[caption caption="Sumber gambar: www.smallbiztechnology.com"][/caption]Selagi kasus demo supir taksi sedang hangat-hangatnya, saya jadi tertarik membahas mengenai On-Demand Economy. Uber, AirBnB serta Gojek adalah contoh populer dari penerapan on-demand economy tersebut. Di artikel ini saya akan mengenalkan kepada Anda bagaimana konsep dan penerapan on-demand economy di beberapa bidang. Walau pembahasan terbatas, saya mencoba membuat Anda lebih akrab dengan konsep on-demand economy yang menjadi tren saat ini.
Saat ini sudah umum jika kita sebagai konsumen selalu menginginkan sesuatu secara cepat dan praktis. Salah satunya adalah menggunakan aplikasi di mobile phone Anda untuk mencari dan melakukan pemesanan. Hanya dengan men-tap beberapa kali, Anda sudah bisa memanggil layanan di hadapan Anda. Hebat bukan?
Dulu layanan seperti ini masih cukup mahal dan tidak tersedia bagi semua orang. Kini, nyaris semua pengguna smartphone tidak lagi mengalami kesulitan mencari dan melakukan pemesanan, kapan pun dan nyaris di mana pun. Yang paling hebat lagi, banyak di antaranya malah dengan harga bersaing dibanding harga normal dari jenis layanan yang sejenis. Dengan penerapan teknologi maka ada peningkatan produktivitas, penghematan sumber daya, minimalisasi waktu tunggu/jeda, yang pada akhirnya memang bertujuan untuk lebih memberikan efisiensi dan kemudahan kepada pelanggan. Di sisi pemberi layanan, teknologi memungkinkan kompetisi yang lebih baik lagi disertai dengan peningkatan kepuasan pelanggan. Pada akhirnya jumlah pelanggan akan meningkat.
Biasanya terobosan seperti ini dilakukan oleh startup yang terus berinovasi mencari cara baru untuk lebih mengefisienkan pelayanan. Secara pasti, beberapa di antaranya cukup menonjol bahkan mendobrak pola lama dari layanan yang sejenis namun sering pula dilakukan bukan berbasis industri yang sama. Contoh hangat adalah Uber. Menggunakan teknologi aplikasi namun ditujukan untuk industri transportasi jenis taksi. Apakah hanya untuk taksi saja? Sebenarnya bisa untuk yang lain, seperti truk, bis dan di Indonesia contoh populernya ditujukan untuk ojek.
Tapi, jenis industri apa saja yang potensial untuk dieksplorasi dengan model bisnis on-demand economy ini? Dan apa saja yang perlu diperhatikan? Saya membahasnya agar nuansa layanan dengan model on-demand economy tidak melulu dihubungkan dengan model ekonomi kapitalis.
[caption caption="Sumber: konfrontasi.com"]
Pelayanan Instan atau Terjadwal
Ada satu persepsi yang tidak selalu tepat digunakan untuk mengenalkan model bisnis dari on-demand economy, yaitu: INSTAN. Biasanya konsumen menganggap bahwa pelayanan instan adalah satu-satunya model dari layanan on-demand (berkisar antara 15-45 durasi pemenuhan order).  Bisa jadi untuk jenis layanan pemesanan taksi, order makanan cepat saji model tersebut memang benar. Tapi ada model lagi yang cukup populer yaitu pelayanan terjadwal. Contohnya pemesanan grosir, layanan salon kecantikan, laundry dan antar paket/barang dengan aplikasi. Order dilakukan dengan jadwal yang sesuai keinginan Anda dan itu bisa di luar rentang waktu 45 menit ke atas. Jadi tidak lagi harus instan.
Dengan melihat kondisi demikian maka kita wajar bertanya kalau model on-demand bisa dilakukan di banyak industri? Secara sederhana memang iya. Namun pastikan Anda memahami apakah layanan ditujukan untuk kebutuhan instan atau terjadwal. Perbedaan yang mencolok di antaranya adalah, model instan lebih kompleks dari model terjadwal dan jika berhubungan dengan produk fisik maka kompleksitas akan semakin meningkat karena ketidakpastian pemesanan yang datang.  Sebagai contoh: layanan taksi online lebih bisa dilakukan dengan lebih instan dibanding layanan antar paket online misalnya. Taksi yang tersedia bereaksi lebih cepat dibanding layanan antar barang karena proses penjemputan barang dan jadwal pengiriman bisa memakan waktu lebih lama.
Kunci penting adalah memahami kebutuhan pelanggan, apakah lebih bersifat urgent/instan atau mau menerima jadwal yang lebih fleksibel.
Marketplace Bebas atau Satu Pihak
Contoh mudah adalah aplikasi Uber itu sendiri. Supir Uber bebas siapa saja asal terdaftar di aplikasi Uber dan siapapun bisa menjadi konsumen asal sudah mengunduh dan memasangnya di smartphone milik sendiri. Kondisi ini disebut kondisi liquid di mana jumlah penyedia (supplier/driver) dan pengguna (consumer) cukup besar. Dari sisi bisnis sudah dianggap efisien karena layanan dapat diberikan dengan cepat (instan). Dengan kata lain, terjadi pemenuhan kebutuhan pelanggan dengan baik karena jumlah penyedia mencukupi.
Apakah kondisi itu bisa langsung didapat? Sebenarnya tidak. Diawali dengan penyediaan layanan awal dengan men-supply penyedia secara terpisah. Dengan kata lain, katakanlah Anda sebagai startup, mengumpulkan penyedia layanan di satu sisi terlebih dahulu. Biasanya penyediaan ini dibuat dengan kesepakatan atau model kerjasama seperti kontrak kerja. Dengan kata lain Anda memulai dengan jaringan supplier sendiri.
Dalam jangka panjang, bisa jadi layanan Anda akan meluas dan akhirnya marketplace terbentuk dengan sendirinya.  Dulu tidak terlalu mudah menemukan kebutuhan yang tersembunyi dari konsumen. Saat itu startup sebagai penyedia lebih mudah mengenalkan layanannya dan menemukan konsumen. Namun kini dengan kondisi kompetisi yang sengit, terkadang penyediaan layanan dimulai dengan mengumpulkan beberapa supplier dan memberikan akses ke marketplace yang sedang dibentuk agar konsumen tertarik dan percaya.
Proses agregasi (pengumpulan) di satu sisi ini lebih efisien dan meminimalkan beberapa masalah. Seperti Gojek misalnya. Walaupun penerapannya mirip Uber, namun pada pelaksanaannya cukup menunjukkan bahwa Gojek lebih memfokuskan diri kepada penyedia (supplier) yang terintegrasi yaitu jaringan pengemudi Gojek. Dengan cara ini, perusahaan dapat memastikan tingkat kualitas yang lebih terjamin dibanding dengan memberikan kebebasan langsung kepada supplier dan konsumen dalam berinteraksi.
Pilihan Sendiri atau Aturan Algoritma
Terkadang konsumen lebih menyukai pilihan sendiri dibanding menggantungkan pilihan kepada algoritma dari platform layanan. Contohnya Uber, Anda dapat memilih taksi mana yang akan Anda panggil berdasarkan beberapa ketentuan pilihan menurut Anda sendiri. Sementara kalau Anda menggunakan aplikasi kencan online atau jasa kerja lepas, maka algoritma akan mengatur dan memberikan kemungkinan layanan terbaik. Anda hanya bisa memilih dari pilihan yang disediakan.
Apakah cara ini kurang baik? Sebenarnya tidak. Katakanlah Anda ingin memberikan layanan teknisi siap panggil, Anda bisa menggunakan algoritma untuk membantu konsumen menemukan teknisi terbaik/terdekat atau membiarkan mereka sendiri memilih dari awal. Anda hanya memberikan pasar tempat berkumpul (marketplace) kepada kedua belah pihak. Persoalan muncul ketika Anda salah membaca keinginan dan kebutuhan konsumen. Tidak semua konsumen butuh bantuan dan lebih memilih sendiri. Di sinilah letak pemahaman akan kebutuhan konsumen sangat penting.
Sebagai contoh kasus: manakah yang Anda pilih, aplikasi laundry online yang memberikan kebebasan kepada Anda memilih penyedia jasa laundry yang Anda sukai? Mungkin karena sebagai konsumen Anda lebih suka memilih berdasarkan jarak/lokasi yang dekat, kenal dengan area, dsb? Atau sebagai konsumen Anda tidak mau tahu akan hal itu dan hanya membutuhkan jasa yang sesuai dengan keinginan? Misalnya jadwal dijemput dan pengerjaan yang pasti, rating kualitas penyedia laundry atau bahkan Anda tidak mau tahu siapa yang mengerjakan. Yang penting terima beres.
Kuncinya adalah mengenal kebutuhan pelanggan dan mengoptimalkan kecocokan serta efisiensi dari penyedia layanan.
Layanan Terstandar atau Tidak Terstandar
Mungkin bagian ini yang paling cocok dengan kondisi Uber versi taksi lokal dalam beberapa poin. Armada taksi sepertinya terstandar dengan pemahaman menggunakan mobil yang sejenis, keseragaman prosedur dari supir dalam menangani penumpang dan ketentuan implementasi regulasi dari pemerintah. Tapi standardisasi saat ini tidak sama bila diselaraskan dengan penerapan teknologi. Mungkin sebaiknya Anda bisa melihat dari kesamaan cara pemanggilan untuk Uber padahal jenis mobil, tipe pengemudi tidak sejenis. Di mata konsumen, kemudahan cara panggil hanya dengan beberapa tapping di smartphone menjadi standar baru untuk layanan instan seperti itu. Bandingkan dengan memanggil taksi dengan model lama via lambaian tangan atau panggilan telepon.
Bandingkan dengan layanan yang tidak terstandar, misalnya Anda menggunakan aplikasi pencarian rumah sewa. Anda tentu membutuhkan variabel yang cukup banyak untuk menemukan standar yang sesuai keinginan. Kini Anda paham perbedaan antara Uber dan AirBnB? Jika Uber lebih mengedepankan efisiensi pemanggilan dan kecocokan otomatis, maka AirBnB lebih kepada sistem pencarian dan penemuan spesifik.
[caption caption="Sumber: theguardian.com"]
On-Demand Economy Cocok untuk Indonesia?
Jika kita melihat kasus taksi Vs Uber maka muncul persepsi kalau model bisnison-demand economy ini lebih bercorak kapitalis dan menguntungkan satu pihak saja yaitu penyedia layanan (dalam kasus itu bisa disebut supir Uber yang dituding hanya nyambi namun mendapatkan pendapatan cukup lumayan). Apalagi ketika kita melihat kenyataan bahwa banyak perusahaan taksi terganggu pendapatannya. Namun betulkan model penerapan on-demand economy tidak selalu bagus? Betulkah bahwa di balik aplikasi ini, kepentingan kapitalislah yang diutamakan?
Bila melihat tergerusnya pendapatan perusahaan taksi lokal, apakah karena kapitalisme sepihak dari Uber? Atau sebenarnya hanya imbas dari penerapan teknologi demi efisiensi? Jika diblokir, apakah aplikasi sejenis lainnya bisa dikatakan "haram" untuk dibuat? Dan regulasi yang bagaimana sebenarnya yang bisa dikatakan sesuai aturan yang berlaku?
Di mata konsumen yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan dengan harga terbaik. Dan inilah poin penting bagi dunia bisnis siapapun penyedianya. Tanpa kemampuan memuaskan kebuhan pelanggan maka perusahaan dan layanan Anda akan ditinggal.
Saya sendiri beropini kalau model bisnis on-demand economy ini bisa menekan biaya yang tidak penting (baik dengan alasan tidak efisien atau biaya siluman untuk ekstrimnya). Dengan menerapkan on-demand economy di berbagai jenis industri maka keadilan ekonomi lebih cepat dapat dicapai. Contohnya: bila ada aplikasi pemesanan laundry online di berbagai kota besar, maka bayangkan potensi penghematan waktu dari konsumen, biaya idle karena mesin tidak digunakan dari penyedia laundry bisa ditekan.  Kemudahan yang didapatkan konsumen berhubungan langsung tingkat kompetitif dari para pelaku bisnis. Dengan kata lain, bisnis yang bertahan akan relatif efisien serta menguntungkan dibanding tanpa penerapan on-demand economy. Jadi ekonomi rente, ekonomi biaya siluman bisa ditekan di sini.
Mari kita hubungkan pula dengan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia yang saat ini didominasi oleh smartphone. Dengan besarnya konsumen disisi user yang memanfaatkan mobile phone, sebenarnya tidak sulit untuk membangun marketplace untuk berbagai jenis layanan on-demand. Dan pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana mengakselerasikan agar model on-demand economy semakin cepat menyebar sampai ke daerah?
Yang Dibutuhkan Startup di Era On-Demand Economy
Isyarat pemblokiran yang diniatkan Menkominfo tidak baik sebenarnya. Di mata pelaku startup saat ini ada kebingungan melihat respon pemerintah sebenarnya. Apakah pemblokiran ini adalah metode yang efektif? Lalu di satu sisi apakah developer lokal akan mendapatkan masalah bila membuat aplikasi sejenis? Padahal aplikasi itu bukan ditujukan kepada perusahaan besar tapi lebih kepada UKM?
Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah kepastian peraturan dan kejelasan regulasi. Setidaknya untuk pelaku startup yang secara praktis memang ada di lini depan dalam penerapan model bisnis on-demand economy. Sayangnya, kepastian dan kejelasan regulasi ini pula yang masih cukup menjadi masalah khususnya bagi startup lokal. Ekosistem bisnis dan industri belum cukup mendukung developer startup lokal. Walau tidak dipungkiri sudah banyak usaha yang diberikan dan banyak pihak terlibat, namun masih belum cukup untuk membuat pertumbuhan industri digital bisa mandiri di dalam negeri.
Mungkin ini hanya sebagian dari masalah sehingga startup lokal belum mampu bermain ke level global. Perlu keterlibatan stakeholder yang lebih besar dan tentunya model pemblokiran seperti Uber, Netflix, dan mungkin jenis layanan digital dari luar lainnya hanya model panik sesaat. Suka atau tidak, kemampuan kompetisi memang harus dipupuk dari awal. Di desa global seperti saat ini, main blokir akan lebih berdampak buruk baik kepada konsumen maupun penggiat industri tersebut. Kita jadi jago kandang dengan model proteksi? Walah... cemen amat!
Sudah saatnya jika kita ingin berkompetisi sehat, maka berikan dukungan dan kemudahan bagi para pelaku lokal. Biarkan penyedia layanan dari luar menjadi pesaing dan jadi tolak ukur juga. Mungkin tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa isyarat pemblokiran hanyalah trend terbaru dari pemerintah untuk mengamankan situasi tapi tidak menyembuhkan masalah.
Pendapat Anda?
Melalui artikel singkat ini, bagaimana pendapat Anda sekarang? Bila Anda bukan pelaku startup, semoga artikel ini bisa menambah wawasan Anda tentang berbagai hal di balik penerapan bisnis berbasis on-demand economy seperti Uber. Bila Anda seorang startup, semoga artikel ini bisa memberikan wawasan tambahan mengenai model penerapan serta faktor di balik pemilihan jenis platform yang hendak Anda buat.
Bila Anda produsen layanan yang belum tersentuh teknologi aplikasi, apakah perusahaan Anda bisa memanfaatkan teknologi sebagai salah satu faktor efisiensi yang pada akhirnya menjadi penentu hidup dari bisnis Anda?
Atau Anda sebagai konsumen tetap berpendapat bahwa yang terbaik, termurah, termudah adalah yang paling utama?
Bagi pemerintah, apakah efisiensi dari penerapan bisnis on-demand economy (terlepas dari masalah penyedia luar atau lokal) bisa memberikan pelayanan yang dibutuhkan publik secara lebih luas? Atau hanya mengamankan sebagian kepentingan pelaku bisnis saja?
Pada akhirnya, penerapan on-demand economy memberikan peluang kepada developer lokal (startup lokal) untuk mencoba peruntungan di industri digital yang selama ini masih dikuasai asing. Bukan masalah mudah sebenarnya, tapi dengan teknologi dan konsep on-demand economy hal tersebut menjadi memungkinkan. Sejalan dengan tujuan pemerintah, regulasi yang bagaimana yang cocok dengan kondisi ini? Apakah benturan antara perusahaan taksi tradisional yang lamban mengadaptasi perubahan jaman tetap jadi acuan kasus, atau lebih berpihak kepada kebutuhan dan kepuasan konsumen secara lebih luas?
Samakah respon pemerintah jika kondisi di atas sudah berubah sedikit. Misalnya, sudah banyak perusahaan taksi lokal yang menerapkan teknologi demi efisiensi dalam lini bisnisnya? Masih relevankah pemblokiran dengan alasan regulasi? Atau sekarang medan persaingan lebih kepada aplikasi taksi online Vs aplikasi ojek online misalnya? Mana yang lebih disukai pasar? Mana yang lebih memuaskan kebutuhan konsumen?
Jika pelaku taksi lokal kini menjadi korban dari Uber, lalu di masa depan pelaku bisnis lokal mana lagi akan menjadi korban? Dan jika pesaingnya adalah perusahaan lokal sendiri, lalu apakah ada perbedaan cara pandang kita (baik konsumen maupun pemerintah) terhadap kondisi itu? Dengan kata lain, apakah kasus taksi lokal Vs Uber itu memang kasus perusahaan tradisional Vs teknologi atau lebih kepada perusahaan asing Vs lokal?
[caption caption="Sumber: weheartit.com"]
Penutup
Menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah lebih berfokus kepada regulasi untuk mendukung pertumbuhan industri digital sebagai salah satu bentuk dukungan aktif  demi industri dalam negeri itu sendiri. Bisa diarahkan untuk  memperkuat pelaku industri lainnya. Tapi, yang lebih penting adalah pemahaman dari pemerintah itu sendiri dengan tren dan model bisnis di era teknologi saat ini. Kalau tidak, modelnya masih hanya berkutat main blokir, menghempang dengan alasan pajak yang tidak masuk ke negara, dsb. Praktisnya hanya fokus keuntungan jangka pendek. Bukan fokus ke pertumbuhan dan keuntungan jangka panjang.
Tidak mudah memahami perubahan bisnis di era teknologi sekarang ini. Lebih sering regulasi tertinggal dibanding praktik bisnis. Untuk meminimalkannya, pemerintah perlu merekrut berbagai kalangan dari industri terkait dan belajar mengubah persepsi kalau bisnis masih dilakukan dengan model "as usual".
Jika kita masih berkutat di masalah taksi Vs Uber, mungkin Anda perlu mendengar layanan baru dari HyreCar. Layanan dari startup dari Amerika ini memberikan kemudahan bagi pengemudi yang ingin menjadi supir Uber tapi tidak memiliki mobil. Jadi, Hyrecar membantu masalah ketiadaan mobil tersebut sehingga calon pengemudi bisa mencoba peruntungannya di bisnis on-demand economy. Coba bayangkan bisa diterapkan di Indonesia, berapa potensi pengangguran yang bisa terbantu? Coba bayangkan bila konsep itu diterapkan di berbagai jenis bisnis? Apakah masalah pengangguran bisa lebih diminimalisasi?
Masih berpikir ini hanya masalah seputar ekonomi kapitalis? Atau mungkin ini adalah bentuk ekonomi berbasis kebebasan dan efisiensi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H