Kerjasama ekonomi internasional sebagai salah satu spektrum penting dalam tatanan global tentunya berinti pada bagaimana hubungan para negara menjaga dan melaksanakan interdependensi ekonomi mereka sebagai kunci untuk mengatasi konflik dan berbagai permasalahan untuk menciptakan keamanan dan keuntungan yang absolut.Â
Kerjasama ekonomi menjadi salah satu medium untuk setiap negara meningkatkan kapasitas dan mempertahankan pengaruh mereka dalam lanskap ekonomi politik internasional. Pada era post-Bretton Woods, evolusi dalam kerjasama internasional tidak hanya lagi berdasarkan dan bergantung pada peran negara maju dalam kerjasama internasional, namun dalam hal ini negara berkembang semakin maju dan menjadi bridgebuilder (pembangun jembatan antara perbedaan dan pihak-pihak) dalam kerjasama ekonomi internasional.Â
Koordinasi kebijakan makroekonomi global juga mengalami dinamika yang berubah dimana perilaku (behaviour) para negara tidak hanya berhubungan dalam platform kerjasama ekonomi, namun juga harus memastikan agar para negara dan aktor yang terlibat mampu menjaga kestabilan ekonomi di ranah domestik mereka sendiri agar keuntungan bersama dapat diraih dan untuk menghindari kejatuhan kepada krisis moneter dengan nilai mata uang yang melemah dan inflasi (Kenen, Shafer, Wicks, & Wyplosz, 2004).
KSS yang telah didirkan sejak 1978 sendiri merupakan kerjasama ekonomi yang memiliki dasar untuk memperkuat konektivitas antar negara berkembang dan peran para aktor non negara yang berfokus pada negara berkembang yang umumnya ada di poros bumi bagian selatan, dan juga menekankan pada konsep kerjasma antar kawasan yang komprehensif dan multidimensional.Â
MIKTA sendiri merupakan bentuk kerjasama antar kawasan informal antara Mexico, Indonesia, Korea Selatan, Turkey, dan Australia sejak tahun 2013 yang dibentuk untuk mendukung tatanan kerjasama global seperti G20 dikarenakan MIKTA adalah grup sherpa G-20. Kedua kerjasama yaitu MIKTA dan KSS sendiri merupakan kerjasama yang melibatkan kebijakan dan kerjasama teknis yang bersifat campur dengan peran negara dan aktor non-negara dalam implementasi kerjasamanya.
Dimulai dari kerangka kerjasama MIKTA, dinamika kerjasama pembangunan di MIKTA sendiri menunjukan bahwa kerjasama pembangunan tidak melulu bergantung pada OECD dan G-7 tetapi sudah menunjukan bahwa kerjasama pembangunan telah berevolusi. Kemunculan para emerging economic power dari poros selatan bumi dan negara berkembang lain telah menginovasi pendanaan pembangunan yang tidak hanya berasal dari sumber negara namun juga dalam mekanisme blended financing dalam public-private partnership (PPP) yang dimana karakter ini menjadikan para negara berkembang sebagai tidak hanya bergantung tapi juga mampu menjadi penyedia kerjasama itu sendiri (Haung, 2017).
Kerjasama Ekonomi MIKTA dan KSS untuk Pembangunan pada Post-pandemi untuk pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan teori model pembangunan menurut Rostow, pembangunan itu sendiri berangkat dari masyarakat tradisional, persiapan menuju lepas landasnya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pembangunan yang rapid, dan kemudian mencapai era kedewasaan yang nantinya akan berakhir kedalam masa konsumsi masa yang tinggi dikarenakan meningkatnya daya beli dan terbukanya integrasi ekonomi (Rostow, 1959).
 Hal ini menunjukan bahwa negara-negara didunia apalagi pada era post-pandemi dituntut untuk lebih adaptif dan kooperatif untuk pemulihan ekonomi post-Covid-19. Hal ini tentunya dibutuhkan dikarenakan selama pandemi Covid-19 altruisme global cenderung memudar dan proteksionisme meningkat.
MIKTA dan KSS sendiri adalah kerjasama yang memiliki suatu ciri-ciri yang sama dimana kerjasama yang dapat ditingkatkan (scalable) dan progresif dapat memajukan pencapaian pembangunan berkelanjutan dan proliferasi kerjasama ekonomi non-tradisional.Â
Dimulai dari MIKTA, Indonesia sebagai salah satu aktor dalam MIKTA menekankan bahwa kerjasama ekonomi dan pembangunan di MIKTA memiliki potensi yang dimana dengan kondisi lanskap ekonomi dunia yang saat ini memiliki kekuatan baru seperti dari BRICS, MIKTA, dan G20 memberi kesempatan kepada para negara berkembang untuk secara konstruktif tidak hanya secara vokal berhubungan pada level regional dan multilateral, namun juga pada level bilateral sebagai format kerjasama ekonomi dan pembangunan yang inovatif (Ruddyard, 2018).