Memenuhi undangan Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (5/7) yang menggelar acara tahunan 'Batanam Karya Baharum Banua' dengan menampilkan sendratasik dari Yayasan Pusaka Saijaan Kotabaru yang berjudul 'Senja Kaki Gunung Batas Laut' merupakan kehormatan yang langka karena tema yang disajikan adalah upaya menjaga dan memelihara tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dipilihnya tema ini karena fenomena yang tampak telah menunjukkan adanya pergeseran nilai kecintaan terhadap tradisi lama sebagai kehidupan yang usang dan telah banyak ditinggalkan pemiliknya karena lahirnya kemudahan dan keindahan budaya baru yang lebih memanjakan. Melalui sendratasik 'senja kaki gunung batas laut' ini digambarkan perjalanan kesenian masyarakat, khususnya wilayah pesisir Kabupaten Kota Baru yang berbatasan dengan ujung Pegunungan Meratus. Ada sesuatu yang baru, demikian promosi yang kubaca di koran pagi - yaitu pemanfaatan multi media sebagai upaya membangun nuansa tontonan yang menghibur karena pada umumnya pagelaran tradisi selalu sepi penonton. transisi tayangan aktor dari screnshot ke panggung Layar Lebar dan Panggung Teaterikal Ada tiga panggung yang dibangun dalam pagelaran sendratasik 'senja kaki gunung dan batas laut' pada sebelah kanan panggung ditempatkan kelompok musik dan sebelah kiri untuk pendukung penampilan dari panggung utama yang terpasang layar lebar (screnshoot) dengan siluet perahu nelayan yang sedang sandar di pantai. Sementara di sisi kiri backdrop panggung terukir bayangan pegunungan yang berjajar atau awan putih yang bergelantungan tanpa batas. Komunitas musik yang mengiringi setiap tampilan di panggung utama begitu menggelegar menampilkan irama tradisional dengan perpaduan instrumen modern - nyaris mampu menguasai ruang tontonan. Dominasi irama gesekan biola dan perkusi berupa gendang dan rebana serta denting gamelan bertingkah setiap perpindahan gerak sehingga nampak selaras dengan ritme dan tempo musik. Aku menunggu, terobosan multi media yang dijanjikan menjadi sesuatu yang baru dalam pagelaran malam ini. Dan, ternyata layar lebar yang menjadi backdrop panggung sejak awal sudah menampilkan riwayat tradisi masyarakat bugis 'bajau' yang berada di pesisir pantai dari pemukiman, cara hidup, pemeliharaan lingkungan, hingga prilaku keseharian dalam berkesenian. Inilah yang menjadi sorotan multi media yang kemudian berpindah menjadi aktor panggung utama - transisi perpindahan dari tayangan layar hingga kemunculan di panggung yang cepat dengan membuat perpindahan gambar yang menghilang dengan sorot yang terang pada aktor. Sebelumnya, ditampilkan tarian dan nyanyian yang menceritakan glamour dunia keseniaan modern serta musik lokal daerah bugis dengan instrumen 'satung' tentang nyanyian betapa miris hati terhadap prilaku generasi muda yang sulit dan tak mau mempelajari tradisi leluhurnya. Sayang, narasi lagu ini sulit dipahami penonton sehingga pandangan lebih banyak ditujukan pada sorot layar LCD di panggung utama. Begitu pula, ketika seorang tua menyanyikan lagu bahasa banjar berpadu tayangan screnshot - ternyata penonton lebih banyak memberi perhatian pada tayangan LCD tersebut. Hal ini juga karena buruknya sound aktor yang nyaris tidak terdengar pada ruang balairung di gedung taman budaya ini, sementara sound untuk komunitas musik lebih keras dan nyaring.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H