Hampir satu bulan belakangan ini, saya sangat sering menonton televisi khususnya acara-acara yang tayang di atas jam 5 sore. Hal ini mengingat kondisi saya saat ini yang masih dalam masa "menunggu", sehingga bisa dikatakan bahwa saya "semi-pengangguran" dan sangat terbuka untuk berbagai lowongan pekerjaan. Maklumlah, rapat yang akan menentukan nasib para kader baru akan terlaksana pada akhir bulan November dan sekarang baru "akhir bulan Oktober".Â
Dalam masa-masa tersebut, saya menemukan sebuah acara realitas yang berjudul "Mikrofon Pelunas Hutang" yang ditayangkan di sebuah stasiun TV swasta nasional. Awalnya, saya cukup aneh dan asing mendengar judul acara ini sehingga saya penasaran. Setelah menonton beberapa klip yang diunggah ke YouTube dan membaca beberapa artikel, akhirnya saya mengerti konten dan arah dari acara ini. Memang, acara tersebut adalah acara dari luar negeri yang lisensinya "diimpor" ke Indonesia oleh stasiun TV tersebut (mirip seperti Idol, Got Talent, dan sejenisnya).Â
Mungkin, acara ini didatangkan karena pangsa pasarnya yang lumayan baik. Pastinya stasiun televisi tersebut sudah melakukan berbagai macam survey dan studi tentang kemungkinan menayangkan acara tersebut, sehingga mereka berani menayangkannya. Teknisnya, acara ini memperlombakan orang supaya hutang mereka dapat dilunasi. Jika "kalah", peserta hanya mendapat hadiah uang yang lebih sedikit dari jumlah hutangnya.Â
Tentunya, acara ini menggunakan narasi kisah hidup para kontestannya sebagai sebuah komoditas yang diperlombakan dan sebagai bahan pertimbangan para juri yang menentukan kelanjutan mereka di dalam acara tersebut. Kemampuan bernyanyi hanya menjadi sebuah "pemanis" saja, yang digunakan untuk menyatakan bahwa acara ini adalah sebuah perlombaan dan bukan "eksploitasi kisah sedih" seperti yang dituduhkan oleh para netizen kebanyakan.Â
Banyak yang mengkritik keras acara ini, karena menurut mereka acara tersebut mempertontonkan hal yang seharusnya hanya menjadi konsumsi publik terbatas, bukan khalayak ramai. Namun tidak sedikit juga yang mendukung acara ini, dengan mengatakan bahwa acara tersebut mengajak para penontonnya untuk lebih bersyukur lagi terhadap apa yang mereka miliki, bahkan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.Â
Terlepas dari pro dan kontra terhadap acara tersebut, hal ini menunjukkan bahwa semakin "ke sini" manusia semakin kreatif dalam mencari cara untuk mendapatkan uang maupun perhatian. Kisah-kisah sedih yang tadinya hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi sebuah komoditas yang memiliki banyak keuntungan ketika dilepas ke pasar oleh para pembuat acara.Â
Air mata yang menetes menjadi sebuah indikator kesuksesan dari acara tersebut, tanpa mempertimbangkan apakah air tersebut tercurah karena ketulusan atau hanya karena emosi sesaat saja. Ini menjadi bisnis yang sangat digemari karena baik melalui cercaan atau pujian, rating dari acara tersebut akan naik dengan pesat tanpa harus mengeluarkan modal banyak.Â
Ya, cukup dengan air mata saja, kita akan memiliki sebuah acara yang tidak hanya mempertontonkan realitas hidup seseorang yang miris, tetapi juga mendapatkan peringkat acara yang tinggi sehingga kita tidak kehilangan konsumen di tengah gencarnya perang antar perusahaan penyedia tayangan televisi. Dengan rating yang tinggi, maka kita tidak perlu khawatir akan kehilangan pemasukan karena klien sponsor dan iklan, yang menjadi sumber pemasukan utama, akan terus berdatangan. Peserta senang, pengusaha pun senang. Pada akhirnya, konten "mendidik" lah yang dikorbankan karena kita secara sengaja dibuai dan terbuai oleh gagasan romantik dari setiap tayangan yang ditunjukkan.Â
Tidak dapat disangkal dan dipungkiri lagi bahwa uang dan kemakmuran adalah cita-cita setiap orang, baik kaum borjuis dan proletar. Segala cara pun dihalalkan serta digunakan untuk mencapai cita-cita tersebut, termasuk mengorbankan kualitas konten pengajaran serta dampak buruk yang mungkin akan ditimbulkan.Â
Dramatisasi yang bertujuan untuk membawa kita kepada pemahaman yang lebih utuh, digunakan untuk mendulang "pundi-pundi emas" serta emosi sesaat yang menjadi sumber keuntungan tersendiri bagi mereka yang memanfaatkannya. Mencari keuntungan dalam kesempitan bukanlah sebuah hal yang imajinatif, melainkan hal nyata yang ada di hadapan kita. Setidaknya, apa yang dahulu dianggap sebelah mata, kini menjadi peluang bisnis yang sangat menjanjikan.Â
Namun, setidaknya kita masih bisa berharap bahwa tujuan acara-acara tersebut bukanlah semata-mata hanya ingin mengeksploitasi rasa iba dan kasihan kita belaka, melainkan mengajak para penontonnya untuk mengalami perubahan diri untuk lebih bersyukur dengan apa yang dimiliki.Â