Saya menganalisa bahwa BIN di era Sutiyoso sudah berbeda dengan era sebelumnya. Kini tantangan semakin pelik dan kompleks. Pendekatan yang hanya mengedepankan kekuatan prosedur dan hukum yang kaku terbukti tidak bisa mengurangi potensi gangguan keamanan separatisme. Diperparah lagi dengan kondisi geopolitik di dunia yang semakin menyuburkan separatisme global seperti Al-qaeda dan ISIS. Terbukti terjadi evolusi gerakan separatis dari waktu ke waktu. Dan Indonesia selalu menjadi panggung percobaan yang menarik hati karena kondisi ekonomi, politik dan demografinya.
Di era sebelum Sutiyoso, banyak yang berpendapat bahwa BIN terkesan mandul dan tidak mampu menangani gangguan keamanan dengan baik. Data intelijen yang diharapkan bisa membantu aparat keamanan dianggap tidak efektif dalam menangani berbagai kasus daerah dan nasional. Bahkan dulu ada ledekan untuk hal ini yaitu Intel Melayu. Dinilai lamban, bergerak setelah ada kejadian, dsb. Sebenarnya itu hanya stigma publik saja. Tidak mudah melakukan kegiatan intelijen untuk negara sekompleks Indonesia ini. Bandingkan saja dengan CIA dan FBI di Amerika, walau sudah anggaran luar biasa masih kecolongan juga bukan?
Berbeda dengan kedua lembaga negara adidaya tersebut, BIN milik negara kita ini lebih hemat biaya (alias anggaran terbatas) dan pasti ada dampaknya terhadapa produktivitas kerjanya bukan? Belum lagi soal koordinasi antar lembaga. Menurut saya seharusnya BIN berdiri sendiri seperti layaknya sebuah lembaga intelijen. Tapi namanya Indonesia, mereka diletakkan dibawah departemen hankam. Jadi publik memandang BIN dengan kacamata hankam yaitu prosedur hukum atau pola militeristik. Padahal tugas BIN seharusnya lebih luas daripada bermain di ranah hukum dan aturan formal biasa.
BIN harus mampu masuk ke lini yang tidak terbayangkan oleh kita. Pendekatan hukum hanyalah salah satunya dan itulah yang kita kira seharusnya dilakukan oleh mereka bukan? Padahal dalam kenyataannya, banyak model pendekatan yang harus diterapkan. Bahkan metode yang penuh dengan intrik, kekerasan, perang psikologis, penyusupan dan infitrasi bukan hal yang aneh bagi badan intelijen di negara manapun di dunia ini, termasuk BIN. Jadi memaksa BIN hanya melakukan satu pendekatan saja sama artinya menyuruh seorang koki memasak dengan hanya satu tangan atau satu kaki. Bisa tapi jangan harap hasilnya maksimal.
Lalu mengapa BIN melakukan pendekatan persuasif? Coba kita bandingkan dengan gerakan ISIS saat ini. Terlepas dari kontroversi apakah ISIS bentukan Amerika atau bukan, mayoritas pengamat intelijen akan setuju bahwa pendekatan Amerika Serikat yang gegabahlah yang semakin memicu gerakan separatis global tersebut. Api dilawan dengan api, mata diganti dengan mata. Hasilnya adalah perang yang tidak berkesudahan sampai sekarang. Bahkan semakin ramai dengan contoh aktual Perang Syria.
Pemberian amnesti adalah pendekatan holistik yang bagus. Membuat para pelaku menurun tensinya dan berpikir keras apakah mau lanjut atau tidak? Jika anda seorang anggota separatis, anda akan paham bahwa pendekatan humanis dan sosial jauh lebih berdampak daripada tindakan represif bertamengkan hukum. Berbeda dengan gaya Amerika melalui CIA yang mengobok-obok negara Timur Tengah, BIN memilih pendekatan "diluar kebiasaan". Wajar saja Kapolri langsung merespon dengan pendekatan hukum karena itulah cara berpikir prosedural. Tapi apakah kita tidak bisa belajar dari sejarah kita sendiri?
Pemberian amnesti akan memakan waktu dan banyak terjadi dialog. Dalam hal inilah BIN bisa mempelajari dan mengenal kelompok separatis Din Minimi lebih intens. Banyak sekali hal penting yang bisa didapat dengan komunikasi langsung. Pendekatan dan model pembelajaran ini memang belum tidak mudah diimplementasikan ke kelompok separatis lain di Indonesia, tapi bayangkan betapa penghematan biaya, waktu dan nyawa yang didapat dari cara ini bukan?
Kemungkinan Di Masa Depan
Tentu proses amnesti yang dijanjikan masih bisa berubah dalam praktiknya nanti. Kelompok Din Minimi juga tidak bodoh mengantisipasi hal itu. Hanya saja mereka tetap memilih menyerah dan kembali kepada keluarga. Artinya pemerintah melalui BIN mampu meyakinkan mereka bahwa permintaan mereka akan dipertimbangkan dan diupayakan untuk terwujud.
Berita ini akan tersebar kesemua daerah. Alih-alih menyuburkan separatisme di daerah, hal ini akan membuka pintu pemikiran bahwa pemerintah bisa diajak berdialog. Bisa diajak mendengar keluhan dan jeritan hati kaum separatis tanpa jalan kekerasan dan perang yang tidak jelas kapan akan berakhir.
Suka atau tidak suka, kalau selalu mengedepankan prosedur hukum tanpa ada dialog dan negosiasi, maka ketegangan akan selalu muncul. Bila tidak berani memaafkan maka rekonsiliasi akan sulit tercapai. Dan bila tidak berani bertindak berbeda maka hasilnya akan selalu sama.