengan begitu, artinya, pasangan suami-isteri tersebut telah menanamkan dan menstimulus tumbuh-kembangnya kehidupan yang berkualitas dan bermakna di dalam diri dan kehidupan orang lain. Misalnya, tidak usah muluk-muluk, dengan selalu tampak saling kompak, saling mendukung, dan saling mesra saja, suami-isteri itu sudah menciptakan kedamaian di hati orang yang melihat. Nah, coba saja pikir, apa tidak berat melakukan seperti itu? Itu baru satu tanda kehidupan. Hitung saja, bagaimana kalau kita dan isteri/suami kita harus terus-menerus mengupayakan adanya keempat tanda kehidupan di dalam perkawinan kita? Ya! Perkawinan memang adalah proses perjuangan mahaberat seumur hidup!

Namun, kabar yang menggembirakannya lebih hebat! Pertama-tama, andaikatapun sebuah perkawinan sudah tidak punya keempat syarat kehidupan lagi, alias sudah lumpuh atau malah sudah mati, terlebih lagi apabila keadaan tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, akan tetapi, asalkan jalinannya masih ada, pernikahan tersebut tetap dapat terselamatkan. Dapat dihidupkan lagi. Sehingga kembali dapat memunculkan sedikitnya satu tanda kehidupan, dan bahkan keempat-empatnya! Kabar baik yang kedua, karena pernikahan memperlihatkan keagungan diri Tuhan, maka jelas, Tuhan punya kepentingan penuh agar pernikahan manusia bukan hanya tetap terjalin dan hidup, tetapi juga terjalin dan hidup secara berkualitas dengan mutu yang terus meningkat! Itu berarti, asalkan kita bersama suami/isteri kita bertekad kuat merealisasikan hal tersebut dalam perkawinan kita, kita tidak akan berjuang sendirian dengan kekuatan kita sendiri. Tuhan pun, tidak hanya menolong, juga ikut berjuang secara aktif bersama kita, yang mana tentu saja menggunakan kekuatan-Nya!

Kesimpulannya, pernikahan adalah perjuangan terbesar yang bisa dijalani umat manusia, namun itu adalah perjuangan yang sangat layak dilakoni kalau perlu sampai mati sekalipun! Karena, perkawinan menjanjikan sesuatu yang paling berharga yang bahkan tidak pernah bisa dibayangkan oleh manusia. Pernikahan menjanjikan kehadiran Tuhan!

Kalau memang terbukti sangat bagus dan bermanfaat, kenapa Negara tidak menyelenggarakan “pendidikan pernikahan” yang wajib?

Itulah garis-besar dari semua hal tentang perkawinan. Itulah garis-besar yang harus diketahui, dipahami, dipelajari, dan diinternalisasi oleh semua orang di seluruh dunia dan di segala zaman, tanpa terkecuali. Mengetahui dan mengerti semua itu, kita harusnya menyimpulkan, langkah jitu untuk melakukan revolusi mental dan kesehatan reproduksi generasi muda Indonesia ialah dengan pendidikan nikah. Bukan sekadar pendidikan seks.

Kegiatan pendidikan pernikahan sendiri merupakan aktivitas yang sudah ratusan, bahkan ribuan, tahun dilakukan di seluruh dunia oleh Gereja bagi pasangan jemaat yang hendak menikah. Sekarang ini, organisasi Islam dan organisasi agama-agama lain di Indonesia pun sudah ikut menerapkan keharusan pendidikan nikah semacam ini bagi pasangan umat yang mau menikah. Ini tentunya sebuah langkah yang sangat tepat dan benar. Kian banyaknya umat yang bercerai dari hari ke hari adalah sebuah pelajaran penting, yang biarpun pahit namun tetap mengandung manfaat yang tak terhingga jika mau ditarik hikmahnya.

Maka, pertanyaan besarnya, mengapa Negara tidak belajar dari pengalaman pahit yang sama yang menimpa warganya, dengan cara segera mengadaptasi kegiatan pendidikan pra-nikah ini sebagai kegiatan yang wajib diikuti oleh warganegaranya? Dalam hal ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (B.K.K.B.N.), selaku representasi Negara, seyogyanya menjadi pemrakarsa, atau sponsor, atau bahkan sekaligus menjadi operator, dari kegiatan pra-nikah ini. Perlu juga koordinasi dan gotong-royong terpadu dengan berbagai kementerian lain, misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, juga dengan para biro konsultasi psikologi, serta tentunya juga organisasi-organisasi keagamaan serta kelompok-kelompok masyarakat adat. Ini diperlukan guna mengumpulkan materi dan mendiskusikan metode pendidikan yang tepat-guna sehingga menjadi berdimensi sekaya mungkin, sebab topik pernikahan memang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang: agama, kesehatan, kearifan lokal, budaya, dan lain sebagainya.

Kenapa pendidikan nikah itu mesti wajib? Terus juga, apa manfaatnya buat anak-anak, khususnya untuk merevolusi mental dan kesehatan reproduksinya?

Pendidikan nikah itu wajib? Ya! Siapa saja yang perlu diwajibkan mengikuti pendidikan ini? Ya jelas, semua warganegara tanpa terkecuali, termasuk dan terutama para pemimpinnya, baik pemimpin pemerintahan, pemimpin budaya, pemimpin agama, maupun pemimpin-pemimpin lainnya. Bukankah namanya saja “revolusi mental dan kesehatan reproduksi generasi muda”? Kalau “revolusi”, ya sifatnya harus semesta! Tetapi, bukankah revolusi itu untuk membentuk mental dan kesehatan reproduksi generasi muda? Jadi, harusnya cuma generasi muda saja yang diwajibkan, bahkan semestinya hanya generasi muda saja yang ikut pendidikan ini, bukan? Tidak!

Bukankah kita sudah lihat di atas, generasi muda itu perlu dibimbing supaya mental dan tatanan kehidupan reproduksinya kembali sehat dan benar, cuma, masalahnya, yang mau membimbingnya saja nyaris seluruhnya sama-sama sakit mental dan kehidupan reproduksinya lantaran tak mengindahkan nilai ilahi pernikahan? Maka, justru para pemimpinlah yang terlebih dahulu harus dibenarkan mental dan tatanan kehidupan reproduksinya, dengan membenahi paradigma mereka akan perkawinan! Hanya orang-orang dengan pandangan dan penghormatan yang benar dan sehat terhadap pernikahan sajalah yang pantas membimbing mental dan tatanan reproduksi anak-anak muda bangsa ini!

Lalu, mungkin sekali banyak di antara kita yang bertanya-tanya, “Baiklah, bisa dimengerti apabila para pemimpin, dokter, psikolog, relawan, dan calon pembimbing lainnya bagi anak-anak muda itu diharuskan mengikuti pendidikan nikah. Karena, sebagian besar dari mereka memang sudah menikah, dan sebagian lagi yang belum menikah pun usianya sudah dewasa dan matang sehingga sudah pantas dan siap untuk menikah? Jadi, pendidikan pernikahan itu betul-betul berguna untuk mereka. Tetapi, untuk remaja, apalagi anak-anak yang usianya belum sepuluh tahun? Apa manfaatnya membekali mereka dengan pendidikan nikah? Toh, masih sangat jauh sekali mereka dari masa perkawinan?”

Justru itu! Justru karena remaja, apalagi kanak-kanak, masih jauh dari perkawinan! Dan justru karena mereka masih jauh pula perjalanannya mengarungi kehidupan! Itulah mengapa disebut “pendidikan sejak dini”! Maka, sejak sedini mungkinlah seorang manusia seharusnya dibekali pengetahuan yang komprehensif akan kehidupan yang sehat dan benar, supaya kelak yang mereka jalani pun adalah kehidupan yang sehat dan benar pula. Dan semua hal tentang kehidupan bisa didapatkan dari perkawinan. Terlebih, sebagaimana kita lihat tadi, pernikahan itu sendiri pun ialah sebuah kehidupan.

Ketika Tuhan menciptakan semua makhluk fisik di bumi ini, termasuk manusia, Ia memberi perintah agar mereka memenuhi bumi dengan cara memperbanyak kehidupan baru. Alias, menghasilkan individu-individu baru yang sesuai dengan spesies masing-masing. Bagaimana cara para makhluk fisik, termasuk Adam dan Hawa, melakukan perintah tersebut? Tidak ada metode dan cara lain! Hanya lewat perkawinan, yang dalam dunia manusia ditambahkan lagi satu unsur pengesahan Tuhan ke dalamnya sehingga juga menjadi bernama “pernikahan”! Artinya, satu-satunya metode untuk menghasilkan lebih banyak lagi kehidupan ialah pernikahan atau perkawinan! Jadi, dengan apa kita dapat merangsang mental anak-anak bangsa kita yang masih sangat muda itu guna menghasilkan beraneka-ragam “kehidupan” di dalam jiwa mereka? Dengan menanamkan nilai-nilai pernikahan ke dalam pikiran dan emosi mereka!

Bukankah pertanyaan yang termasuk paling awal ditanyakan anak-anak kepada orangtuanya atau kepada orang dewasa di dekatnya, tetapi yang juga membuat kita paling kewalahan menjawabnya, adalah: “Saya datang dari mana? Adik keluar dari mana?” Mau sampai kapan kita mau menyadari bahwa pertanyaan paling awal dari anak-anak sendiri pun adalah pertanyaan yang sangat kental dan amat nyata bernuansa perkawinan? Pernah bertanya-tanya, kenapa kita kesulitan menjawab mereka kala mereka melontarkan pertanyaan itu? Sebab, alih-alih menggunakan paradigma dan sudut pandang pernikahan ketika merumuskan jawabannya, yang mana memang seharusnya begitu, kita malah memakai mindset seksualitas, yang justru akibatnya malah membawa diri kita sendiri ke dalam dilema, karena kita risih sendiri karena gamang, apakah pantas membicarakan proses seksualitas kepada anak-anak, atau kalau kita bungkus topik seksualitas itu dengan keilmiahan.

Kita ragu sekali, apakah mereka bisa mengerti dan menerima, lalu sekaligus kita juga takut kalau-kalau jawaban itu justru membuat mereka mengajukan pertanyaan berikutnya yang jauh lebih membuat kita pusing! Padahal, jawab saja, “Kamu itu diciptakan Tuhan melalui pernikahan dan cinta Mama/Mami/Ibu/Bunda dengan Papa/Papi/Ayah/Bapak, Sayang!” Singkat, padat, jelas, gamblang, tetapi begitu sederhana sehingga bisa dicerna dan diterima pemikiran anak-anak, bukan? Dan, kita sadari ataupun tidak, jawaban seperti itu akan terukir sangat dalam di hati dan jiwa anak-anak! Dan, hebatnya lagi, bukan kata-kata dari jawaban itu saja yang terukir begitu dalam, namun juga kesan dan persepsi yang sangat indah tentang Tuhan, asal-muasal kehidupan, cinta, pernikahan, dan kedua orangtua mereka, bahkan juga keluarga!

Setelah mengenal dan menginternalisasi dasar-dasar dari kehidupan, yaitu asal-mula kehidupan, yang diperoleh dari inisiatif Tuhan dan kolaborasi Beliau dengan orangtua melalui perkawinan yang dibuka, dijalankan, dan kelak juga bakal ditutup oleh cinta, anak-anak pun siap untuk diajari oleh pernikahan tentang pengenalan awal akan makhluk hidup. Teristimewa, manusia. Khususnya, diri si anak itu sendiri. Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, perkawinanlah yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan sesuai gambaran dan citra diri Tuhan sendiri. Dengan demikian, sejak awal sekali, tanpa ia sendiri sadari, si anak sudah menanamkan informasi tersebut di dalam jiwanya. Informasi terawal dalam kehidupanlah yang akan menentukan bentuk, pola, dan gerak mental seseorang pada tahap-tahap selanjutnya dari kehidupannya. Jika yang tertanam adalah informasi tentang keberhargaan manusia terkait eksklusivitas kemiripannya dengan Tuhan, maka sikap, perilaku, dan bahasa tubuh orang tersebut akan mencerminkan mental yang menghargai manusia, termasuk dirinya sendiri, tentunya.

Penghargaan akan Tuhan dan manusia itu sesungguhnya merupakan tanah yang paling ideal untuk benih cinta dan kasih-sayang. Karena itu, setelah menginternalisasi ke-mahasegala-an Tuhan dan nilai tinggi manusia, si anak pun siap untuk belajar mengenai cinta. Pernikahanlah yang dapat mengajarkan, seperti yang sudah kita simak di atas, bahwa cinta itu seperti roh, tidak kelihatan, maka supaya bisa terlihat, cinta membutuhkan bantuan komitmen sebagai tubuhnya. Dan yang menjadi otot dari tubuh yang bernama “komitmen” itu adalah sesuatu yang bernama “perjuangan” alias “pengorbanan”. Semakin sering otot-otot “perjuangan” atau “pengorbanan” diolah dan digerakkan, makin kuat, sehat, bugar, dan kokoh pula tubuh “komitmen” itu, sehingga roh “cinta” yang ada di dalamnya pun ikut kuat, sehat, bugar, dan kokoh. Dan itu berlaku untuk semua bentuk dan manifestasi dari cinta.

Maka, ketika pelajaran sudah mengarah dan menjurus ke dimensi dan manifestasi yang lebih spesifik dari cinta, yaitu asmara, cinta yang berkaitan dengan seksualitas, maka di dalam mental si anak pun sudah terbakukan paradigma bahwa cinta asmara pun harus dibuktikan oleh komitmen dalam memperjuangkan cinta itu sendiri, demi si dia yang dicintai. Komitmen terhadap pengorbanan dan perjuangan inilah yang harus sungguh-sungguh kuat, sedemikian kuatnya, sehingga mampu menahan libido yang tenaganya besar bukan kepalang dalam meronta-ronta mencari pelampiasan. Apabila komitmen sekuat itu sudah tertanam dalam-dalam pada relung-relung kesadaran dan alam bawah sadar si anak, sampai nanti menjadi remaja dan dewasa pun ia akan terlatih dalam menahan berahinya hingga saatnya tiba untuk dilepaskan di satu-satunya tempat yang memang disediakan untuk sang nafsu, yaitu pernikahan, dan terhadap satu-satunya obyek yang halal, yakni isteri atau suaminya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun