Mohon tunggu...
Samsuni Sarman
Samsuni Sarman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

guru smp standar nasional di kota banjarmasin anggota komunitas blogger Kayuh Baimbai Kalimantan Selatan suka menulis budaya, sastra, dan perjalanan wisata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Seni Lawak Semakin Brutal

18 April 2014   14:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Melawak adalah seni prilaku mengajak orang lain tertawa atau menertawakan parigal yang sedang dipertunjukkan, demikian aku berpikir. Namun, kenyataan yang kudapatkan justru sebaliknya - seni lawak semakin brutal untuk mengajak menertawakan orang lain dengan berbagai cara penghinaan dan pelecehan profesi orang lain secara berani dan tak pernah merasa bersalah. Dan, sikap penonton seperti menganggap sang pelawak cerdas karena mampu meniru profesi atau prilaku orang yang sedang diperolok-olok. Penonton terkekeh-kekeh tertawa tanpa sempat berpikir rasa malu dari orang yang sedang mereka tertawakan bersama-sama. Sungguh ironis sekali seni lawak kita akhir-akhir ini dalam padatnya acara saling mencari ketenaran atas nama persaingan hiburan media televisi dengan orientasi duit.

Jadi ingat, Kwartet Jaya dengan pelawak terkenalnya Bing Selamat, Iskak, Ateng dan Edi Sud yang sangat disukai penikmat seni lawak hingga mengadakan road show keliling Indonesia kemudian naik layar lebar - tapi tak satu pun materi lawakan menghina orang lain. Juga, Surya Group dengan Bang Jalal yang bertubuh tambun bersama Heri Koko, Esther, George dan kadang mengajak Karjo ACDC dari pangung hingga film - tak pernah menyampaikan lawakan yang membuat penonton tertawa dengan menghina orang lain. Sebut saja, Bagio, Darto Helm, Diran, dan Sol Soleh yang memiliki karakter lawakan menertawakan prilaku diri sendiri bukan orang lain, sementara Reog BKAK dengan Mang Diman, Mang Dudung, Mang Harry, dan Mang Udi yang memadukan seni lawakan dengan musik angklung untuk mengajak tertawa penonton tanpa mengolok-olok orang lain. Jangan tanya lawakan dari group Srimulat dengan tokohnya Asmuni, Tarzan, Tessy, Topan, Polo, Basuki dan Gepeng yang sukses dari panggung rakyat hingga pentas modern - sedikit pun tak pernah ada tertawa karena melecehkan orang lain - mereka justru saling menertawakan diri sendiri yang nampak berbeda dari kebiasaan keseharian. Yang masih segar dari ingatan kita, adalah Jayakarta Group dengan pentolan tawa si Jojon, Tjahyono, Prapto dan Uuk dalam dekade 80-an dengan sumber tertawa pada tokoh dan alur cerita yang dipelesetkan namun jauh dari perusakan nilai-nilai seni melawak. Atau, generasi muda para akademisi yang terjun melawak dalam dunia institusi kemahasiswaan seperti Warkop melalui Dono, Kasino, Indro dan Nanu dari kelompok Orkes PSP (Pancaran Sinar Patromak) dengan menampilkan sisi lucu dari kehidupan kampus dan pergaulan sesama mahasiswa pondokan - dan sekali lagi tak terdengar menghina tokoh, profesi, atau pun institusi secara berlebihan - kecuali memberi sisipan kata dan kalimat berbumbu seksualitas. Apa sih seni melawak itu, Dono dari Warkop mensitir sebuah kisah bahwa lawakan yang menggambarkan sebuah kejadian seseorang terpeleset kulit pisang - itu bukan seni melawak. Jadi, menurut pandanganku seni melawak itu adalah bagaimana membuat sebuah lelucon agar orang lain tertawa. Lelucon, tentu kemampuan diri seorang pelawak mengelola keterampilan diri sendiri atau kelompoknya tentang sebuah kejadian atau fenomena yang dijadikan tema lawakan. Jelas bukan potongan atau peniruan sesaat atas ketokohan atau profesi orang lain yang diperolok-olok dalam bentuk tontonan. Kenapa jadi sewot begitu sih. Ya, sungguh sudah keterlaluan materi lawakan akhir-akhir ini setelah adanya persaingan ketat entertainment dalam tayangan TV maupun film. Malah, sebuah lawakan mungkin dipesan oleh produser untuk mengisi acara sekalipun harus menentang unsur SARA. Pelawak muda, sebut saja begitu karena memang tak ada yang terlihat berumur sangat brutal dalam mengajak penonton tertawa. Lawakan dengan meniru dan mengolok-oloh ketokohan dan profesi seseorang menjadi tren sekalipun jauh dari materi dan tema lawakan yang disajikan. Sebut saja, K.H Zainuddin, MZ kemudian Aa Gymnastiar, dan terakhir K.H. Muhammad Arifin Ilham sebagai tokoh agama yang sering dilecehkan. Kasus yang terakhir lebih brutal lagi karena sebuah Akademi Lawak yang ditayangkan TV Swasta selain mengolok-olok tokoh agama juga lapaz zikir kepada Allah Swt dijadikan bahan tertawaan. Tentu ada reaksi atas kebrutalan lawakan yang sudah keluar dari pakem seni melawak - sebut saja K.H. Muhammad Arifin Ilham yang spontan meminta kepada produser hingga Direktur TV Swasta tersebut segera meminta maaf kepada umat Islam. Parodi pun tidak seperti itu - ada aturan khusus yang menjadi panutan dalam sebuah tontonan parodi. Ini sebuah lawakan. Lantas, mana KPID yang menjadi alat ukur tontotan televisi yang seharusnya segera bertindak karena sudah menyentuh kawasan SARA - ah nanti saja deh dibahas! Sekedar Tips Lelucon memang diharapkan mampu menimbulkan efek tertawa, karena menurut pakar kesehatan Dokter William Fry yang sudah meneliti efek ketawa selama 40 tahun mengatakan bahwa tawa merangsang produksi hormon catecholamines sebagai kebugaran dan mental tetap terjaga. Buktinya, bila kita tertawa selama 20 detik ternyata mampu meningkatkan detak jantung 2 kali lipat dari detak normal hingga sama dengan 3 menit latihan olahraga berenang. Ayo, tertawalah sahabat blogger. pic by browsing google.net posting yang sama silakan kunjungi blog parigal samsuni di http://www.handilbakti.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun