Mohon tunggu...
Samsuni Sarman
Samsuni Sarman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

guru smp standar nasional di kota banjarmasin anggota komunitas blogger Kayuh Baimbai Kalimantan Selatan suka menulis budaya, sastra, dan perjalanan wisata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

TRILOGI KEMANUSIAAN

7 Oktober 2015   17:23 Diperbarui: 7 Oktober 2015   17:23 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1) SALAMKU, SALIM

Mentari senja yang jingga menerabas masuk lewat celah kecil jendela yang sudah tertutup sejak sore. Secarik kertas putih digenggam istriku ketika lampu pijar redup di ruang tamu kunyalakan. "Ada apa, Bu? tanyaku perlahan seraya duduk lesehan di lantai. "Esok diajak demo, Pak" sahut lirih istriku dengan menyodorkan selebaran yang diterimanya sebelum senja. "Aku sudah baca di kelurahan tadi" jawabku ringkas. "Gimana, to Pak!" desaknya mendekati duduk di sampingku. "Hidup ini selalu berubah, Bu. Saat ini kehidupan sangat sulit. Pekerjaan di tambang pasir juga semakin bersaing karena banyak pendatang dari luar desa. Sementara, lahan tambang milik desa semakin sempit karena dibeli orang kota" aku diam dan menghirup kopi yang disajikan istriku. "Kemaren cuma dapat 40 ribu, ya Pak" seperti kesal suara istriku. "Ya itulah hasil sehari setelah dipotong kas desa" sahutku. "Kita ikut demo, ya Pak" desak istriku. "Lantas kita nanti mau kerja dan makan ke mana, Bu" ucapku melepas kepulan asap rokok.

Suara jangkrik semakin terdengar serak. Deru mesin mobil dumptruk angkutan pasir dari tambang pada tengah malam ini semakin sering lewat di jalan desa. Aku masih duduk di ambin menyaksikan debu kuning jalan desa yang tersebar. Istriku sudah terlelap di samping anak perempuannya yang duduk di bangku SD. Aku merasa tidak lelah bekerja karena tambang pasir sore ini tampak lebih banyak pekerja dari biasanya. Ada yang khusus dibawa oleh penguasa tambang dari desa sebelah. Malah sebuah rumah di samping kelurahan disewa untuk menampung 20-an pekerja dari luar kota. Betapa berat kehidupan yang akan dilewati karena jumlah pekerja yang banyak tidak sebanding lagi dengan luas lahan tambang. Seharusnya mereka menyadari bahwa kehidupan yang serba sulit ini bukan hanya kebutuhan hidup para pekerja tambang, bukan pula sesiapa yang merasa lahan tambang ini harus dihentikan karena dampak kerusakannya, tetapi yang sebaiknya kita kerjakan adalah bagaimana rakyat desa memiliki rasa kebersamaan dalam pengelolaan tambang. Betapa sakitnya hati ketika kita dituduh bersalah, ketika semua yang kita kerjakan selalu disalahkan dan ketika apa yang kita kerjakan tak berharga dihadapan orang lain.
"Tambah kopinya, Pak" aku terkejut ketika istriku menghampiri dan menuangkan air panas dalam seduhan kopi dari ceret. "Belum tidur, Bu" ucapku menghirup hangat kopi.
"Istirahat, Pak. Besok pagi kerja lagi kan" bujuk istriku.
"Sebentar Bu, mungkin besok diliburkan"
"Kenapa, Pak"
"Ya, karena ada demo itu"

Pagi yang tak biasa. Sejak subuh desa terlihat sunyi. Tak ada deru mobil hilir mudik. Tak terdengar tapak kaki pekerja yang menuju tambang pasir. Aku melongok dari jendela dan melihat bias mentari pagi menerpa jalan lengang. Lalu menutup kembali jendela. Istriku terdiam di depan pintu seolah melarangku untuk turun bekerja. Tiba-tiba, di belakang rumah seseorang mengetuk pintu perlahan. Kujenguk dan dia berbisik ketika derit pintu terbuka.
"Mas, Salim mati" ucapnya hampir tak terdengar. Lelaki itu terus berlalu dan setiap langkahnya bagai hembusan angin tak berbekas. Aku cepat masuk dan duduk sambil menggenggam selebaran itu. Salim, sahabatku waktu sekolah dulu telah mati karena membela kemiskinan warga desa ini. "Aku tau siapa pembunuhnya" jerit hatiku. Dan, sekali tebasan dengan mandau yang sering kubawa ke tambang pasir kurebahkan Kepala Desa dihadapan penduduk yang berdemo. Dikejauhan nampak istri dan anak perempuanku tegar memandang tanganku yang berlumuran darah.

(2) TOSAN

kutundukkan kepala hingga menyentuh tanah yang berpasir dan kini berlumur darah sahabatmu, kucium rembesan air laut pada bentang hijau sawahmu hingga taklagi ada bulir padi menguning, kusapa setiap tatapan mata yang redup dalam dekapan ibu, kutangisi lahan tambang yang terus menggerus hutan adat persis di mata tangga rumahmu, kucari helai demi helai lembaran hati yang terbakar oleh rupa sendiri, kutadahkan doa bagi rindu yang mendesahkan nurani memeluk pertiwi, aku sendiri!

(3) SIDAK

rame-rame turun ke lokasi, ada yang cuma lihat genangan darah, ada yang berkoar nyaring hentikan perijinan, ada yang bersungut menuding kemiskinan rakyat, ada yang tergopoh-gopoh menutup dan mengangkut alat tambang, ada rombongan bus yang menjabat duka tangan rakyat, ada wakil rakyat dari komisi ini dan itu singgah lantas berkata 'sangat prihatin' sampai ada yang membuka lapak dadakan jualan singkong

Selok Awar Awar menjadi piramida dunia, di sudut desa itu banyak warga dan orang-orang berkerumun menonton yang rame-rame turun ke lokasi, mereka semua lancar dan fasih bercerita tentang kerugian negara, pertambangan legal dan illegal, perijinan dan pendapatan asli daerah hingga hitam putih kemiskinan rakyat - nyaris sederhana - sungguh bagai nabi yang turun ke bumi dengan sabda putihnya, tetapi begitu lama harap ditunggu hingga pasir merusak rasa cinta pada sesama.

Pantai Watu Pecak yang berpasir cokelat dan simpanan kekayaan alam berlimpah, kini menjadi potret kemiskinan yang mengukir sejarah hitam perjalanan kemanusiaan, benteng-benteng penjajah yang kokoh di sepanjang lintasan menjadi saksi pertumpahan darah dan sosok keserakahan pasir semeru, sementara ombak dan angin serta arus laut terus mengoyak pesisir hingga ke batas legenda dan seseorang lupa menulisnya.

banjarmasin 3/10/2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun