Beberapa hari belakangan ramai kicauan dari Republik Netizen yang memperbincangkan salah satu stafsus Pak Presiden yang nasibnya kurang mujur tahun ini. Tak perlu menuliskan namanya, musabab hampir sejagat maya tahu betul figur pencetus platform Ruang Guru tersebut.
Sosok yang sempat menggemparkan dunia per-scholarship-an sebab masa Bachelor dan Master Degree-nya ditempuh di luar negeri sana dengan full beasiswa. NTU, Harvard, dan Stanford menjadi tempat penjelajahan akademisnya. Sangat menginspirasi memang. Penulis pun sempat berdecak kagum dan menjadikannya sebagai salah satu draft bakal calon suami idaman yang patut diperjuangkan. Eh?
Namun keadaan seketika berubah menjadi boomerang semenjak dirinya didaulat menjadi stafsus berlabel milenial bersama enam pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang pada 21 November 2019 silam.
Hingga siapa sangka, 17 April kemarin memutuskan untuk mengundurkan diri dengan alasan tak ingin mengganggu konsentrasi Pak Presiden di tengah peliknya permasalahan yang diakibatkan oleh si Covid-19. Bahkan sempat membuat thread panjang lebar di twitter dan ribuan fansnya mulai meneriakkan semangat virtualnya. Overall, menjadi stafsus itu berat. Kau tak akan kuat. Biar dia saja.
Terlepas dari itu, kita seyogyanya perlu mengapresiasi keputusan pria lulusan NTU tersebut. Sejatinya, posisinya memang kurang mengenakkan sejak awal. Merangkap jabatan sebagai stafsus dan CEO startup, jelas memungkinkan percikan conflict of interest dan asumsi-asumsi. Dan itu tidak bisa dihindari.
Bahaya rangkap jabatan itu nyata. Ditambah lagi dengan pemberi mandat yang mengiya-iyakan saja bila anak buahnya memegang dua jabatan sekaligus. Ada kecacatan dalam proses perekrutan rupanya. Entah salah siapa.
Isu conflict of interest ini berawal dari kebijakan  Kartu Pra Kerja cetusan Pemerintah yang menggandeng salah satu fitur Ruang Guru yakni Skill Academy dengan tarif Rp150-Rp850. Memang kurang make sense. Secara sederhananya, berikan saja paket internet berjangka dan stimulan berupa cash transfer atau BLT, korban PHK dan para pencari kerja bisa mengakses sendiri pelatihan-pelatihan yang melimpah ruah di YouTube.
Ada kesan dimana memperumit sesuatu yang sebenarnya tak serumit itu. Pantas saja ada surat debat yang dilayangkan oleh salah satu Pengamat Ekonomi lulusan Bradford School of Management, ide yang cetuskan kali ini memang rada-rada salah kemudi. Kaum intelektual sekelas beliau secara alamiah akan meradang, menerjang.
Sudahlah, ganti saja kebijakannya itu dengan yang lebih logic. Mari berkalkulasi sedikit. Total anggaran yang gelontorkan senilai 20 Triliun. Dan jelas, untuk menjadi penikmat pelatihan-pelatihan kelas kakap tersebut, penggunanya harus merogoh kocek sedalam Palung Mariana. Padahal bentuk service-nya tak jauh berbeda dengan YouTube.
Pun jika ditelaah, kebanyakan orang akan lebih prefer menggunakan YouTube untuk mengakses berbagai tips to do something, tutorial memperbaiki ini dan itu, hingga deep learning dengan YouTubers dalam dan luar negeri.
Semuanya tersedia dan komplit, asalkan dengan kuota internet yang memadai. YouTube pun tidak menjenuhkan bukan? Apalagi sasaran program ini diperuntukkan kepada yang belum punya pekerjaan, sedang mencari kerja (baca : pengangguran), include korban PHK.