Sekolah di mana saya ditempatkan adalah lokasi yang berada di lingkungan masyarakat pinggiran, tepatnya di Kelurahan Alalak Kecamatan Banjarmasin Utara. Adat dan pergaulan masyarakat masih sangat terpelihara secara turun-temurun. Hal ini dapat dilihat dari cara berbicara, logat yang menandai sebuah komunitas khas, serta interaksi mereka dalam bekerja sama dan berprilaki hidup sesuai dengan budaya sungai masih menjadi bagian keseharian yang tidak terpisahkan. Namun, dalam beberapa tahun ini terjadi gejala yang bertentangan dengan adat dan kondisi masyarakat yang sudah tertata baik selama ini. Ada pengaruh media massa melalui tontonan televisi, serbuan warnet, hingga konsumsi obat terlarang yang mulai merambah anak-anak, khususnya usia remaja dan anak sekolah.
Masyarakat berharap banyak melalui jalur sekolah dapat mengurangi dampak yang mulai dirasakan merusak tatanan budaya keluarga dan interaksi sosial. Saya memperhatikan cara bicara anak yang kehilangan sopan santun berbahasa, ada pula tata krama pergaulan dengan teman sebaya yang tidak sehat, serta rasa hormat pada orangtua menjadi berkurang. Malah, nilai religiusitas dalam berdoa, berjabat tangan, dan mengucapkan salam sebagai prilaku sederhana yang harus dimiliki seorang anak hampir punah di tengah masyarakat.
Ada yang berasumsi bahwa pendidikan telah gagal membangun karakter karena ditemui sebagian besar lulusan sekolah belum tuntas menjawab soal ujian, memiliki pikiran cerdas, namun sikap mentalnya lemah, berjiwa penakut, dan perilakunya tidak terpuji.
Memang, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Warga sekolah seharusnya terlibat, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ekstra kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat sekitar yang menjadi orang tua murid dan pengurus Komite Sekolah.
Saya berpikir bahwa pendidikan karakter pada anak sekolah, khususnya pendidikan dasar sangat diperlukan dikarenakan saat ini sebagian besar masyarakat sedang mengalami krisis karakter dalam diri mereka. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, bepikir, bersikap dan bertindak dengan sumber asli yaitu adat dan budaya masyarakat setempat, berupa nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Kesempatan ini sepantasnya guru menempatkan diri dalam posisi yang strategis sebagai pelaku utama, karena guru merupakan teladan yang menjadi idola bagi anak didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi anak didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri anak didik, sehingga ucapan, kepribadian guru, dan prilaku keseharian guru selalu menjadi tauladan siswa. Artinya, guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Beberpa karakter yang selama ini diterapkan di sekolahku dalam upaya memberikan tauladan kesantunan dan akhlak , diantaranya berbaris ketika masuk dan pulan sekolah, memberi salam kepada guru ketika masuk dan keluar kelas, berdoa bersama dalam keadaan yang siap dan tenang, berjabat tangan ketika bertemu guru dan teman sepergaulan, bersikap diam dan sabar ketika mengikuti upacara bendera, serta berbicara perlahan ketika bercakap-cakap. Juga menjaga kesantuna berbahasa dengan mengucapkan kata 'maaf, tolong, terima kasih pada interaksi pergaulan. Saya berupaya setiap saat menerapkan karakter tersebut kepada anak didik dalam berbagai kesempatan di kelas. Malah, sekarang oleh Kepala Sekolah meminta untuk diterapkan pada seluruh peserta didik di sekolahku.
Inilah yang mungkin dimaksudkan arti penting pendidikan karakter di sekolahku sebagai tugas manusiawi dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural meliputi olah hati, olah pikir, dan olah pengetahuan yang pernah dipelajari sebagai salah satu pijakan mengembangkan potensi anak didik yang berakhlak mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H