Dunia masyarakat modern, terutama di kota besar dan kota berkembang memang ganas. Hidup dipenuhi dengan deadline, kemacetan, waktu yang sepertinya tidak pernah cukup. Biaya hidup yang melonjak bagi kelas menengah, keperluan yang semakin banyak, harga yang semakin mahal, adalah hal yang setiap hari menjadi bagian dari kehidupan.
Belum lagi berbagai ancaman kesehatan, makanan dan udara yang terpolusi, kriminalitas yang tinggi, informasi lalu-lalang membawa berita negatif dan menebar ketakutan dan kebencian. Setiap hari dihabiskan dengan beban dan urusan yang masuk ke dalam pikiran, tanggungan hidup yang menumpuk. Pergi pagi pulang petang dibarengi keletihan fisik dan mental.
Akhirnya banyak manusia yang hidup dalam emosi tidak terkendali. Kemarahan, umpatan, terlontar dan menular ke banyak orang. Stres menjadi makanan sehari-hari mulai bangun tidur sampai kembali tidur. Apakah manusia masih bisa bahagia dan menemukan kedamaian di dalam dirinya?
Menutup Jendela
Itulah judul bab pertama dalam buku Sejenak Hening karya Adjie Silarus. Diceritakan bahwa jendela kehidupan kita selama ini terlalu sering dibiarkan terbuka. Angin, panas, polusi, dan segala kebisingan yang ada di luar dapat masuk dari jendela tersebut.
Akibatnya kita sulit menemukan kedamaian bagi diri kita sendiri. Hal-hal yang berada diluar jendela kita dapat digambarkan berupa beban kerja di kantor, kemacetan di jalan, tuntutan pimpinan atau keluarga, berita-berita di tv, berbagai informasi di gadget, dan lain-lain membuat kita sulit menemukan diri kita sendiri dalam keheningan.
Malahan kita cenderung merasa tidak nyaman saat sendiri, hanya ditemani keheningan. Padahal di saat itulah kita dapat “pulang” ke diri kita sendiri dari segala rutinitas hidup. Dan pulang itu membuat jiwa kita kembali segar, membuat diri kita damai, menciptakan kehangatan, dan menyembuhkan jiwa kita. Karena itulah jendela rumah hati kita sekali-kali musti ditutup rapat.
Adjie memotret kehidupan manusia modern yang dipacu dengan target dan waktu selama 24 jam sehari. Terjebak dalam rutinitas dan terkungkung dengan kesibukan yang luar biasa. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa kita tidak bisa menemukan kedamaian jiwa. Dan itu dimulai dari cara pandang setiap kali mengawali hari.
Bahwa setiap bangun pagi berarti kita masih diberi waktu untuk melanjutkan hidup (hadiah) dan bisa kita gunakan sebaik mungkin. Hadiah tersebut sepatutnya digunakan untuk merengkuh kedamaian baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Sumber-sumber kebahagiaan bukan semata-mata berupa prestasi yang besar atau sejenisnya. Kita dapat berbahagia dengan melihat sinar mata polos seorang anak kecil, menghirup udara yang segar, menikmati segelas air putih,, dan hal-hal sederhana lainnya. Mengutip Adjie, “Kebanyakan, kita ini sangat pintar dalam mempersiapkan hidup, namun tidak pintar dalam menjalaninya.”
Kebahagiaan itu adalah present (saat ini), bukan nanti. Sering orang mengatakan bahwa dia akan bahagia jika apa yang menjadi impian atau cita-citanya tercapai. Yang jomblo membayangkan bahagia itu jika sudah punya pasangan. Yang belum menikah membayangkan bahagia jika sudah menikah. Yang belum punya jabatan membayangkan bahagia setelah ada jabatan. Padahal setelah semua itu tercapai seringkali manusia ingin kembali ke masa lalu dan tidak mensyukuri apa yang telah diperolehnya. Alangkah rapuhnya manusia.