Sejak tahun kedua di perguruan tinggi (sekitar tahun 1999-2000) saya mulai mengenal buku. Hal itu dipicu oleh teman-teman dan senior di organisasi mahasiswa yang memaksa saya berdikusi dan berdebat mengenai berbagai isu sosial, ekonomi, budaya, filsafat, agama, dan politik. Mau gak mau saya musti melek dengan berbagai teori-teori tersebut supaya gak kelihatan goblok-goblok amat di hadapan teman-teman.
Ada beberapa teman yang memang sangat mencintai dan tergila-gila dengan buku. Setahu saya mereka sanggup merelakan uang sarapan pagi selama sebulan demi membeli buku.
Meski secara finansial saya tahu mereka berasal dari keluarga yang kurang, namun saya kagum ketika berkunjung ke kost mereka dan menemukan buku-buku tersusun satu lemari penuh. Sejak saat itu saya pun bertekad untuk menjadikan buku sebagai salah satu kebutuhan pokok.
Di masa itu buku benar-benar jadi barang mahal, apalagi peralatan seperti handphone dan berbagai gadget memang belum ada. Kalau ada teman yang mau pinjam buku mesti diwanti-wanti betul agar menjaganya jangan sampai rusak atau robek. Dan mesti selalu setiap kali jumpa diingatkan agar segera mengembalikannya.
Sebab saat itu ada pepatah yang berkembang di kalangan mahasiswa (dan celakanya ini diajarkan oleh dosen juga) bahwa, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya, namun lebih goblok lagi mereka yang mau mengembalikan buku yang dipinjamnya”.
Akibatnya buku juga sering menjadi sumber pertengkaran di antara mahasiswa, sebab banyak yang mengaku-ngaku sudah mengembalikan buku yang dipinjamnya. Dan ada yang lebih “jahat” lagi, yakni para senior yang mengajarkan cara mencuri buku dari perpustakaan.
Saya masih ingat berbagai trik yang mereka ajarkan, meski tidak dapat efektif lagi saat ini karena di masa itu belum banyak CCTV. Namun di balik semua itu, bagi saya hal tersebut masih dapat dilihat dari segi “positif” bahwa mahasiswa di masa itu sangat mengerti bahwa mereka tidak akan bisa pintar tanpa buku.
Ketika saya sudah bekerja dan mempunyai penghasilan yang lebih, minat membeli buku semakin kuat. Saya tidak lagi terlalu banyak perhitungan sana sini ketika menemukan buku-buku best seller di toko buku. Akhirnya sampai saat ini koleksi buku saya sudah penuh dua lemari. Hingga beberapa saat lalu saya sedang membersihkan koleksi buku-buku tersebut, saya menyadari bahwa hampir setengahnya belum sempat saya baca sepenuhnya.
Pelan-pelan saya buka lagi buku-buku tersebut, dan banyak yang sudah saya lupa apa isinya. Bahkan yang membuat sedikit kaget adalah ada beberapa buku yang saya beli dua kali karena saya tidak ingat bahwa buku tersebut sebelumnya sudah pernah saya beli.
Di dalam hati kecil saya muncul rasa bersalah dan malu. Ternyata sebagian motivasi saya membeli buku masih didasarkan oleh nafsu mengkoleksi tapi belum diikuti dengan niat sepenuhnya untuk mengunyah benar-benar isi buku tersebut.
Seandainya buku-buku tersebut saya berikan kepada orang lain barangkali mereka sudah mendapatkan banyak manfaat dari buku-buku ini. Saya jadi teringat bagaimana semangatnya saya di saat mendapatkan uang dan segera ke toko buku, namun selama bertahun-tahun buku-buku yang saya beli tersebut masih bersampul rapi di dalam lemari. Mungkin jika uang untuk membeli buku-buku tersebut bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih berguna seperti untuk menolong orang lain.