Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sumber Daya Alam Migas yang Madani

13 Mei 2015   22:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ‘45) memerintahkan dalam pasal 33 supaya (dalam parafrase bebas) semua kekayaan alam di seluruh teritori tanah air kita ini dan proses produksinya harus dipandang vital sehingga harus dikuasai Negara, serta hasilnya wajib dipergunakan untuk memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Termasuk kekayaan berupa minyak bumi dan gas alam (migas).

Pemerintah baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tampaknya sudah lebih menyadari urgensinya perintah tersebut. Wacana-wacana tindakan pematuhan perintah Konstitusi terkait kekayaan alam itu pun banyak digulirkan. Utamanya dalam sektor migas. Sehabis masa kontraknya di tahun 2017 mendatang, Blok Mahakam direncanakan akan dikelola perusahaan migas nasional seperti Pertamina (Perusahaan Tambang Minyak Nasional) dan PGN (Perusahaan Gas Negara).

Dan sejatinya, ayat (2) dan (3) dari pasal 33 tersebut saling menopang. Satu runtuh, maka yang lain pun jatuh. Tanpa penguasaan oleh Negara, takkan mungkin kekayaan alam dapat memberi manfaat, apalagi mendatangkan kemakmuran, terlebih kemakmuran yang sebesar-besarnya, bagi rakyat. Kekayaan alam yang masih dikelola, apalagi sampai dikuasai, pihak asing tidak akan pernah menjadi sumbangsih bagi kemajuan bangsa kita. Ini tidak melulu soal uang, dalam arti: tingkat pemasukan nasional ataupun daerah. Tapi juga mengenai taraf kemampuan negara dan bangsa kita bila dikomparasikan dengan seluruh negara dan bangsa di dunia, serta derajat signifikasi Indonesia dalam kancah global.

Jadi, kesadaran pemerintahan memang merupakan jalan pertama untuk kembali ke arah yang benar sesuai petunjuk Konstitusi. Yaitu arah untuk menggiring dan mengolah seluruh kekayaan alam di bumi dan air Indonesia ini menjadi bahan untuk membentuk bangsa kita menjadi masyarakat yang madani.

Akan tetapi, apakah dengan dikuasainya oleh Negara saja, semua kekayaan alam itu serta-merta pasti memadanikan rakyat? Tidak, kalau kita tidak menyertakan bagian yang justru paling esensial. Yakni ayat (1) dari pasal 33 UUD ’45 tersebut, yang merancang arsitektur dan pondasi semestinya dari bangunan perekonomian Indonesia: “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Kesejahteraan, atau keadaan madani, terwujud hanya jika seluruh kebutuhan terpenuhi. Namun, keterlibatan aktif dan proaktif atau peran-serta sepenuhnya dari masyarakat pun perlu ada untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut. Dan dalam alam pandang bangsa kita, keterlibatan dan peran serta ini menjadi niscaya karena semangat dan jiwa bangsa kita adalah gotong-royong. Semangat dan jiwa gotong-royong inilah yang juga harus ada dalam kehidupan perekonomian. Itu sebabnya, semua aktivitas ekonomi masyarakat kita harus bermodelkan usaha bersama yang dilandasi kekeluargaan. “Usaha bersama” berarti semua hal dan urusan perlu pelibatan semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Tidak hanya pemerintah, kalangan bisnis dan industri, atau kelompok tertentu saja.

Migas merupakan salah satu modal utama kita dalam membangun kesejahteraan. Karena itu, seluruh aspek dan semua hal yang berkaitan dengan migas harus melibatkan seluruh rakyat. Terutama yang berdomisili dan berkampung-halaman di wilayah kerja tambang-tambang migas.

Pelibatan dan keterlibatan rakyat dalam sektor migas memang kelihatannya sudah lama digerakkan. Akan tetapi, semua itu menjadi kurang efektif lantaran adanya beberapa kesalahpahaman dalam mengerti arti “pelibatan” dan “keterlibatan” itu sendiri.

Pelibatan adalah tindakan yang sebagian besar keaktifannya dilakukan pemerintah dan para pelaku sektor migas non-pemerintah. Upaya pelibatan yang dilakukan selama beberapa dekade ini hanyalah bentuk komunikasi satu arah. Kampanye, advertasi, pemberitaan; itu semua cuma satu bagian dari pelibatan, yakni publikasi. Sedangkan bagian yang lain, yang lebih substantif, justru amat jarang dilakukan. Yaitu transparansi dan aksesibilitas. Kedua bentuk keterbukaan itu harus dibentangkan selebar-lebarnya.

Transparansi merupakan usaha pemerintah dan para stakeholder migas lain untuk membagikan segala pengetahuan dan informasi kepada masyarakat mengenai semua yang terjadi di bidang tambang migas, baik secara umum tentang migas itu sendiri, maupun secara spesifik pada suatu wilayah kerja atau perusahaan atau kegiatan migas tertentu. Mulai dari pencantuman sektor migas sebagai mata anggaran dalam anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), berlanjut pada kegiatan tender migas dan penentuan kontraktor di wilayah kerja migas manapun, lalu juga apa dan bagaimana proses eksplorasi, sampai dengan seluk-beluk eksploitasi dan produksi, pula lika-liku tahap hilir seperti pemasaran dan distribusi, serta tak lupa juga pelbagai terminologi dan istilah teknis khas dunia migas. Pokoknya, apapun yang seharusnya diketahui untuk menguasai pengetahuan tentang migas secara global dan kasar saja. Pula, tak boleh dikecualikan atau dirahasiakan segala problematika dan dilematika dalam bisnis migas. Antara lain, soal kian menipisnya cadangan migas, permasalahan kerusakan lingkungan, kendala dalam bidang finansial untuk mengadakan ekspansi dalam bentuk eksplorasi dan eksploitasi ladang migas baru, penguasaan teknologi yang ketinggalan dari negara-negara lain, masih sangat kurang dan amat dibutuhkannya sumber manusia yang handal dalam jumlah memadai untuk bekerja dan memajukan sektor migas nasional.

Sedangkan aksesibilitas adalah niat baik pemerintah dan para stakeholder migas untuk membuka diri seluas-luasnya dan kemudahan sebesar-besarnya, serta melakukan ajakan secara terus-menerus, agar siapapun masyarakat dapat dan mau mengakses semua pengetahuan dan informasi tersebut kapanpun dan di manapun dengan sarana apapun.

Kesimpulannya, usaha pemerintah dan para pelaku dunia migas Indonesia dalam melakukan pelibatan masyarakat bukan hanya pasif duduk manis di kantor menunggu orang datang mencari informasi dan pengetahuan. Tapi, justru harus jauh lebih aktif dan agresif: menebarkan sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan tentang migas di sebanyak mungkin medium, mendatangi sebanyak mungkin masyarakat, serta kemudian memberitahu mereka letak semua media tempat mereka bisa mengakses pengetahuan dan informasi tentang migas dan mengajak mereka bersama-sama belajar. Teristimewa terhadap masyarakat di kabupaten/kota yang kaya migas, tempat wilayah kerja migas berada.

Dari semua itu, kita jadi bisa lebih mengerti apa itu keterlibatan masyarakat, dan apa yang selama ini salah dalam pemahaman kita akan “keterlibatan”. Keterlibatan masyarakat seharusnya tidak melulu dikerjakan oleh sekelompok kecil orang dalam beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja. Memang, mereka yang tergabung dalam LSM-LSM itulah yang barangkali bisa menjadi ujung-tombak, karena punya kecakapan ilmu dan pendidikan yang cukup dalam bidang migas, sehingga mampu menganalisa dan mengajukan gagasan-gagasan kritis. Tapi, akan sangat berbahaya apabila terdapat jurang kejomplangan pengetahuan yang terlalu lebar antara anggota masyarakat yang tergabung dalam LSM-LSM dengan sebagian anggota masyarakat sisanya yang merupakan mayoritas.

Bukan hendak berprasangka buruk. Namun, hal tersebut sangat rentan menjadi lahan fitnah, agitasi, dan penyesatan informasi, yang berakibat melunturnya dan hilangnya kepercayaan, bahkan sangat mungkin membangkitkan pula stigma, masyarakat terhadap pemerintah dan para pelaku bisnis migas. Suatu bahaya yang akan sangat bisa dikurangi apabila seluruh rakyat sendiri secara umum sudah memiliki basis pengetahuan elementer yang cukup kuat perihal migas, sehingga menjadi jauh lebih bijak dan selektif dalam mengecek dan menilai kebenarannya bilamana ada yang mengajukan fakta apapun yang bernada sumbang tentang hal-hal yang terjadi di usaha tambang migas di daerah mereka. Dan, jika fakta tersebut terbukti, memang ada penyimpangan dan korupsi, masyarakat bisa memprotesnya dengan argumentasi yang jauh lebih berbobot dan dengan cara yang jauh lebih bermartabat. Tidak asal berdemo, berteriak-teriak, dan bertindak anarkis, bahkan hanya ikut-ikutan orang ramai saja tanpa tahu dan mengerti apa-apa tentang persoalan yang sesungguhnya.

Dengan demikian, pelibatan dan keterlibatan aktif masyarakat yang secara optimal niscaya mampu menjaga dan menyelamatkan sumber daya migas kita secara jauh lebih efektif.

Selama ini, migas kita dijual mentah-mentah ke luar negeri dalam jumlah masif selama bertahun-tahun. Dan sebagian besar masyarakat kita tidak tahu-menahu soal itu. Kalaupun tahu, rakyat tidak tahu apa resikonya. Terlebih karena rezim pemerintahan terdahulu meninabobokan rakyat dengan pembangunan di segala bidang, dengan mengatakan bahwa semua biaya itu hasil dari migas kita. Alhasil, rakyat iya-iya saja, tidak mau cari tahu lebih jauh lagi tentang migas yang diekspor itu: dalam bentuk apa, berapa jumlahnya, mengapa harus dalam bentuk itu dan dalam jumlah sedemikian, apakah masih ada cukup stok untuk kebutuhan energi dalam negeri kita sendiri, berapa pemasukan negara yang diperoleh dari hasil penjualan itu, serta adakah bedanya apabila migas itu diolah dulu baru dijual kepada pihak asing.

Dan berdekade-dekade selanjutnya, cadangan migas (terutama minyak bumi) kita pun menipis dengan sangat cepat. Sementara, kebutuhan energi di dalam negeri justru meningkat terus, dengan akselerasi yang semakin tinggi. Rakyat pun kesusahan listrik. Bahkan, banyak daerah yang sejak dunia dijadikan belum tersentuh aliran listrik sama sekali. Dan ironisnya, beberapa daerah tersebut justru terdapat di provinsi-provinsi dan kabupaten-kabupaten yang kaya migas!

Pola hidup kita pun selama bertahun-tahun dalam memakai energi selalu boros. Tidak bijak. Selalu saja kita hanya bisa mengeluh gara-gara tarif dasar listrik (TDL) dan harga BBM (bahan bakar minyak) tak menentu dan bisa dikatakan selalu naik. Tahu-tahu, kita baru tahu, ternyata sudah cukup lama kita harus mengimpor BBM, yang (sedihnya) bahan mentahnya justru adalah minyak bumi yang berasal dari Indonesia sendiri.

Dan jangankan untuk peduli bila ada minyak tertumpah di laut. Untuk peduli kebersihan udara di lingkungan kita sendiri saja pun kita acuh. Kita bahkan turut andil besar dalam mencemarkan udara. Contohnya, kita memodifikasi kendaraan kita, dan hasil modifikasi itu justru menimbulkan polusi udara yang parah lantaran menghasilkan kadar emisi gas buang yang sangat tinggi.

Hal-hal di atas akan jauh sangat berkurang bila saja seluruh masyarakat dilibatkan dan melibatkan diri secara aktif dalam dunia migas tanah air. Pelibatan dan keterlibatan itu tidak berarti harus bekerja di perusahaan migas. Juga tidak mesti menguasai ilmu migas layaknya para insinyur pertambangan. Atau harus ahli dalam bidang akuntansi dan bisnis seperti para pebisnis dan ekonom. Atau menghafal secara detil angka-angka statistik migas berikut satuan-satuannya segala. Tidak harus seperti itu. Cukup tahu secara gros/garis-besar saja, tapi yang diketahui itu harus semuanya yang berhubungan dengan migas.

Itu pelibatan dan keterlibatan secara umum. Alangkah lebih baiknya kalau masyarakat juga terlibat dan melibatkan diri secara lebih spesifik. Ada 3 hal yang dapat dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah (pusat maupun daerah), para pelaku migas, dan masyarakat.


  1. Sebagaimana yang diminta pemerintah provinsi Kalimantan Timur dalam urusan Blok Mahakam, dan juga pastinya menjadi keinginan seluruh pemerintah daerah lainnya, badan-badan usaha milik daerah (BUMD) memang pantas dilibatkan secara optimal dalam rangkaian kegiatan migas di seluruh daerah di Indonesia. Termasuk juga dalam usaha-usaha yang menjadi mata-mata-rantai suplai untuk usaha migas, yaitu industri pipa, perkapalan, alat-alat berat, dan lain sebagainya.
  2. Untuk itu, elemen daerah yang terlibat tidak hanya perusahaannya saja, melainkan juga seluruh tenaga kerjanya. Atau, paling tidak, sebagian terbesarnya adalah pekerja yang berasal dari provinsi, atau kalau bisa dari kabupaten/kota, tempat wilayah kerja migas bersangkutan berada. Maka, sejak sekarang, semua provinsi dan kabupaten/kota yang disinyalir kaya migas haruslah membuka pusat-pusat pelatihan. Sehingga, ketika eksplorasi dimulai, sebagian besar pekerjanya adalah pekerja lokal. Jika memungkinkan, di seluruh level, mulai dari manajemen hingga ke staf lapangan, harus ada dan mayoritas diisi putera daerah setempat.
  3. Memang Pertamina dan PGN, yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN), dan semua BUMD umumnya bukanlah perseroan terbuka. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk adanya terobosan baru sebagai berikut: selama masa kontrak kegiatan migas perusahaan-perusahaan tersebut berlangsung, semua BUMN dan BUMD itu membuka pemasaran sahamnya sebesar sepuluh persen. Tapi, terbatas hanya khusus untuk rakyat di provinsi dan kabupaten/kota tempat wilayah kerja tersebut berada. Jadi, peluang untuk membeli saham itu hanyalah mereka yang tinggal di daerah tersebut. Dan itu pun satu orang harus dibatasi limit maksimal lot/lembar yang boleh dimilikinya. Tidak boleh dipindahtangankan secara jual-beli , tapi bisa diwariskan, asal kepada anak kandung atau orang lain yang juga penduduk dari provinsi dan kabupaten/kota bersangkutan. Sebab itu, data rakyat pemilik yang tercatat harus benar-benar teraudit dan akuntabel. Sehingga, dengan begitu, rakyat bukan hanya “merasa” tapi juga secara riil ikut memiliki usaha pertambangan migas di daerahnya. Diharapkan, setelah sebelumnya diberi pengetahuan dan informasi garis-besar yang menyeluruh mengenai migas, dan setelah itu benar-benar aktual dan faktual terlibat dalam bisnis migas, rasa menghargai rakyat terhadap sumber daya energi, khususnya migas, baik di daerahnya sendiri maupun di seluruh Indonesia, akan meningkat tajam. Jika semua itu dapat terealisasi, upaya penyelamatan migas pun bukan hanya didukung melainkan juga dilakukan dengan partisipasi rakyat. Entah dalam hal penghematan energi dan BBM-kah, atau dalam hal pemaksimalan migas untuk pemenuhan energi dalam negeri dan domestikkah, atau dalam hal menjaga kelestarian lingkungan hidup dari ancaman limbah dan polusi sebagai ekses dari kegiatan migaskah, peran-serta rakyat akan amat sangat membantu menyukseskannya. Lagipula, perekonomian rakyat pun terdongkrak karena setiap tahun mendapat bagian deviden. Dan deviden inilah yang menjadi stimulus bagi rakyat untuk giat mengusahakan agar usaha migas yang ikut dimilikinya itu bisa memperoleh laba sebesar mungkin. Sebab, semakin besar laba perusahaan, makin besar pula yang bakal mereka terima dari deviden tersebut.

Sekiranya, ketiga langkah tersebut dapat berjalan, maka barulah sumber daya alam migas bisa benar-benar madani, karena memberi manfaat dan keuntungan yang mana manfaat dan keuntungannya itu benar-benar terasa. Juga terjaga dari dampak buruk pemborosan dan terjaga dari kemungkinan menjadi dampak buruk bagi lingkungan. Serta memajukan taraf hidup masyarakat luas, baik secara ekonomi maupun dalam hal kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang migas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun