Mohon tunggu...
Samuel Karwur
Samuel Karwur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Simple Lad

Suka menjelajahi hal-hal baru dalam dunia tulis menulis. Senang menjadi pengamat penerbangan dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Panah yang Patah: Pekatnya Gemintang di Ujung Ketaksaan

11 April 2022   16:51 Diperbarui: 11 April 2022   16:51 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendengar pederbatan itu, aku bersama teman-teman ku menangis. Tak bisa kami menerima kenyataan bahwa anak itu akan dibunuh oleh ibu dan oma nya di hadapan kami semua. Secara sembunyi-sembunyi masih dengan air mata yang mengalir, kami melakukan CPR berusaha mengembalikan napas anak itu. Aku sangat yakin ia akan selamat. Masih bisa kurasakan denyut nadi yang berdetak. Secara medis, anak itu belumlah meninggal. Ia masih ada. Anak itu masih hidup. Dalam kebisuannya, ia masih berharap ibu dan oma nya memiliki sedikit belas kasihan untuknya. Ahhh.... Seandainya saja bayi itu bisa berbicara...

Dengan sedikit memaksa, oma dan ibu sang bayi meminta surat penolakan pengambilan tindakan untuk menyelamatkan nyawa cucu dan anak mereka. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan tanpa rasa bersalah, Ibu muda ini menandatangani surat penolakan tersebut. Kami terhenyak. Darah seakan berhenti mengalir. Mereka akan membawanya pulang. Seakan ingin meyakinkan supaya orang-orang jahat itu berubah pikiran, dokter memastikan bahwa anak itu masih hidup. Namun setan menguasai oma dan ibunya. Sang bayi pun diambil dari ranjang dan dibawa pergi. Hampir bisa dipastikan, anak itu pasti tidak akan tertolong.

Sungguh kekejian yang teramat sangat. Membunuh cucu dan anak sendiri. Kami tertegun, terdiam dengan satu satu pertanyaan yang merasuki nurani, "Kenapa?"

Anak-anak adalah titipan Tuhan, serta upah dari kesetiaan dan kesalehan orang tua. Ketika mereka dididik dengan benar, maka anak-anak akan menjadi seperti anak panah yang dilepaskan dari busur seorang pahlawan. Hari itu aku melihat manusia berjiwa kerdil, pengecut dan tidak memiliki nurani. Jauh dari sifat-sifat pahlawan seorang perempuan bergelar ibu, untuk anak tercinta yang tak berdosa.

Hari itu aku belajar untuk menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab dan menjaga semua nikmat pemberian Tuhan dengan penuh kegentaran. Membunuh anak bukan hanya ketika janin itu sudah terlahir dan berteriak menangis untuk pertama kali. Membunuh juga bisa dilakukan ketika janin masih ada di dalam kandungan. Aborsi sama dengan pembunuhan. Siapa saja yang terlibat dan mengambil peran di dalamnya, pasti akan membayar harga yang teramat mahal. Jangan pernah membunuh anak-anak mu sendiri. Aborsi adalah dosa keji di mata Sang Khalik.

Dalam perjalanan pulang saat selesai bekerja, malam itu aku berharap ada mujizat terjadi pada bayi mungil itu. Semoga.....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun