[caption caption="Sumber gambar: ivn.us"][/caption]
Salah satu isu yang terus menghangat belakangan ini adalah masalah soal kandidat pemilihan untuk DKI1. Walau masih jauh masa kampanye dan pemilihan tapi hawa panasnya sudah terasa saat ini. Sebagai pengamat politik amatiran saya mencoba menghubung-hubungkan antara satu titik ke titik lain, alias cocokologi.. Hehehe. Sesekali bahas yang ringan ndak apa-apa toh?
Tapi karena masuk ke masalah pembahasan media sosial dan politik maka saya masukkan artikel ini ke kategori teknologi. Maklumlah, kalau sebagai pengamat politik saya bisa kena bully nanti. Tapi kalau sebagai pengamat teknologi sepertinya saya masih ada satu dua amunisi untuk menjawab.
Seperti biasa untuk isu sensitif bin ajaib, saya beri disclaimer dulu:
Pembahasan disini tidak menunjukkan arah politik saya untuk isu DKI1. Artikel ini bukan pesanan dari relawan tertentu dan bukan untuk mendiskreditkan relawan tertentu pula. Kemudian, pembahasan dilakukan secara santai dan ringan. Maksud utama buat membuka mata para pembaca dan bukan membangunkan kalangan pembenci  maupun menyenangkan kalangan pemuja.
Awal Ketertarikan
Saya tertarik dengan peran media sosial saat ini terhadap perkembangan politik di tanah air. Kebetulan isu DKI1 bisa saya jadikan contoh kasus yang terus memanas sampai sekarang. Selain media cetak dan televisi yang sudah menjadi media umum, ketertarikan saya pada media sosial dan dampaknya adalah karena pengguna internet di Indonesia (mencapai 83 juta pengguna di tahun 2015), pengguna social media aktif (72 juta akun) dan pengguna smartphone sudah cukup tinggi (mencapai 95.8 juta) menurut wearesocial.org dari total penduduk 255,5 jiwa. Tapi, apakah ada efek dari penetrasi teknologi ini terhadap komunikasi politik dan penyebaran pengaruhnya? Disini awal ketertarikan saya.
Banyak diantara kita yang menyadari dari kegunaan media sosial terhadap aktivitas sehari-hari. Baik pribadi dan bisnis juga. Tapi bagaimana dengan politik. Apakah ada pengaruhnya? Dan kalau ada sampai seberapa besar dampaknya?
Contoh Sukses
Kisah Obama memanfaatkan media sosial bisa jadi contoh kasus sukses. Presiden Amerika ini sukses memanfaatkan penggunaan internet dan media sosial ketika masa kampanyenya saat mencalonkan diri. Mulanya hanya terdiri dari 11 orang dari 30 anggota tim yang khusus menyasar media sosial dan bertambah sampai kampanye berakhir. Dalam strateginya, Obama hanya memilih beberapa platform yang paling signifikan pengaruhnya. Selain media sosial, tim Obama juga memanfaatkan berbagai media lain seperti website, email, video dan platform mobile.
Beberapa poin pencapaian diraih seperti event marketing via mobile terbesar yang pernah terjadi sampai saat ini (dinilai oleh Nielsen Mobile). Bahkan ketika ada event di stadium Denver Mile’s High untuk Konvensi Nasional Democratic, sebanyak 30.000 mendaftar online sembari menunggu pidatonya. Penggunaan aplikasi Iphone juga ada untuk menginformasikan berbagai info dan update terbaru serta kontak yang bisa dihubungi para pendaftar maupun sukarelawan.
Kalau Obama adalah contoh sukses dari pemilihan kandidat pemimpin, lalu bagaimana dengan kondisi politik lainnya? Apakah media sosial bisa memberi dampak juga?
Kasus protes di Tunisia pada Desember 2010 bisa menjadi contoh kasus. Uniknya, protes ini menjadi efek domino sejalan dengan menyebarnya isu dan informasi dengan fasilitas media sosial. Protes dari pemuda bernama Mohamed Bouazizi yang membakar dirinya karena kekecewaan yang mendalam (detail dirinya disini) akhirnya menyulut revolusi Tunisia. Walau sensor internet yang ketat diberlakukan, akhirnya Presiden Tunisia saat itu turun dari kursinya akibat dari desakan masyarakat. Kesuksesan revolusi Tunisia tidak terlepas dari dampak sirkulasi berita, gambar dan video yang beredar di media sosial. Singkat cerita, kesuksesan revolusi ini menyulut ke negara-negara arab (dikenal dengan istilah Arab Spring).