Beberapa hari belakangan ini,news feed beberapa media sosial yang saya gunakan (khususnya Facebook dan Twitter) dipenuhi oleh perbincangan mengenai pidato Gubernur DKI Jakarta terpilih yang baru saja dilantik. Banyak yang "pro", namun tidak sedikit juga yang "kontra" terhadap isi dari susunan pidato yang disampaikan oleh beliau. Bagian yang paling disorot secara luas adalah penggunaan istilah "pribumi", yang mengundang beragamnya reaksi baik di tingkat masyarakat maupun tingkat elit politik.
 Ada juga pihak yang langsung menyambungkan hal ini dengan peraturan "Instruksi Presiden" (disingkat Inpres), yang melarang penggunaan istilah-istilah tersebut dalam penyelenggaraan segala aktivitas yang berhubungan dengan kenegaraan. Tentu saja, reaksi-reaksi ini mengundang perhatian banyak pihak, dan mungkin saja bisa dimanfaatkan sebagai lahan bisnis oleh mereka yang "mau mendulang emas" dari situasi tersebut.
Walaupun demikian, kita perlu sejenak mengapa hal ini bisa menjadi sangatbooming, bahkan mengalihkan sejenak perhatian kita dari hal-hal yang mungkin lebih penting untuk kita lakukan. Tentu saja, penyebabnya adalah masih tersebarnya "barisan sakit hati" sisa pertarungan politik yang baru saja berlalu.Â
Bayangkan saja, penduduk kota Jakarta yang sedemikian banyaknya terbagi ke dalam dua pilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, dan perbedaan suaranya pun sangat tipis. Jadi, sangat wajarlah jika ada friksi-friksi politi yang terjadi akibat ketidakpuasan. Namun, saya tidak mau membahas hal ini lebih jauh karena bisa-bisa, saya dituduh memihak salah satu calon padahal saya tidak tinggal di Jakarta dan tidak memiliki "hak suara" dalam pertarungan politik tersebut.
Kalau kita menelisik soal "pribumi" dan "non-pribumi" secara lebih jauh, memang harus disadari bahwa inilah politikdevide et impera yang masih berjalan dengan baik hingga saat ini, setelah bertahun-tahun Indonesia menjadi negara yang merdeka. Pada masa penjajahan sendiri, kita mengetahui bersama bahwa ada tiga kelas masyarakat yang digolongkan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu.Â
Kelas satu, diisi oleh orang-orang Eropa yang tidak lain adalah bangsa "para penjajah" dan kroni-kroninya. Kelas dua, diisi oleh orang-orang Asia, mulai dari Asia Timur hingga "Timur Tengah" dan umumnya mereka adalah para pedagang. Kelas tiga, inilah yang paling miris, diisi oleh parainlander yang tak lain adalah orang-orang yang katanya "penduduk asli" wilayah jajahan. Kelak di kemudian hari, istilahinlander inilah yang diartikan serta dipahami sebagai "pribumi".
Persoalan muncul ketika Indonesia akhirnya merasakan kemerdekaan dari jajahan orang-orang "kelas satu" tersebut. Tentu saja, ini mengubah struktur susunan "tiga kelas" tadi dengan menempatkan paranative tersebut di kelas satu, sedangkan mereka yangEuropesepindah ke kelas tiga. Bagaimana dengan kelas dua? Tetap saja mereka diisi oleh golongan yang sama, namun kali ini lebih identik dengan orang-orang Asia Timur.Â
Mengapa demikian? Tak lain dan tak bukan, jawabannya adalah karena orang-orang "Timur Tengah" sudah membaur dengan paranative, sehingga mereka lebih mudah diterima dan tidak lagi dianggap sebagai "manusia kelas dua". Ini berbeda dengan orang-orang "Asia Timur" yang sulit membaur karena perbedaan-perbedaan yang dimiliki, baik secara fisik maupun secara konsep-konsep pemikiran.
Harus diakui bersama bahwa "Bangsa Indonesia", yang telah mengalami berbagai macam penjajahan, terdiri dari tiga kelas ini. Hal inilah yang diperhatikan betul dalam perumusan Teks Proklamasi, sehingga kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia tidak hanya memihak kepada satu "kelas" tertentu saja, tetapi memerdekakan semua kelas tersebut dengan tetap mengakui "pembagian" yang telah terbentuk. Kebersamaan dalam keberagaman inilah yang menjadi ciri khas identitas Bangsa Indonesia, karena tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia.Â
Walaupun demikian, bukan berarti semua pihak menerima gagasan tersebut dengan "tulus". Mungkin pada saat itu, mereka menerima karena kepentingan untuk lepas dari tangan penjajah. Namun di waktu lain, mereka bisa saja menggemakan kembali "gagasan lama" yang hanya memberi kemerdekaan kepada salah satu "kelas" saja, karena kelas yang lain bukan bagian dari mereka. Semoga saja, ini tidak terjadi.
Nah, kembali kepada "si Bapak" yang mudah-mudahan saja hanya terpeleset berbicara karenaeuforia pelantikan. Setidaknya, saya mengapresiasi beliau karena telah membangkitkan serta menyadarkan masyarakat secara luas, bahwa wawasan kebangsaan kita selama ini sangatlah rendah dan rasa nasionalisme sebagai "kelas" yang sama-sama merdeka karena perjuangan bersama sudah pudar.Â