Sejak ditetapkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional pada tahun 2010 oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Abdul Malik Fadjar sebagai upaya memacu minat baca masyarakat Indonesia ternyata belum membuat masyarakat gemar membaca, khususnya generasi muda yang terlanjur menyukai sistem komunikasi menggunakan media seluler, seperti telephone. Memang, tradisi lisan masyarakat Indonesia masih sangat dominan sebagai produk kultural. Hal ini disebabkan tradisi lisan mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti sistem nilai, pengetahuan tradisional, sistem kepercayaan dan religi, kaidah sosial, etos kerja, sistem pengobatan, adat istiadat, hukum adat, sejarah, mitologi, legenda, dongeng, bahasa rakyat, nyanyian tradisional, permainan anak, dan berbagai hasil seni lain. Sebagian besar masyarakat sampai saat ini masih lebih mempertahankan tradisi (lisan) dibandingkan keinginan membaca sehingga kebiasaan masyarakat ini menjadi lebih suka dengan tradisi percakapan dan sedikit membaca. Fungsi strategis membaca sebagai pembelajaran untuk mengajak manusia mengetahui perkembangan termodern serta kemampuan meramalkan masa depan memang perlu dipertajam melalui berbagai inovasi dan terobosan secara langsung, bukan saja bagi penikmat seni tetapi juga bagi pembelajar yang selayaknya lebih memiliki porsi membaca terbesar. Saat ini IKAPI sebagai induk organisasi perbukuan nasional sudah berupaya menciptakan kondisi ruang baca yang lebih beragam, koleksi pustaka sudah begitu luas seperti jenis fiksi realistik (termasuk seri lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, seri budi pekerti, seri anak beriman), biografi, petualangan, bacaan bergambar, buku bacaan dwi-bahasa, hingga cerita misteri dan trend modul pembelajaran. Hal ini membuktikan bahwa keinginan penikmat bacaan sudah terpenuhi, namun ternyata hanya sedikit yang memanfaatkan. Seorang sahabat blogger mengatakan bahwa penampilan sebuah buku dilihat dari fisik seperti bentuk buku sudah semakin meriah dengan warna, ilustrasi, maupun jenis kertas. Malah desain, grafis dan ilustrasi sudah diolah dengan estetika lebih eksotik. Jika memperhatikan isi dan tema sudah sesuai dengan kondisi dan karakter subjek baca sekaligus bahasa yang dipakai. Namun, masih perlu digarap lebih serius lagi adalah lemahnya kosa kata dan penuturanyang berhubungan dengan sistem bahasa susastra yang digunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H