Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

On-Demand Economy Pada Kasus Tolak Transportasi Online

15 Maret 2016   00:01 Diperbarui: 15 Maret 2016   11:26 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam jangka panjang, bisa jadi layanan Anda akan meluas dan akhirnya marketplace terbentuk dengan sendirinya.  Dulu tidak terlalu mudah menemukan kebutuhan yang tersembunyi dari konsumen. Saat itu startup sebagai penyedia lebih mudah mengenalkan layanannya dan menemukan konsumen. Namun kini dengan kondisi kompetisi yang sengit, terkadang penyediaan layanan dimulai dengan mengumpulkan beberapa supplier dan memberikan akses ke marketplace yang sedang dibentuk agar konsumen tertarik dan percaya.

Proses agregasi (pengumpulan) di satu sisi ini lebih efisien dan meminimalkan beberapa masalah. Seperti Gojek misalnya. Walaupun penerapannya mirip Uber, namun pada pelaksanaannya cukup menunjukkan bahwa Gojek lebih memfokuskan diri kepada penyedia (supplier) yang terintegrasi yaitu jaringan pengemudi Gojek. Dengan cara ini, perusahaan dapat memastikan tingkat kualitas yang lebih terjamin dibanding dengan memberikan kebebasan langsung kepada supplier dan konsumen dalam berinteraksi.

Pilihan Sendiri atau Aturan Algoritma

Terkadang konsumen lebih menyukai pilihan sendiri dibanding menggantungkan pilihan kepada algoritma dari platform layanan. Contohnya Uber, Anda dapat memilih taksi mana yang akan Anda panggil berdasarkan beberapa ketentuan pilihan menurut Anda sendiri. Sementara kalau Anda menggunakan aplikasi kencan online atau jasa kerja lepas, maka algoritma akan mengatur dan memberikan kemungkinan layanan terbaik. Anda hanya bisa memilih dari pilihan yang disediakan.

Apakah cara ini kurang baik? Sebenarnya tidak. Katakanlah Anda ingin memberikan layanan teknisi siap panggil, Anda bisa menggunakan algoritma untuk membantu konsumen menemukan teknisi terbaik/terdekat atau membiarkan mereka sendiri memilih dari awal. Anda hanya memberikan pasar tempat berkumpul (marketplace) kepada kedua belah pihak. Persoalan muncul ketika Anda salah membaca keinginan dan kebutuhan konsumen. Tidak semua konsumen butuh bantuan dan lebih memilih sendiri. Di sinilah letak pemahaman akan kebutuhan konsumen sangat penting.

Sebagai contoh kasus: manakah yang Anda pilih, aplikasi laundry online yang memberikan kebebasan kepada Anda memilih penyedia jasa laundry yang Anda sukai? Mungkin karena sebagai konsumen Anda lebih suka memilih berdasarkan jarak/lokasi yang dekat, kenal dengan area, dsb? Atau sebagai konsumen Anda tidak mau tahu akan hal itu dan hanya membutuhkan jasa yang sesuai dengan keinginan? Misalnya jadwal dijemput dan pengerjaan yang pasti, rating kualitas penyedia laundry atau bahkan Anda tidak mau tahu siapa yang mengerjakan. Yang penting terima beres.

Kuncinya adalah mengenal kebutuhan pelanggan dan mengoptimalkan kecocokan serta efisiensi dari penyedia layanan.

Layanan Terstandar atau Tidak Terstandar

Mungkin bagian ini yang paling cocok dengan kondisi Uber versi taksi lokal dalam beberapa poin. Armada taksi sepertinya terstandar dengan pemahaman menggunakan mobil yang sejenis, keseragaman prosedur dari supir dalam menangani penumpang dan ketentuan implementasi regulasi dari pemerintah. Tapi standardisasi saat ini tidak sama bila diselaraskan dengan penerapan teknologi. Mungkin sebaiknya Anda bisa melihat dari kesamaan cara pemanggilan untuk Uber padahal jenis mobil, tipe pengemudi tidak sejenis. Di mata konsumen, kemudahan cara panggil hanya dengan beberapa tapping di smartphone menjadi standar baru untuk layanan instan seperti itu. Bandingkan dengan memanggil taksi dengan model lama via lambaian tangan atau panggilan telepon.

Bandingkan dengan layanan yang tidak terstandar, misalnya Anda menggunakan aplikasi pencarian rumah sewa. Anda tentu membutuhkan variabel yang cukup banyak untuk menemukan standar yang sesuai keinginan. Kini Anda paham perbedaan antara Uber dan AirBnB? Jika Uber lebih mengedepankan efisiensi pemanggilan dan kecocokan otomatis, maka AirBnB lebih kepada sistem pencarian dan penemuan spesifik.

[caption caption="Sumber: theguardian.com"]

the-guardian-dot-com-56e78c4a64afbd3f0aa3958d.jpg
the-guardian-dot-com-56e78c4a64afbd3f0aa3958d.jpg
[/caption]

On-Demand Economy Cocok untuk Indonesia?

Jika kita melihat kasus taksi Vs Uber maka muncul persepsi kalau model bisnison-demand economy ini lebih bercorak kapitalis dan menguntungkan satu pihak saja yaitu penyedia layanan (dalam kasus itu bisa disebut supir Uber yang dituding hanya nyambi namun mendapatkan pendapatan cukup lumayan). Apalagi ketika kita melihat kenyataan bahwa banyak perusahaan taksi terganggu pendapatannya. Namun betulkan model penerapan on-demand economy tidak selalu bagus? Betulkah bahwa di balik aplikasi ini, kepentingan kapitalislah yang diutamakan?

Bila melihat tergerusnya pendapatan perusahaan taksi lokal, apakah karena kapitalisme sepihak dari Uber? Atau sebenarnya hanya imbas dari penerapan teknologi demi efisiensi? Jika diblokir, apakah aplikasi sejenis lainnya bisa dikatakan "haram" untuk dibuat? Dan regulasi yang bagaimana sebenarnya yang bisa dikatakan sesuai aturan yang berlaku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun