(Tanggapan atas Buku "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" karya Idhar Resmadi)Â
Buku "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" ditulis oleh Idhar Resmadi. Sosok yang sebetulnya tidak asing lagi bagi saya pribadi. Seorang anak muda Bandung yang sejak saya kenal di tahun 2013 sebagai pribadi hangat, potensial, dan juga unik.
Di penghujung Desember 2018 lalu, di sela-sela urusan pekerjaan, saya bertemu Idhar di Kota Bandung. Â Masih sama dengan empat tahun lalu, penampilannya tetap sederhana (takut dibilang agak urakan), dengan kaos oblong, kacamata, dan topi khasnya.
Saya tahu bahwa Idhar baru saja merilis buku tersebut, dan sebagai teman pasti saya mengendorse dengan membelinya langsung dari penulis. Lalu percakapan pun mengalir hangat seperti dulu ketika kami masih sama-sama kuliah di Magister Studi Pembangunan ITB Bandung.
Idhar adalah sedikit dari anak muda Bandung yang sangat tertarik pada dunia tulis-menulis/ jurnalistik, secara spesifik jurnalisme musik. Kecintaannya itu sudah ada sejak remaja dan dikembangkan ketika kuliah di Fikom Unpad Bandung.
Suatu ketika Idhar mengajak saya dan beberapa teman ke rumah baca/ perpustakaan Kineruku di Bandung (dan akhirnya sering dijadikan posko diskusi dan mengerjakan tugas kuliah). Sambil tersenyum dia menunjukkan buku pertamanya berjudul Based on a True Story, Pure Saturday.
Tidak hanya itu saya, jaringan pertemanan beliau dengan berbagai tokoh dan aktor di Kota Bandung juga cukup luar biasa. Mulai dari profesor di berbagai kampus ternama sampai pemusik alternatif tradisional di pinggiran Kota Bandung kenal baik dengannya.
***
Sekembalinya di Jakarta, delapan bab buku "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" ini pun mulai saya buka-buka. Meskipun saya awam terhadap jurnalisme dan dunia musikologi, namun aroma Idhar melalui cerita-cerita selama ini saya dengar sangat kental di buku tersebut.
Menurut saya buku ini cukup komprehensif. Di bab awal Idhar mengupas cikal bakal lahirnya media musik di Indonesia, melalui radio Belanda di tahun 1934. Kemudian berkembang dengan komunitas musik di Batavia dan di Jawa Timur. Setelah kemerdekaan kegilaan anak muda akan dunia musik (Barat) semakin kuat, didorong oleh hadirnya film dan musik Amerika di tanah air.
Kemudian setelah kemerdekaan, periode 60' muncul berbagai majalah musik seperti Diskorina dan Aktuil di Bandung. Semuanya menggandrungi musik rock yang mulai merasuki anak-anak muda di masa itu. Â Aktuil yang mempopulerkan istilah dangdut dan 'belantika' (dalam bahasa Sunda berarti usaha dagang, artinya musik komersial). Tokoh-tokoh seperti Remy Sylado dan Deny Sabri adalah pelaku hidup yang oleh Idhar dijadikan sebagai narasumber buku ini.