Suatu ketika saya bersama atasan saya sedang berada di Bandung dan singgah ke sebuah toko buku. Kebetulan kami punya hobi yang sama yakni mencari buku-buku new release. Saya membeli sebuah buku berjudul The Power of Hope (Menaklukkan Ombak) yang ditulis oleh seorang penulis muda yang produktif Paulus Winarto. Dalam perjalanan pulang ke Pekanbaru, di atas pesawat saya sempatkan membacanya. Baris demi baris, paragraf demi paragraf, lembar demi lembar, dan topik demi topik sudah dilewati. Tidak terasa sudah hampir setengah dari buku tersebut saya lahap.
Saya putuskan untuk beristirahat sejenak dan mencoba mengendapkan apa yang telah baca. Sedikit terkejut karena saya baru menyadari bahwa apa yang ditulis Bung Paulus ternyata hal yang biasa-biasa saja yakni menyangkut keseharian kita. Penasaran saya cek kembali tulisan-tulisan tersebut dan memang kenyataannya demikian. Tidak ada penggunaan istilah yang sophisticated atau analisis dan ide-ide yang jelimet. Semuanya biasa saja, mengalir bak orang yang tengah bercerita kepada kita tentang kehidupannya. Awalnya saya sempat sedikit kecewa dengan buku ini karena tulisan-tulisannya terkesan sangat sederhana, namun faktanya saya telah telah “tersihir” oleh buku ini.
Saya kemudian mencoba meminta pendapat atasan saya dengan mengatakan bahwa buku yang saya baca biasa-biasa saja namun ternyata saya sangat menikmati setiap kata-katanya hingga tidak terasa sudah jauh saya tenggelam di dalam isi buku ini. Atasan saya hanya tersenyum sedikit dan berkata, “Itulah buku yang ditulis dengan sepenuh hati !”.
Beberapa waktu kemudian saya membaca buku Happines Inside yang ditulis oleh inspirator (atau filsuf ya?) muda Gobind Vasdhev. Sama dengan pengalaman yang saya ceritakan di atas, saya tenggelam lagi di dalam setiap kata-katanya. Saya kemudian mencoba mencari tahu latar belakang dan aktivitas sehari-hari para penulis muda tersebut dan saya merasa ada konektivitas yang kuat antara kehidupan mereka dengan tulisan mereka. Mereka tidak memisahkan antara isi tulisan dengan kehidupan nyata mereka sendiri. Sebuah tulisan adalah bagian dari perjuangan, upaya mencapai visi hidup, dan aktualiasi dari nilai-nilai kehidupan itu sendiri.
Kedua penulis di atas adalah contoh kecil saja. Ada banyak sekali inspirator dan motivator yang saya banggakan karena kualitas pengajaran mereka (saya percaya) sebanding dengan kualitas hidupnya seperti Andrie Wongso, Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Jansen Sinamo, Andreas Harefa, Gede Prama, Jamil Azzaini, Erbe Sentanu, Yohanes Surya, dan masih banyak lagi. Mereka telah mengalami keberhasilan (moril dan materil) dengan melakukan transformasi hidup yang berat dan penuh kerja tantangan yang tidak ringan. Dan ketika kehidupan itu kemudian dimanifestasikan dalam bentuk tulisan, terasa ada energi dalam setiap kata-katanya.
Demikian juga dengan tokoh-tokoh besar yang mana tulisan-tulisan mereka banyak memberikan pencerahan pada zamannya. Di Indonesia kita mengenal Sukarno, Hatta, Douwes Dekker, Pramudya Ananta Toer, R.A.Kartini, Tan Malaka, Khairil Anwar, Soedjadmoko, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Tulisan mereka berasal dari perenungan yang mendalam terhadap sebuah realitas yang dihidupi dan diperjuangkan.
Jadi bagaimana kualitas hidup seseorang, maka demikian juga dengan tulisannya. Jika kualitas hidup sesorang baik maka tulisannya juga berkualitas. Alasan saya sederhana, bagaimana mungkin seseorang bisa menuangkan kata demi kata menjadi sebuah pesan dengan makna yang dalam jika orang tersebut tidak menghidupinya? Dan jika orang tersebut merasakan bahwa nilai-nilai (yang dihidupi) tersebut begitu memberikan arti yang besar dalam hidupnya, kemudian dengan setulus hati dan doa dituliskan, seakan-akan ada magis yang menjadikan kata-kata sederhana tersebut menyentuh hati yang membacanya. Mungkin saya terlalu naif dalam mengambil kesimpulan ini, namun itulah yang saya rasakan.
Pada sisi yang lain saya juga tidak mau terjebak untuk membeda-bedakan mana tulisan yang ditulis sepenuh hati, setengah hati, dan sebagainya hanya dengan subjektivitas menikmati atau tidak menikmatinya. Yang saya ingin katakan adalah apa pun yang kita tulis adalah manifestasi hidup kita sendiri. Semakin kita terus berusaha memperbaiki kualitas hidup kita maka semakin baiklah kualitas tulisan kita.
Dalam sebuah wawancara bersama sebuah stasiun TV tanah air Dalai Lama berpandangan bahwa perubahan yang sesungguhnya tidak dapat dilakukan dengan cara kekuasaan, melainkan dengan mengubah pemahaman/ paradigma. Perubahan paradigma itu hanya dapat tercapai dengan cara menyentuh hati. Demikianlah tulisan yang ditulis dengan sepenuh hati tidak hanya mengisi wacana (yang sering cepat menjadi usang) tetapi juga mampu mengubah pemahaman yang membacanya yang berujung kepada perubahan hidupnya.
Oleh karena itu sebelum saya ingin menulis buku (entah kapan) untuk pertama sekali saya ingin membenahi diri saya, seraya berharap apa yang saya terima sebagai buah dari proses yang panjang ini sedikit banyak dapat menjadi berkah bagi orang lain yang salah satunya berupa tulisan. Teringat lagi kalimat atasan saya di dalam pesawat saat itu, “Itulah buku yang ditulis dengan sepenuh hati !”.
Salam Kompasiana !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H