Novan menarik napas panjang sebelum memasuki gerbang sekolah. Ini adalah hari pertama Novan di SMA, dan perasaan campur aduk antara gugup dan bersemangat menyelimuti pikirannya. Sejak kecil, hidupnya sudah penuh tantangan. Ayahnya pergi ketika ia masih di bangku SD, dan ibunya bekerja keras sebagai buruh cuci untuk menyekolahkan Novan. Sebagai anak tunggal, ia harus mandiri, melakukan banyak hal sendiri, termasuk merawat dirinya saat ibunya bekerja dari pagi hingga malam.
Selama bertahun-tahun, Novan terbiasa berjalan sendiri. Ia belajar untuk tidak banyak mengeluh, walau kadang hatinya ingin berbagi beban dengan orang lain. Ia sadar, banyak hal yang tak bisa ia ubah, dan satu-satunya yang bisa ia kendalikan adalah bagaimana ia bertahan.
Ketika menginjak SMA, Novan tak ingin hanya menjadi siswa biasa. Ia bergabung dengan OSIS, organisasi yang dianggapnya bisa membantunya belajar lebih banyak tentang kepemimpinan dan tanggung jawab. Meski awalnya ragu, ia melihat OSIS sebagai kesempatan untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain. Ia teringat pada ibunya yang selalu mengajarkan pentingnya peduli dan berkorban untuk sesama, meski hidup sendiri tidak mudah. Setiap hari, Novan berusaha keras. Ia membantu mengorganisir acara sekolah, menjadi tempat teman-temannya berkonsultasi, dan sering kali mengorbankan waktu istirahatnya untuk mendengarkan masalah orang lain. Namun, di balik senyumnya yang tenang, ada rasa lelah yang sering kali menggelayut di dalam hati. Novan merasa, meski ia selalu ada untuk orang lain, jarang sekali ada yang benar-benar memahami apa yang ia rasakan.
***
Suatu sore, ketika acara pentas seni yang ia bantu susun berjalan sukses, Novan duduk sendirian di bangku belakang aula, memperhatikan teman-temannya tertawa dan berbagi kebahagiaan. Saat itu, ia merasakan perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya—keinginan untuk juga diperlakukan seperti ia memperlakukan orang lain. Ia ingin ada yang peduli, sekadar bertanya apakah ia baik-baik saja. Tapi Novan sadar, ia tak bisa memaksakan itu. Di kehidupannya, perhatian bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah. Ia harus menerima bahwa tidak semua orang akan memberi perhatian yang sama seperti yang ia berikan. Sore itu, sambil memandang langit senja, Novan menguatkan hatinya.
“Kamu baik-baik saja, Nov?” Suara lembut memecah keheningan. Novan menoleh dan mendapati Mira, teman sekelasnya sekaligus rekan di OSIS, duduk di sebelahnya.
Novan tersenyum tipis, “Iya, cuma lagi capek aja.”
Mira menatapnya dengan penuh perhatian, “Kamu selalu ada buat orang lain, tapi jarang yang nanya kamu gimana. Nggak apa-apa kalau sesekali kamu cerita, kita teman, kan?”
Mendengar itu, hati Novan sedikit hangat. Ia tak menduga ada yang memperhatikan dirinya di tengah segala kesibukannya. Meski tidak semua harapan akan terpenuhi, setidaknya, ia tahu bahwa di perjalanannya yang selama ini tampak sendiri, masih ada orang yang peduli.
Esok harinya, saat rapat OSIS berlangsung, Novan diam-diam memperhatikan teman-temannya. Mereka semua sibuk mengurus acara yang akan datang, namun tetap saja, Novan merasa ada jarak. Ia tahu, tak semua orang peduli seperti Mira. Namun, meski demikian, Novan tetap melangkah dan terus melakukan yang terbaik. Bagi Novan, pengorbanan adalah bagian dari kehidupannya, dan meskipun ia sering kali merasa sendirian, ia yakin bahwa suatu hari, kebaikannya akan kembali padanya dalam bentuk yang lain.
***