Mohon tunggu...
Samuel Lengkey
Samuel Lengkey Mohon Tunggu... -

Pembaca Buku, Pendengar Lagu Klasik, Dir. Eks. Jaringan Analisis Strategis, Ketua Lembaga Kajian Ilmu Hukum, Mahapatih Law Firm. Email samuellengkey@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tumbal Superioritas Kekuasaan Orde Baru

21 Maret 2014   22:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

TUMBAL SUPERIORITAS KEKUASAAN ORDE BARU

Kuasa Kekuasaan Presiden sebelum Amandemen UUD 1945

Samuel Lengkey

Masa pemerintahan orde baru adalah masa pemerintahan otoriter dan kondusif bagi rakyat Indonesia. Kekuasaan ABRI sangat kuat mencengkram seluruh jiwa bangsa. Tidak ada ruang kecil apapun yang mampu dilepaskan dari cengkraman tangan ABRI, kondisi tersebut melahirkan pemerintahan militeristik konstitutional gaya orde baru. Orde baru lahir dari perlawanan atas pemberontakan G30SPKI. PKI dengan segala agenda politiknya melakukan pembunuhan terhadap para pimpinan ABRI saat itu, yang dianggap dapat membahayakan gerakan politik PKI. Pembunuhan dan pembantaian PKI terhadap para pimpinan tinggi ABRI, memicu perlawanan rakyat untuk menumbangkan kekuasaan Sukarno yang didukung oleh PKI. Rakyatpun bersama ABRI melakukan pembersihan dari jaringan komunis di seluruh Indonesia. ABRI menjadi kekuatan negara yang sangat dekat dengan rakyat, dipercaya rakyat dan akhirnya dapat menjalankan kekuasaan negara di tangan Suharto.

Saat pemerintahan orde baru, kekuasaan ABRI menjadi sangat kuat. Presiden didukung oleh ABRI dan Golkar diparlemen. Para pejabat legislatif dan yudikatif dengan latar belakang militer menduduki posisi-posisi strategis dalam seluruh sistem ketatanegaraan negara saat itu. Bahkan keberadaan ABRI hadir sampai di struktur pemerintahan paling rendah, yakni kepala desa, dusun dan RT/RW. Seolah negara saat itu tidak memiliki celah untuk melepaskan diri dari cahaya kekuasaan ABRI.

Saat itu ABRI sangat dicintai sekaligus dibenci. Ia dicintai oleh masyarakat, karena para pelaku kejahatan takut melakukan kejahatan, karena segala bentuk kejahatan mudah diberantas oleh ABRI. Rakyatpun seakan diam dan seolah sangat setuju setiap tindakan atau program ABRI untuk memberantas penyakit masyarakat. Kita masih ingat peristiwa Petrus (penembak misterius) yang menghukum mati, dengan menembak para pelaku kejahatan, pemeras rakyat, bertato atau dicap sebagai orang-orang yang menyakiti masyarakat, tanpa melalui proses pengadilan. Namun, dipihak yang lain para aktivis demokrasi sangat membenci kondisi negara saat itu, demokrasi yang meberi ruang secara luas kepada masyarakat untuk bersuara bebas, menyatakan pendapat, mengeritik timpangnya kondisi pemeritahan dibungkam, berkumpul dengan bebas untuk membahas berbagai agenda politik yang dianggap dapat mengancam pemerintahan dilarang keras, bahkan dipidanakan, demokrasi dikubur hidup-hidup oleh kekuasaan presiden orde baru. Hanya orang-orang yang dianggap gila dan tidak takut mati dapat melawan pemegang kekuasaan dan sistem kekuasaan saat itu.

Kekuasaan negara pada saat itu berada di satu tangan, yakni tangan Presiden. Indonesia saat itu, ibarat tubuh dengan setiap irama detak jantungnya ditentukan oleh Presiden. Tangan kekuasaan Presiden saat itu ada dimana-mana, mencengkram dimana-mana, menguasai lembaga dimana-mana. Kekuasaan Presiden sangat kuat di lembaga legislatif, para anggota DPR RI dan DPRD yang duduk di kursi legislatif selama orde baru adalah para prajurit sipil Presiden untuk mengamankan kebijakan dan kekuasaan Presiden. Presidenlah yang seolah menentukan segala kekuatan dan kelemahan negara Indonesia. Presiden dapat membuat berbagai kebijakan sesuai keinginan presiden. Dia dapat mengangkat para menteri seenaknya, para anggota DPR seenaknya, menunjuk dan mengangkat pejabat di lembaga peradilan sesuai dengan kriterianya. Presiden Indonesia saat sebelum amandemen UUD 1945 adalah Raja sekaligus penguasa dalam sistem kekuasaan pemerintahan demokrasi gaya Indonesia produk orde baru.

UUD 1945 pra amandemen memberikan kekuasaan yang melampaui semua kekuasaan negara kepada Presiden. UUD 1945 pra amademen pasal 4 memberikan kuasa kepada Presiden untuk berkuasa dalam pemerintahan dengan dibantu oleh wakil presiden sebagai pendamping seremonial, atau pengganti tugas-tugas yang tidak penting bagi Presiden. Presiden sebagai pemegang kekuasaan dalam menjalankan negara, tanpa ada batasan yang jelas ukuran kekuasaan Presiden untuk menjalankan pemerintahan, kemudian Pasal 15, 17 ayat (2) dan 3 UUD 1945 Pra amandemen memberikan kuasa kepada Presiden untuk memberikan gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, mengangkat dan memberhentikan menteri, sesuai dengan keinginan, kemauan, dan kehendak Presiden.

Dalam kekuasaan legislatif, yakni kuasa untuk membuat aturan atau undang-undang yang akan mengikat masyarakat, UUD 1945 pra amandemen pasal 5, 21 ayat (2), pasal 22, Presiden memiliki kekuasaan istiwewa, yang sangat bertentangan dengan prinsip pengawasan dan pembagian kekuasaan.  Karena, ditangan Presiden, ia dapat membentuk undang-undang dan DPR sebagai “pasukan” yang ia tunjuk untuk dapat melaksanakan dan mengamankan keinginan dan kepentingan kekuasaan Presiden, sehingga undang-undang yang dihasilkan merupakan undang-undang hasil keinginan Presiden yang di susun dan diterjemahkan oleh para penasehat hukum presiden dan diresmikan oleh DPR sebagai teknis administrasi ketatanegaran. Apabila ada suatu kondisi yang membuat Presiden tidak memiliki landasan konstitusi untuk bertindak, dan seolah-olah sesuai dengan prinsip negara hukum, maka Presiden dapat megeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan Presiden ini merupakan keputusan Presiden sepihak tanpa pertimbangan DPR, yang penting dapat mengamankan kebijakan Presiden yang belum memiliki payung hukum atau landasan pijak dalam membuat kebijakan.

Selain kekuasaan Presiden sepihak untuk menjadikan peraturan presiden sepihak sebagai undang-undang, Presidenpun dapat mengesahkan atau tidak mengesahkan rancangan undang-undang usulan dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk memperjuangan berbagai kepentingan rakyat. Rancangan undang-undang dapat ditolak oleh Presiden dengan berbagai alasan, walaupun undang-undang tersebut merupakan rancangan undang-undang untuk kepentingan rakyat, namun oleh kekuasaan yang melampaui seluruh kekuasaan lembaga negara Presiden dapat menolaknya, dengan pertimbangan bila undang-undang tersebut berpotensi mengancam, merugikan kekuasaan presiden

UUD 1945 pra amandemen memberikan kuasa luar biasa penuh, besar dan tak tak terbatas kepada Presiden (istilah tidak tak terbatas, merupakan pembohongan kekuasan presiden dalam teori negara hukum). Presiden orde baru dalam UUD 1945 pra amandemen pasal 10, 11, 12, 13 dan 14, memiliki kekuasaan untuk memerintah angkatan darat, laut dan udara, dapat menyatakan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dapat mengangkat konsul dan duta besar serta menerima para tamu negara. Kekuasaan militer ada ditangan Presiden. tidak ada satu Jenderal pun dapat melawan kekuasaan Presiden, karena segala celah untuk mengelak, apalagi menolak perintah Presiden akan dianggap sebagai  tindakan yang melawan undang-undang. Presiden dianggap sebagai perwujudan undang-undang dan menjalankan undang-undang dengan para pembantunya dalam lembaga-lembaga negara.

Dalam Konstitusi RIS, bahkan Presiden didudukkan sebagai kepala negara, artinya Presiden adalah paling atas, diatas semuanya karena Presiden adalah kepala, dan istilah kepala adalah pusat, induk dan sentral seluruh kekuasaan negara. Kepala yang memerintah tubuh dari negara, yang memerintah tangan negara dan yang mengarahkan kemana negara itu berjalan dan bagaimana negara itu untuk bertindak. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang lain merupakan tangan dari kekuasaan negara yang akan digunakan oleh Presiden agar berjalan sesuai dengan keinginan Presiden dan memenuhi syarat-syarat sebuah konstitusi negara, namun konstitusi negara yang semu, karena jiwa konstitusi tersebut telah berada di gengaman tangan Presiden.

Selain UUD 1945, kekuasaan Presiden didukung penuh oleh berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mulai TAP MPRS Nomor I/MPRS/1966 yang memeberikan kekuasaan penuh kepada Presiden Suharto untuk mengamankan kondisi negara pasca pemberontakan G30SPKI. MPR melimpahkan tugas dan wewenang lembaga tertinggi negara saat itu kepada Presiden, karena bangsa Indonesia penuh masalah dan persoalan yanng harus segera ditangani. Tugas maha berat itu seharusnya dilakukan oleh MPR dan DPR yang diiisi oleh para negarawan dan pejuang saat itu untuk mengawasi penggunaan kekuasaan oleh Presiden, namun tugas yang maha besar dan sangat berat tersebut dilimpahkan kepada hanya seorang pribadi yang memiliki satu jabatan yakni Presiden.

Ketetapan MPR ini ditambah lagi dengan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1973 yang menekankan pentingnya kekuasaan yang besar ditangan Presiden untuk menjalankan agenda negara, sehingga kekuasaan Presiden saat itu dirasa belum cukup, dan ditambah lagi dengan ketetapan baru dengan menambah kewenangan khusus kepada Presiden. Kekuasaan lembaga tertinggi negara diberikan secara utuh, gratis tanpa catatan untuk mengoreksi dan mengawasi setiap kebijakan presiden dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan lembaga tertinggi negara, dengan alasan, masih diperlukan langkah-langkah lebih tegas. Karena itu, perlu ketetapan yang lebih kuat untuk diberikan kepada Presiden. Kekuasaan MPR saat itupun dirasa belum cukup untuk ada ditangan Presiden, sehingga MPR memberikan ketetapannya dengan ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1978 untuk mensuskeskan pengamanan pembangunan nasional, ditambah lagi dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1983 dengan tujuan yang sama memperpanjang kekuasaan tak terbatas Presiden, karena didukung penuh oleh lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi negara dan lembaga dibawah kekuasaan Presiden

Inilah gambaran kekuasaan tidak terbatas yang dimiliki oleh seorang Presiden yang memimpin pada pemerintahan orde baru, setiap pejabat, politisi dan aktivis takut dan ketakutan dengan kepala negara yang memiliki kekuasaan melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh MPR, DPR dan lembaga hukum saat itu. Tidak seorangpun dapat melawan kekuasaan Presiden Suharto

Tumbal Runtuhnya Kekuasaan Orde Baru

Runtuhnya superioritas kekuasaan Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998, oleh berbagai aksi demonstrasi, akibat kekuasaan Presiden saat itu telah melampaui kekuasaan lembaga negara dengan menghasilkan pemerintahan yang korup, penuh kolusi kekuasaan dan nepotisme menguasai setiap lembaga negara, sehingga para pejabat negara hidup dan menikmati kenyamanan korupsi uang negara. Keadaan dan kehidupan para pejabat yang memiliki kekuasaan negara berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat saat itu, sehingga keadaan ini sangat dirasakan oleh para mahasiswa yang hidup penuh kesultan, dan bahkan sulit untuk memenuhi kebutuhan kuliah. Krisis yang terjadi pada tahun 1998 merupakan krisis sempurna, yang memuncak akibat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.

Kejatuhan orde baru akibat percikan api krisis ekonomi, letupan sosial, akibat selama pemerintahan orde baru masyarkata dan para aktivis sangat dikekang. Nilai tukar rupiah terjun bebas, ekonomi berantakan, harga sembako melambung tinggi, kondisi ekonomi tidak dapat dikendalikan lagi oleh kekuasaan negara. Para pejabat yang telah lama menambung dari dari hasil korupsi tetap hidup aman dan nyaman, sementara rakyat tertekan dalam penderitaan untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Cadangan devisa negara saat itu merosot dari sekitar 20 milyar dollar AS pada pertengahan 1997 menjadi sekitar 14 milyar dollar pada pertengahan 1998. Para pemilik modal akhinya hengkang dari Indonesia dengan menyelamatkan aset yang selama ini dikeruk dan ditabung untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya.

Kondisi Indonesia saat itu disikapi oleh mahasiswa dengan melakukan demonstrasi jalanan dan akhirnya berhadapan dengan pihak keamanan. Aksi demonstrasi pecah menjadi aksi saling lempar batu, sehingga memicu pihak keamanan bertindak keras, dengan menembakkan gas air mata, namun kondisi itu justru memicu mahasiswa untuk melakukan perlawanan lebih keras lagi. Pada akhirnya puncak dari situasi tersebut terjadi penembakan terhadap mahasiswa dan mengakibatkan 4 mahasiswa tewas ditembak oleh aparat yang sampai saat ini tidak diketahui pelaku penembakannya. Kematian para mahasiswa ini memicu kerusuhan massal diwilayah jakarta dan daerah pinggiran jakarta.

Ada hal paling menarik yang terjadi pada saat sesudah perisitwa kerusuhan 1998, yakni pertanyaan, siapakah otak dibalik kerusuhan tersebut dan siapakah penculik para aktivis mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi yang kita nikmati saat ini?.

Jika dilihat saat itu, kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Presiden. Presiden bertanggungjawab penuh atas kondisi, situasi dan peristiwa apapun yang bisa terjadi. Cengkraman kekuasaan tangan Presiden berada diseluruh kekuatan militer, kekuatan partai politik, bahkan organisasi masyarakat dan kepemudaan dikendalikan oleh tangan Presiden. Presiden Suharto bahkan dianggap sebagai Jenderal tertinggi dengan predikat jenderal besar dengan 5 bintang di pundak, sehingga seluruh kekuatan militer ada dalam genggaman Presiden Suharto.

Militer saat itu adalah kekuatan solid, satu suara, satu bunyi untuk melaksanakan perintah, karena militer bukan organisasi politik, yang dapat disusupi oleh berbagai ideologi, kepentingan untuk dapat bersuara kritis dalam ruang-ruang rapat internal, namun militer saat itu adalah lembaga kekuasaan pelaksana perintah Presiden untuk mengamankan seluruh kepentingan presiden sang Jenderal besar  berbintang lima. Militer yang dulunya merupakan kekuatan rakyat, tangan rakyat melawan penindasan, kebanggaan rakyat telah dijadikan mesin kekuasaan Presiden untuk melawan rakyat.

Para pimpinan militer yang duduk dalam jabatan strategis saat itu merupakan orang-orang kepercayaan Presiden yang dapat memiliki akses langsung kepada Presiden dan dibawah perintah langsung Presiden. Setiap perwira militer mendapatkan perintah langsung dari jenderal besar, karena setiap perintah yang dijalankan oleh ABRI harus mendapatkan instruksi langsung dari Presiden. Sehingga, jika terjadi sesuatu yang membahayakan bangsa dan negara, dalam arti keamanan negara, maka jenderal kepercayaan Presidenlah yang harus bertanggungjawab jika terjadi gangguan keamanan. Hanya Presiden dan orang kepercayaan Presiden yang memimpin kekuatan militer yang dapat mengendalikan keamanan negara dan melindungi kondisi negara saat itu.

Sosok paling menarik yang menjadi pembicaraan hangat saat itu, adalah pria muda dengan bintang 3 di pundaknya dan telah menduduki berbagai jabatan strategis, bahkan dalam sejarah karir milliter sosok tersebut mampu melampaui para seniornya dalam menata karir mencapai puncak karir, sampai duduk sebagai pimpinan tertinggi komandan kostrad. Sosok tersebut merupakan pria dengan berbagai prestasi militer, keras dan merupakan kebanggaan pasukan khusus angkatan darat. Hal yang paling penting dari sosok tersebut adalah menantu sang penguasa, pemegang kekuasaan tertinggi militer yakni Presiden. Keberadaan sosok  ini menjadi pusat perhatian dari para petinggi militer, keberadaannya dapat diartikan sebagai putra mahkota pemegang kekuasaan dan bakal menjadi penerus pemegang kekuasaan, sehingga sosoknya sangat disegani, dihormati sekaligus sangat dibenci oleh para pejabat dan politisi yang merasa terancam kedudukan dan kekuasaannya oleh sosok ini yang terkenal dengan tempramental tegas dan keras.

Sosok itu hanyalah seorang prajurit militer dengan bintang 3 (tiga) dipundaknya, dia bukanlah sosok penting dalam jajaran militer, bukan penentu arah dan kebijakan militer untuk dilaksanakan, karena masih ada banyak pimpinannya diatas dengan bintang 4 (empat) dipundaknya, terlebih masih banyak lagi politisi dan teman sang penguasa yang dapat mempengaruhi kebijakan sang Presiden. Jaringan birokrat dan politisi di lingkaran kekuasaan Presiden bisa merasa sangat terancam dengan kehadiran sosok muda ini yang belum pernah masuk dalam pertempuran politik dan hanya berpengalaman dimedan perang dengan senjata organik ditangan.

Kekuasaan orde baru runtuh, sang superioritas kekuasaan jatuh dan mundur sebagai Presiden. Struktur dan jaringan sistemik kekuasaan yang telah tertata rapi menjadi berantakan, karena rantai komando tertinggi telah menyatakan mundur. Kemudian, menjadi sebuah misteri yang semesti mudah dijawab, siapakah penanggungjawab keamanan saat itu. Kenapa Presiden dengan mudah menyatakan mundur, bukankah setiap peristiwa sekecil apapun dapat diantisipasi oleh tangan Presiden, atau bahkan dapat didesain oleh struktur kekuasaan untuk mengamankan kekuasaan Presiden?.

1998 negara kacau, ekonomi hancur, kerusuhan dimana-mana, masyarakat menderita, terjadi penculikan, terjadi pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, penjarahan dan etnis china diburu dibunuh dan wanita diperkosa. Siapakah yang bertanggungjawab? Para pembantu presiden yang dulu selalu mencium tangan sang Presiden, menjadi alat pengaman kekuasaan Presiden lari bersembunyi, membiarkan rakyat saling membunuh, saling menjarah dan semuanya itu dibiarkan secara sengaja tanpa pengamanan dari penanggungawab keamanan saat itu. Siapakah penanggungjawab keamanan saat itu?.

Kondisi ini membutuhkan sosok yang harus dijadikan tumbal, pusat kebencian, tempat yang harus dijadikan rakyat tempat pelampiasan atas kondisi yang sedang terjadi. Opini dan kebencian rakyat dituntun kepada seorang yang merupakan simbol warisan kekuasaan Presiden, sehingga sosok yang dianggap dapat mengganti kursi kekuasaan penguasa menjadi sosok yang tepat untuk menjadi tempat sampah kondisi masyarakat saat itu. Masyarakat dituntun untuk membenci sosok yang hanya memiliki bintang 3, bukan penentu kebijakan strategis negara saat itu, sosok yang belum banyak bertarung dalam medan pertempuran politik para politisi. Sosok ini hanya mengerti senjata dan taktik perang dan bukan taktik politik untuk mencapai kekuasaan dan menghancurkan kekuasaan. Tidak adil jika kondisi sosial politik ditimpakan kepada seseorang hanya karena faktor bagian keluarga dari penguasa.

Situasi ini mengingatkan saya terhadap buku wajib dan buku pedoman para diktator dan politisi licik yakni Il Principle karya Niccolo Machiavelli seorang negarawan, birokrat, politisi dan penasihat pemerintah negara republik Florence. Dari berbagai ungkapan yang terkenal ada satu yang cocok untuk digambarkan kondisi politik Indonesia saat itu dan kambing hitam yan harus dijadikan korban bersama, yakni “membunuh sahabat seperjuangan, menghianati temen-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki belas kasihan, tidak memiliki agama, kesemuanya hal iti tidak dapat digolongkan sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan”.

Semoga masih ada rasionalitas, objektifitas dan etika dalam mencapai kekuasaan

Opini pribadi menyikapi situasi politik menjelang Pemilihan Umum Legislatif  9 April 2014;  Jumat, 21 Maret 2104

Alumni Fakultas Hukum, Univ. 17 Agustus 1945; Ketua Lembaga Kajian Ilmu Hukum 1708; Direktur Eksekutif Jaringan Analisis Strategis; Twitter: @Samuel_Lengkey, Email: samuellengkey@yahoo.co.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun