Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemerdekaan Yang Semakin Pudar

13 Agustus 2015   02:57 Diperbarui: 13 Agustus 2015   02:57 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya suka santai di sore hari. Biasanya saya memanfaatkan perjalanan pulang dari kantor ke rumah dengan lebih rileks. Kendaraan saya jalankan lebih perlahan tanpa terburu-buru. Kadang saya berhenti di tempat tertentu, sekedar ngopi atau mencari item tertentu untuk hobby. Kota Jogja memang masih asyik dinikmati di sore hari.

Namun kali ini ada yang terasa berbeda. Walaupun ada beberapa umbul-umbul warna-warni di beberapa sudut jalan, suasana persiapan untuk HUT Kemerdekaan RI yang ke-70 terasa sepi. Saya baru sadar kalau sekarang sudah tanggal 13 Agustus. Jadi tinggal 4 hari lagi kita akan memperingati hari bersejarah negeri tercinta ini untuk ke-70 kalinya.

Hmm... bendera yang dipasang juga tidak banyak. Bahkan nyaris tidak terasa menurut saya. Dibanding tahun-tahun lalu, sepertinya masyarakat sudah kurang antusias memasang simbol-simbol tersebut.  Paling hanya ada beberapa kantor yang sudah memasang.

Kenangan Masa Kecil

Saya teringat ketika masa kecil, saat ORBA masih berkuasa, suasana sangat berbeda. Bahkan diawal bulan Agustus tiap tahun sudah terasa akan ada perayaan besar tersebut. Hari demi hari semakin banyak yang dipasang mulai dari bendera di depan rumah atau kantor. Juga di kendaraan. Tidak hanya mobil atau kendaraan roda empat lainnya, di kendaraan roda dua juga ikut diwajibkan. Dipaksa atau tidak, tapi di mata saya sewaktu usia belia, semua itu sangat berarti.

Berbagai momen dan aktivitas seperti: upacara di sekolah, lomba yang asyik di perumahan, acara kenegaraan di televisi tetap membekas di hati saya. Suka atau tidak, saya tetap mengenang masa-masa itu dengan penuh rasa bangga dan gembira. Bahkan ketika sudah SMA sekalipun saya masih merasa bangga ketika mengikuti upacara bendera untuk memperingati HUT kemerdekaan di sekolah. Menjadi penggemar Metallica dan Megadeth tidak mengurangi rasa cinta dengan negara Indonesia. Ada suatu harapan yang selalu muncul dan terasa membanggakan setiap kali melihat upacara seremonial ini dilakukan serentak di semua tempat. Sesaat saya menyadari bahwa saya adalah bagian dari sebuah negara besar.

Rasa itu sudah tidak ada lagi saat ini. Setidaknya, menurut saya, sebagian besar sudah hilang. Saya jadi semakin ingat lagi sewaktu terkenang dengan pembicaraan mahasiswa saya saat masa MOS tahun lalu. Mereka berpendapat bahwa anak muda masa sekarang sudah bosan dengan segala macam formalitas kenegaraan yang diminta. Bagi mereka, bersuara tentang segala sesuatu di media sosial lebih nyata dibanding hanya "mengenang" dan "merenung" gaya hening cipta saat upacara.

Banyak juga yang lebih memilih untuk berkomentar dengan gaya "ala nasionalisme" yang baru dan unik. Misalnya seperti soal negara Malaysia yang berani mengolok-ngolok pertahanan negara di Laut. Atau hegemoni ekonomi negara Singapura, padahal kedua negara itu lebih kecil dibanding Indonesia. Seperti biasa, banyak kalangan mahasiswa suka memaki-maki dan tentu diakhiri dengan menyalahkan pemerintah. Pola ini sudah sering saya lihat dan sudah menjadi budaya tahunan. Peristiwa serupa telah berlangsung di era Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan tentu di era Jokowi saat ini.

Betul-betul mahasiswa nasionalis unik! Semua pihak wajib disalahkan dan dituntut perhatiannya kecuali dirinya...

Budaya Gaduh

Kebetulan saya sebelum pulang kerja sempat membaca media online yang membahas persoalan pemogokan dan impor daging sapi. Kejadian ini juga sudah menjadi kebiasaan nyaris tiap tahun. Selalu ada gejolak dan tahun ini "kebetulan" menjelang HUT kemerdekaan yang ke-70. Sebuah ironi untuk negara besar seperti kita menurut saya.

Bagaimana tidak? Sejak saya berumur 20 tahunan sampai 40-an sekarang, masalah daging sapi ini selalu menjadi masalah nasional. Sudah banyak program dijalankan sejak dulu oleh rezim ORBA sampai pemerintahan demokratis ala sekarang. Tapi penyakit "sapi kronis" ini selalu muncul dengan berbagai "resep masalah tahunan" yang bervariasi. Bedanya tahun ini disertai pemogokan, entah itu memang alami oleh pelaku industri tersebut atau paket pesanan oleh para importir? Entahlah, semuanya kini jauh lebih mencurigakan. Apa lagi ya yang menjadi biang berita bulan depan? Banjir informasi bukan berarti keterbukaan jadi terang benderang, malah kecurigaan dan kabar konspirasi yang tumbuh subur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun