Mohon tunggu...
Samintang
Samintang Mohon Tunggu... Penulis - Try to be useful person for many people. Get success and don't forget to succeed others.

Accounting Department Unhas '19 | Coordinator of Edutainment Division SCI | SGDs Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dramaturgi Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

4 Februari 2023   12:52 Diperbarui: 4 Februari 2023   13:09 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Anthony on Unsplash

Kontes Pemilihan Umum 2024 masih ada beberapa bulan namun multiplier effect yang ditimbulkan terasa hingga ke ranah desa. Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa hingga 9 tahun menjadi salah satu dari sekian banyaknya "panggung sandiwara politik" yang saat ini silih berganti mengisi layar kaca dan media sosial.


Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 hingga 9 tahun seyogyanya harus ditolak tegas oleh DPR dan Pemerintah. Selain kental dengan politisasi dan dinasti kekuasaan di tingkat desa, usulan ini tidak memiliki landasan dan urgensi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Alih-alih semangat kepala desa untuk berkontribusi lebih baik dengan masa jabatan yang lama, usulan ini rentan akan penyelewengan jabatan, penyalahgunaan dana desa, dan dramaturgi politik lainnya yang saat ini juga masih tumbuh dengan sangat subur.


Desa. Satu kata berjuta masalah.
Desa hari ini masih diselimuti berbagai dilemma dan problematika yang membutuhkan kerja ikhlas dari pemerintah desa dan segenap warga. Permasalahan yang hadir pun tidak hanya menyoal kesejahteraan hidup masyarakat yang cenderung di bawah rata-rata, melainkan oligarki yang dilakukan oleh oknum-oknum. Politisasi di desa juga masih menyeruak dengan berbagai model kasus dan didominasi oleh penyalahgunaan kekuasaan dan anggaran sehingga dana 1M per desa seringkali habis sia-sia. Oleh karena itu, para policymaker sepatutnya menandai usulan ini sabagai sinyal buruk yang justru menodai proses pembangunan desa. Bukan malah menyambut usulan-usulan yang terkesan tergesa-gesa, tidak solid, dan tidak mengedepankan evidence based-policy ini.
Korupsi di desa semakin mengkhawatirkan.


Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa kasus penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus pada 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar. Korupsi anggaran dana desa bahkan cenderung meningkat sejak 2015. Saat itu, korupsi anggaran dana desa hanya berjumlah 17 kasus dengan kerugian sebesar Rp40,1 miliar. Sebuah angka fantastis yang melalui pengelolaan yang baik seharusnya mampu membawa desa lebih berdikari dan berdaya.

Fenomena ini semakin membawa dampak yang negatif seiring penggelontoran dana desa hingga mencapai 1M per desa. Dana desa ini semata-mata diperuntukkan agar desa lebih resilien, unggul, dan masyarakat hidup dengan sejahtera. Korupsi yang terjadi justru menjadi bumerang bagi masyarakat desa. Kondisi ini memerlukan perhatian dan tindak nyata dari pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada upaya preventif yang efektif untuk mereduksi praktik korupsi di desa.

Domino effect perpanjangan masa jabatan kepala desa
Jika perpanjangan masa jabatan kepala desa diaminkan oleh pemerintah, sekiranya ada beberapa potensi masalah lanjutan yang akan muncul:
1. Perpanjangan masa jabatan justru melukai spirit demokrasi. Limitasi masa jabatan kepala desa telah diatur pada Pasal 39 UU Desa di mana masa jabatan kepala desa ialah 6 tahun. Selain itu, kepala desa pun masih berkesempatan untuk memegang amanah hingga tiga periode baik secara berturut-turut maupun tidak. Porsi jabatan ini bahkan lebih tinggi dibandingkan pejabat lain yang mendapat mandat dari masyarakat, sebut saja Kepala Daerah dan Presiden. Sehingga alasan perpanjangan dengan dalih dapat berkontribusi lebih ke desa tidak lebih dari sebuah dramaturgi dari panggung depan (front stage) yang berlawanan dengan panggung belakang (back stage) para kepala desa yang mendesak perpanjangan masa jabatan. Narasi-narasi yang dipersembahkan pada saat demonstrasi juga sarat dengan niat politis, bukan untuk memakmurkan desa yang dipimpin.

2. Usulan 9 tahun dengan skema 3 periode: 27 tahun bukan kemajuan yang hadir melainkan biang-biang korupsi tumbuh subur. Membayangkan seorang kepala desa menjabat 9 tahun ialah sebuah mimpi yang lumayan buruk. Apalagi jika track record dan kompetensi seorang kepala desa yang di bawah rata-rata dan atas dasar transaksional jabatan serta dinasti yang telah lama dibangun yang membuatnya berhasil duduk di kursi 01 desa. Tidak mengherankan jika kasus penyalahgunaan dana desa, stagnansi pembangunan, serta ketimpangan menjadi masalah yang bertubi-tubi.Interest politic dari kepala desa dan aparat sangat potensial terjadi.

3. Usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa: Cacat pikir dan landasan yang tidak komprehensif. Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan agar masa jabatan kepala desa (kades) diubah menjadi 9 tahun dan dapat diemban selama 3 periode sehingga bisa menjabat selama maksimal 27 tahun. Usulan ini jelas tidak datang dari aspirasi masyarakat desa dan prioritas desa melainkan dirembukkan oleh seluruh kepala desa yang berafiliasi dan akhirnya melemparkan keinginan sepihak itu ke Kemendes. Ikhtiar untuk menggenjot pembangunan fisik dan non-fisik di desa agar mampu menjadi penyangga ekonomi tidak ada relevansinya dengan penambahan masa jabatan hingga menyentuh angka 27 tahun. Jika IQ, SQ, dan EQ kepala desa memiliki harmoni yang baik, mengapa harus berpuluh-puluh tahun? Kembali lagi, mentalitas seorang pemimpin dan aspirasi masyarakat desa adalah indikator dan kunci kemajuan desa.

Daripada bergumul terlalu lama dengan isu perpanjangan masa jabatan ini, kepala desa lebih baik untuk fokus pada peningkatan kinerja, good governance, SDGs Desa, dan intens mendengar aspirasi masyarat desa melalui musyawarah desa. Masa jabatan 6 tahun sudah ideal untuk berkontribusi. Jika telah mencapai limitasi jabatan dan tidak mampu membawa perubahan nyata, mundur dari jabatan bukanlah hal memalukan. Regenerasi juga penting untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang lebih baik untuk membangun desa. Bukan dengan menahan diri selama mungkin hingga 27 tahun tanpa inisiasi dan kontribusi yang dapat dikenang oleh masyarakat desa melainkan dikutuk sepanjang masa.

Skenario perpanjangan masa jabatan kepala desa bukanlah persoalan yang sederhana. Payung hukum yang mengatur masa jabatan telah memiliki rambu-rambu yang perlu ditaati. Setiap kebijakan memerlukan kajian yang komprehensif, ilmiah, tidak tergesa-gesa, berasas kepentingan bersama, dan disusun dengan suasana hati yang tenang dan kepala dingin. Oleh karena itu, Pemerintah (sekali lagi) seyogyanya menolak usulan perpanjangan masa jabatan tersebut.

Di sisi lain, kepala desa yang begitu menggelora atas usulan ini ada baiknya untuk merefleksikan kembali narasi-narasi yang telah dilontarkan di Gedung DPR RI kemarin. Angka 27 tahun itu statistik, kontribusi Anda-lah yang ditunggu oleh masyarakat. Desa bukan komoditas politik yang dapat diperjualbelikan atas dasar kepentingan pribadi dan kelompok tertentu sebab ada aspirasi masyarakat desa yang seharusnya dinomorsatukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun