Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Generasi Bingung

27 Februari 2016   11:46 Diperbarui: 27 Februari 2016   13:44 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: Monumen Jayandaru Diprotes / suarasurabaya.net"]

[/caption]

Beberapa waktu lalu saya membaca berita tentang pembongkaran monumen Jayandaru di Kompas.com (25/2/2015). Selain merasa aneh dengan alasan pembongkaran, saya lebih merasa terkejut lagi dengan tidak adanya tindakan dari pihak berwewenang disana. Pemkab Sidoarjo mengaku pasrah terhadap aksi ini (baca beritanya disini).

Karena saya bukanlah ahli agama, saya tidak bisa berbicara banyak soal alasan keyakinan tentang pembongkaran patung-patung itu walau dalam benak saya benar-benar tidak mengerti hubungannya sama sekali. Kenapa baru sekarang muncul gerakan anti patung di Indonesia. Apakah harus dengan cara pembongkaran? Sesudah ribut-ribut di Purwakarta kini di Sidoarjo? Di masa depan dimana lagi bisa muncul nanti?

Saling Keterkaitan

Saya tertarik menulis artikel berkaitan dengan pembongkaran patung ini karena ikut nimbrung bersama teman-teman startup ketika saat makan siang satu hari setelah kejadian tersebut berlangsung. Sontak banyak yang membaca di media online. Kebetulan menjelang makan siang ada teman muda yang mengangkat cerita pembongkaran tersebut dan menyayangkan alasannya. Tidak lama akhirnya diskusi tersebut semakin menarik sampai beberapa teman lain bergabung dan makan siangpun semakin panjang. Bahkan ketika sudah selesai makan acara diskusi masih terus berlanjut.

Menarik mendengar pendapat teman-teman muda ini. Walau datang dari berbagai latar belakang, agama dan daerah yang berbeda, ada kesamaan pendapat mereka: bahwa saat ini terjadi pergeseran nilai yang cukup drastis di tengah masyarakat. Perubahan pemikiran ini sudah cukup subur dan muncul cukup lama dengan jelas di sekitar kita. Sebagian teman-teman bahkan menyatakan gerakan ini memiliki semangat yang sama dengan gerakan fundamentalis karena alasan yang digunakan cukup absurd. Fundamentalis disini bukan hanya berbasis agama saja, tapi juga ideologi  dan aliran politik.

Dikatakan absurd karena selain hanya dimiliki oleh beberapa pihak (itupun pengakuan dari sedikit orang yang merasa menjadi wakil dari kelompok tersebut), ada upaya paksa agar pemikiran tersebut diimplementasikan agar menjadi tindakan publik. Artinya kemauan sekelompok orang hendak dilegitimasikan menjadi tindakan formal untuk banyak orang, setidaknya pola aksi seperti ini mulai dipraktekkan untuk daerah tertentu. Apakah ini memang dibolehkan secara umum? Adakah payung hukum untuk tindakan ini? Atau pemerintah setempat hanya mengambil jalan aman saja untuk tidak menimbulkan konflik atau lebih tepatnya lagi tidak  mau bersusah payah mengurus karena resiko ketidakstabilan penanganan tidak menjamin?

Ada teman muda yang sampai berpendapat bahwa gaya pemaksaan lokal seperti ini bisa saja ditiru di daerah lain. Karena sudah ada contoh maka tinggal menunggu aksi sejenis di daerah masing-masing. Saya tadinya berargumentasi bahwa kecenderungan seperti itu kecil, tapi teman muda tersebut mengingatkan pandangan saya akan artikel saya sendiri di Kompasiana tentang keputusan BIN mengusahakan agar Din Minimi dimaafkan (artikel disini). Tindakan untuk memaafkan itu memicu kelompok lain di daerah yang jauh untuk turun gunung dan meletakkan senjata. Artinya ada kesadaran untuk  melakukan tindakan yang sama bila dianggap sukses terjadi. Apakah berbeda dengan kasus pembongkaran patung di Purwakarta dengan kejadian di Sidoarjo? Saya jadi terdiam.

Negara Lemah atau Pembiaran Publik?

Seperti biasa pasti ada yang menuding negara lemah dsb. Tidak terkecuali dalam diskusi kami ini. Tudingan bahwa negara lemah dan tidak mampu menjamin keamanan tetap mengemuka. Saya sendiri tidak sepenuhnya setuju. Mungkin benar negara belum mampu sehebat yang kita inginkan, tapi negara lemah? Sepertinya tidak. Sudah banyak yang diupayakan negara lepas dari kita puas dengan kinerja mereka. Untuk hal itu memang masih membutuhkan proses panjang dan pengukuran yang lebih detail. Selain perkembangan masyarakat yang terus berubah, tidaklah mudah menangani urusan seluas Indonesia ini jika kita sendiri tidak memiliki pemahaman dan persepsi yang mendukung.

Ketika sampai pada topik pembiaran publik, semua dari kita tiba-tiba sepakat kalau saat ini masyarakat Indonesia cenderung membiarkan satu masalahterus berlangsung sampai masalah itu sudah pada level sulit untuk diatasi. Tanpa sadar atau memang sedang trend: masyarakat kita tidak mau ambil pusing terlalu banyak dengan hal-hal nasionalisme, kebangsaan apalagi keamanan bersama. Kita cenderung menuntut dan menyalahkan pemerintah. Disatu sisi teknologi membuat kita semua semakin terkoneksi, tapi kenyataan di lapangan juga ikut menunjukkan kita semakin tidak perdulian. Selama tidak terjadi pada diriku, kenapa harus kupikirkan?

Memang sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk menjaga keamanan dan kestabilan di masyarakat. Tapi apakah semuanya menjadi urusan mereka dan kita tidak berbuat apa-apa sebagai bentuk kekecewaan atau bentuk ketidakacuhan? Saat ini hanya sebagian kecil masyarakat yang peka terhadap perubahan. Sayangnya suara mereka sering diabaikan, bahkan oleh pemimpin dan pengambil keputusan. Menurut anda, posisi anda dimana? Anggota dari sebagian kecil yang peka atau yang tidak perdulian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun