Saatnya Para Pihak Pengadaan Barang/Jasa baik dari sisi Pemerintah maupun Penyedia untuk berbuat dan mendorong kesetaraan hukum Pengadaan Barang/Jasa diantara himpitan Hukum Administratif Keuangan Negara, Hukum Penindakan Korupsi dan Hukum lainnya.
Lemahnya posisi hukum menempatkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada posisi yang teramat menggiurkan untuk dieksploitasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Kepentingan Politik menempatkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai Sumber Dana pencapaian tujuan politik dan kekuasaan.
Kepentingan Prestasi Penegakan Hukum menempatkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai Indikator Pencapaian Kinerja Utama Penegakan Hukum sehingga jangan harapkan Kasus Pidana Pengadaan Barang/Jasa berkurang sampai kapanpun.
Kepentingan Persaingan Usaha menempatkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai obyek praktik pelanggaran persaingan usaha yang sehat.
Kepentingan prestasi administratif keuangan pemerintah menempatkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai target pencapaian Indikator Kinerja Utama Administratif Keuangan sehingga Status WTP tidak berpengaruh terhadap menurunnya Perilaku Koruptif dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Kepentingan Bisnis Media menempatkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai trigger utama dalam upaya meningkatkan rating media, pendapatan iklan, pendongkrak oplah sehingga sampai kapanpun tidak akan ada prestasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang akan diekspos.
Draft Undang-Undang Pengadaan Barang/Jasa telah dimasukkan dalam Prolegnas sejak tahun 2010 namun tidak ada niat baik dari para pengambil kebijakan untuk membahasnya. Baik Eksekutif maupun Legislatif untuk mewujudkannya dalam waktu segera. Draft UU PBJ tidak menggiurkan dari sisi apapun bagi mereka yang punya kepentingan buruk terhadap negeri ini.
Pengadaan Barang/Jasa dibiarkan dalam penguasaan Presiden sebagai pemimpin eksekutif tertinggi. Maka tidak mengherankan aturan Pengadaan Barang/Jasa sejak dulu hingga kini dikerdilkan hanya setingkat Peraturan Presiden (Perpres). Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang baik tidak dianggap sebagai kepentingan Pemerintahan sehingga tidak pantas menjadi Peraturan Pemerintah apalagi Undang-Undang. Lebih jauh dari itu, praktek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang baik dianggap tidak berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat Indonesia untuk itu UU PBJ tidak lebih penting dibanding urusan pelengkap lain.
Pengadaan Barang/Jasa tidak lebih penting dibanding persoalan Teknologi Informasi yang dilindungi dengan UU ITE. Sementara Teknologi Informasi disepakati sebagai salah satu alat bagi tercapainya transparansi proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Ketika modernisasi alat lebih penting daripada peningkatan kapabilitas dan integritas pengguna alat maka analogi sederhana yang terjadi adalah seperti balita memakai handphone canggih. Tidak penting si balita mengerti tentang hakikat berkomunikasi yang baik asalkan memegang handphone canggih, bermerek dan modern. Tidak penting pelaku pengadaan memiliki integritas, dewasa dan berkompeten yang penting pelelangan sudah elektronik itu sudah luar biasa. Betapa hebatnya negeri kita.
Pengadaan Barang/Jasa tidak lebih penting dari UU APBN yang disahkan setiap tahun. Sementara kita sadar dan terbukti Pengadaan Barang/Jasa adalah wilayah rawan Korupsi dan penyimpangan yang katanya menjadi salah satu sebab bocornya anggaran. Peningkatan kapabilitas dan integritas pelaksana APBN tidak lebih penting dari APBN itu sendiri. Ini sama dengan membiarkan APBN bocor setiap tahun tanpa upaya terbaik untuk menambal bahkan memperbaiki kualitas pelaksanaan APBN.
Pengadaan barang/jasa tidak lebih penting dari upaya penindakan yang dilindungi dengan UU Pidana Korupsi. Peningkatan kapabilitas dan integritas pelaksana tidak jauh lebih penting daripada upaya memenjarakan anak bangsanya. Pengadaan Barang/Jasa cukup hanya diatasi dan dibina oleh sebuah “Lembaga” dengan pelengkap aturan setingkat Perpres. Kemudian aturan teknis cukup sekedar Peraturan Kepala Lembaga. Lihat betapa pedulinya bangsa kita akan keselamatan, keamanan dan kesejahteraan aparatur pelaksana pembangunan. Jangan heran sampai kapanpun penjara tidak akan cukup untuk menampung anggota baru. Bencana moral yang pasti terjadi adalah “penjara” tidak lagi memalukan dan menakutkan. Karena keluar masuk penjara sudah menjadi bagian dari jalur nasib pelaksana pembangunan. Atau nanti tidak akan ada lagi yang mau menjadi pelaksana pembangunan. Karena lebih baik menjadi penikmat dibanding pelaksana toh pasti dipenjarakan.
UU PBJ mungkin bukan solusi ajaib yang dapat mewujudkan pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa datang. Namun UU PBJ adalah wujud keseriusan negara ini dalam membangun dan menyeimbangkan pilar manajemen pengelolaan pembangunan. Kesetaraan perlakuan antara unsur Planning, Organizing, Actuating dan Controlling adalah harga mati dalam upaya pencapaian visi kesejahteraan umum yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Inilah pendapat saya pribadi terhadap petisi didorongnya UU Undang Undang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Sektor Publik. Apabila anda sependapat mari dukung dan tandatangani petisi ini agar suara kita didengar.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim). Semoga menjadi manfaat dan berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H