Samsul Muarif ( S20194046 )
Indonesia merupakan negara agraris. Sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang begitu besar tentu negara ini menjadi ladang cuan bagi pemodal.
Sebagaimana kita perlu merefleksikan sejarah bagaimana kolonialisasi telah menjarah sebagian besar sumber daya alam nagara kita. Bila mana dulu para koloni dari negara-negara eropa menjarah rempah-rempah sebagai kepentingan negaranya dan hari ini koloni-bangsa yang tersentral dalam tubuh kekuasaan oligarki memilih pertambangan sebagai tendensius jarahan sebagai akumulasi surplus kapiltal maupun personalnya.
UU Minerba atau UU No 3 tahun 2020 yang telah di teken oleh presiden sekaligus telah di undangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada 10/06/2020 ini merupakan bagian politik hukum yang mengatur tentang pertambangan mineral dan batu bara dari hulu ke hilir hingga perizinannya. Dengan proses pembuatan kebijakan yang dinilai tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat terutama masyarakat rentan tentu menjadi pertanyaan besar akan untuk siapa kepentingan UU ini.
Kita semua tahu bahwa produk kebijakan negara atau politik hukum pada prinsip dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga
politik (politic Body). Lalu siapa saja orang-orang yang berpraktisi dalam lembaga politik tersebut? akan menjadi keharusan untuk kita mengetahui siapa nama-nama praktisi yang menempati lembaga politik, hal ini berguna untuk kita dapat membaca bagaimana kepentingan konfliknya.
Pada Rezim oligarki ini, siapa orang-orang yang menduduki wilayah strategis di tubuh kekuasaan sudah tidak lagi menjadi rahasia umum. Seperti contoh di wilayah eksekutif, ada presiden jokowidodo sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara yang secara keparlementeran bersetubuh dengan Luhut binsar panjaitan sebagai menteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi indonesia sekaligus pemegang saham PT Toba Bara Sejahtera yang bergerak di sektor pertambangan batu bara. Di wilayah legislatif ketua DPR RI ada Puan Maharani yang memiliki hubungan erat dengan suaminya Happy Hapsoro sebagai pemegang saham PT Rukun Raharja yang bergerak di sektor gas bumi dan masih banyak lagi para elit politik dan kekuasaan yang belum tersebutkan sesuai data yang diperoleh Koalisi masyarakat sipil yang mengatasnamakan #Bersihkanindonssia
Akibat dari suatu kebijakan yang dinilai banyak memuat konflik kepentingan ini, UU minerba dalam praktik nya justru tambah membebankan kesengsaraan terhadap masyarakat rentan. Kesengsaraan tersebut terakomodir dalam isi yang tertuang dalam UU minerba.
Salah satu pasal yang paling kontroversial yaitu pasal 162. Pasal 162 UU Minerba melarang setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Pasal ini dinilai telah membuka ruang kriminalisasi baru bagi para pejuang lingkungan dan dianggap berpotensi melemahkan perjuangan warga sekitar tambang dalam memperjuangkan ruang hidupnya. Setidaknya akibat implementasi pasal 162 ini telah berhasil menelan korban salah satu korban adalah Trio Alas buluh ( tiga pejuang lingkungan dari desa alas buluh Banyuwangi).
Trio alas buluh adalah julukan bagi pejuang lingkungan hidup Desa Alasbuluh Banyuwangi. Ahmad Busi’in, H. Sugianto, dan Abdullah (trio alasbuluh) dikriminalisasi akibat penghadangan truk transportasi tambang milik PT RNT (Rolas Nusantara Tambang). Aksi penghadangan tersebut didorong oleh keinginan untuk menyelamatkan desa dan tempat tinggalnya dari dampak buruk tambang galian C. Namun na'as, aksi penyelamatan ruang hidup tersebut berjung pada kriminalisasi yang menyebabkan penetapan hukuman pidana pada 15/04/2021 lalu, Jaksa menuntut mereka dengan pidana penjara masing-masing 6 bulan, dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
Salah satu kasus diatas merupakan preseden buruk akibat ejakulasi hasrat kapital yang telah menempatkan posisi rakyat sebagai korban. Padahal pasal 28H UUD NRI telah menjamin secara konstitusi bahwa warga negaranya memiliki hak untuk hidup yang bersih dan sehat.
Bila mana negara tetap menggunakan paradigma kapitalis dengan sifat antroposentrisnya dalam melihat kondisi sosio-ekologi masyarakatnya. Maka sudah seharusnya kita sebagai masyarakat harus mempertahankan segala ruang yang seharusnya telah menjadi hak kita.