Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad menyadari betapa pentingnya membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk kemajuan negara. Dia mengirim puluhan ribu mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan S-2 dan S-3 ke berbagai negara maju. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan para mahasiswa agar mereka dapat berkontribusi lebih signifikan pada pembangunan negara setelah kembali.
China juga mengambil langkah serupa. Mereka mengirim mahasiswa terbaiknya ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, lulusan-lulusan ini kembali dan siap untuk mengisi posisi penting dalam perekonomian negara. Hasil dari strategi ini sangat nyata; saat ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di China dipimpin oleh orang-orang yang sangat kompeten. Hal yang sama juga terjadi di sektor swasta dan birokrasi mereka, di mana individu-individu yang berbakat dan berpendidikan tinggi memegang peran kunci.
Perubahan yang dibawa oleh para lulusan ini tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi. Mereka juga membawa perubahan besar dalam sistem pendidikan di negara mereka. Tradisi lama yang terlalu berfokus pada pengajaran kognitif, seperti metode hafalan dan pengajaran yang berpusat pada guru, mulai ditinggalkan. Para lulusan ini memperkenalkan metode pengajaran baru yang lebih interaktif dan inovatif.
Mereka mengubah kurikulum dan memperbaiki metode pengajaran untuk membuat pendidikan lebih relevan dan efektif. Perubahan ini kemudian diikuti oleh banyak sekolah di berbagai belahan dunia. Misalnya, di Belanda, universitas-universitas ternama seperti Erasmus dengan mudah menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang.
"Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, jadi kami harus menerima mereka yang mendaftar," kata seorang dekan di Erasmus. Ini sangat berbeda dengan situasi di universitas negeri di Indonesia, yang memiliki hak istimewa untuk mencari dan menerima lulusan SMA terbaik melalui proses seleksi yang sangat ketat.
Namun, universitas di Belanda memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka menerapkan seleksi yang ketat di tahun kedua perkuliahan. Angka putus sekolah atau dropout pada tahun kedua sangat tinggi. Di sini, universitas mulai benar-benar menilai kualitas mahasiswa. Meskipun setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, kemampuan dan minat masing-masing individu sangat berpengaruh pada keberhasilan mereka di masa depan.
Menurut dekan tersebut, "Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda," ujarnya. Artinya, meskipun semua orang memiliki hak untuk belajar, hanya mereka yang benar-benar memiliki kemampuan dan minat yang kuat yang akan berhasil melanjutkan studi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H