Heboh memang saat para wakil rakyat di Senayan sudah menganggarkan dana 1,6 triliun rupiah untuk membangun rumah barunya. Rumah mewah (apa rumah yang lama kurang mewah?) ini dianggap sebagai alasan untuk meningkatkan kinerja. Sayangnya alasan itu hampir-hampir tidak masuk ke akal sehat apalagi ke nurani.
Yang lebih menyakitkan sebenarnya adalah saat mengetahui wakil rakyat yang mulia yang menangani urusan rumah tangga (sekaligus berperan sebagai tukang kibul) adalah mantan aktivis yang cukup disegani pada masa reformasi dulu. Inilah potret orang-orang yang mengaku mewakili rakyat itu. Rumah mewah sebenarnya adalah simbol ekspansi (kerakusan) modal dan kekuasaan saja. Sebab ruang kerja yang sempit memang kurang selesa untuk melakukan banyak negosiasi proyek-proyek APBN. Lebih afdol lagi saat menjamu dengan rekan bisnis sambil menikmati spa atau berjemur di kolam renang.
Di luar potretnya berbanding terbalik. Ribuan rakyat miskin berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, bertaruh nyawa hanya untuk mendapatkan sepaket sembako untuk hidup beberapa hari. Hal yang sama saat mereka berani mengorbankan para manula atau balita untuk mendapatkan zakat yang hanya mungkin diterima sekali dalam setahun.
Sementara ledakan tabung gas tak kunjung selesai, dengan tenang penilap uang rakyat melenggang kangkung, bersiap-siap pindah rumah dari Lapas ke rumahnya yang super elit. Sementara orang-orang kecil semaput saat antri sedekah, yang lain malah pengen perang dengan negara tetangga. Semakin kecewa saat Kepala Negara memilih mengalah (bukan untuk menang) dengan alasan diplomasi, meskipun nota protes yang ke-4 pun dicuekin pejabat setingkat menteri di negara tetangga.
Tidak perlu kita bereaksi terlalu berlebihan karena di atas segalanya kita memang sudah lama mengangkat bendera putih, saat konstruksi nasionalisme dan ekonomi kita yang terlampau rapuh ini sudah lama dipotret, dikekang, bahkan didikte oleh negeri jiran. Kita masih bisa sedikit berbangga dengan mengatakan bahwa mengalah adalah cara terhormat untuk mengaku kalah.
Menjelang libur panjang seperti Lebaran dan tahun baru jutaan orang mudik ke kampung halaman dengan jutaan cerita pula. Yang di kampung memuja-muja mereka yang kembali dengan mobil mewah dan uang banyak tanpa peduli dari mana asalnya. Mari tiru mereka yang sudah sukses, ikuti cara mereka, jangan ikuti kata hatimu.Begitulah kira-kira nasihat orang-orang kepada mereka yang hidupnya masih prihatin. Lalu jutaan orang berbondong-bondong hijrah ke ibukotadengan taruhan menjadi “orang” atau menambah bilangan penghuni kolong jembatan.
Maka hidup hanyalah upaya meraup sebanyak-banyaknya selagi mampu. Mulai dari wakil rakyat, pejabat teras, pengusaha, dan “orang-orang sukses” lainnya hidup adalah aji mumpung. Semua hanyalah persaingan sementara untuk mobilisasi derajat hidup dengan cara apa pun, setelah di atas rauplah dengan cara apa pun, kalahkan setiap orang yang berusaha menjadi saingan dengan cara apa pun, maka sukses akan bertahan. Memang benar kata Hobbes bahwa naluri manusia adalah homo homini lupus. Di saat bersamaan berlakukah hukum survival for the fittest. Barangkali itulah yang membuat peradaban kita bisa langgeng. Sebagai rasionalitas pada generasi berikutnya katakanlah bahwa kesuksesan hanya dapat diraih dengan kerja keras dan pantang menyerah. Itulah rumus keberhasilan hidup.
Oleh sebab itu puluhan juta petani, buruh industri, tukang becak, penjuan sayur di pasar, nelayan, tukang sapu, atau pembantu rumah tangga,yang bangun menjelang subuh dan bekerja keras sampai malam, hanya bisa mangut-mangut karena mereka adalah pengecualian dari rumus itu. Semakin bingung oleh karena demi alasan pembangunan sebagian lahan dan hasil bumi mereka diambil pengusaha, hutan tempat hidup indigenous people hancur, ikan tangkapan semakin menciut karena sungai dan laut tercemar, harga-harga tak terkendali di pasar, BBM dan TDL naik terus, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan ketika ada pembagian zakat sekali setahun, yang kemudian ditonton seluruh mata di penjuru tanah air, mereka hanyalah orang yang patut dikasihani. Sumbangan, belas kasihan, derma, itulah hak rakyat kita. Orang-orang malang, yang belum mengerti rumus keberhasilan hidup.
Bicara tentang hak, uang 1,6 trilun rupiah itu sebenarnya hak siapa? Jika bicara tentang hakekat negara, uang yang bisa membangun ribuan gedung sekolah baru lengkap dengan alat praktiknya, ratusan rumah sakit, membina usaha padat karya, atau menyekolahkan jutaan anak-anak miskin itu apakah hak 550 orang yang baru melek dan masih gagap menyebut demokrasi atau hak 40 juta penduduk miskin penghuni negeri ini? Lucu memang, sebab setahu saya sejak SD kita sudah belajar tentang hak dan kewajiban. Namun para wakil rakyat tersebut entah lupa pelajaran tersebut atau saking pintarnya suka membalik-balikkan yang mana haknya dan yang mana kewajibannya.
Wajar jika akhirnya kaum papa tersebut tidak tahan lagi menerima nasib dan memilih hijrah ke negeri lain untuk mengisi pekerjaan yang tidak lagi mau dikerjakan oleh warga negaranya, meskipun pada faktanya mereka adalah pahlawan kesepian atas simbol-simbol kejayaan seperti Menara Kembar Petronas dan gedung-gedung pencakar langit lainnya. Di sana mereka pasrah jiwa raga, ambillah segalanya sebagai tanda terima kasih. Gamang dan ragu kami ini sebenarnya warga negaranya siapa? Barangkali keduanya, karena kami adalah serumpun. Ini tentang pertaruhan perut dan masa depan anak cucu, sama sekali bukan tentang nasionalisme. Karena ini tentang serumpun kami boleh membawa reok, tari pendet, angklung, batik, apapun, bahkan (maaf) celana dalam kami pun masih serumpun.
Begitulah, kenyataannya kita memang terlalu sering kebablasan. Maka seandainya pun pemerintah kita tergoda untuk berperang dengan negeri jiran, mohon dipikir tujuh kali tujuh puluh kali lagi, apakah 2 juta “orang kita”di sana berada sepihak atau malah berdiri berhadap-hadapan dengan kostum pejuang ’45 lengkap dengan bambu runcingnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H