SIAPA pun yang mendambakan nilai-nilai kejujuran dan sportivitas dalam sepak bola, pasti akan terpukul dan kecewa berat melihat proses lolosnya Perancis ke putaran final Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. "Les Bleus", tim terbaik kedua di Piala Dunia 2006, merebut tiket ke Afrika Selatan dengan cara yang curang. Mereka mencetak gol seperti bermain bola voli, yakni dengan melibatkan tangan, untuk menyingkirkan Irlandia dengan skor 1-1 dalam play off leg kedua di Stade de France, Saint-Denis, Perancis, Rabu (18/11) malam. Kita, di Indonesia, ikut menyaksikan kecurangan yang telanjang itu lewat tayangan langsung GLOBAL TV, menjelang Kamis pagi WIB. Perancis memasuki pertandingan itu berbekal modal kemenangan 1-0 pada leg pertama di Dublin (Irlandia), empat hari sebelumnya. Tim tuan rumah tinggal butuh minimal seri untuk lolos ke Piala Dunia. Namun, pertandingan tidak semudah yang mereka bayangkan, meski puluhan ribu suporter yang duduk rapi membentuk tulisan "ALLEZ LES BLUES" di belakang mereka. Menit ke-33, gawang Perancis jebol oleh sontekan striker Robbie Keane lewat skema menawan dari sisi kiri lapangan. Hingga 90 menit berjalan, skor 1-0 untuk Irlandia itu tidak berubah. Dalam posisi agregat 1-1, laga harus diperpanjang 2 x 15 menit (extra time). Di sinilah kecurangan itu terjadi. Tiga menit menjelang babak pertama extra time berakhir, bola hampir melewati garis belakang area permainan Irlandia. Striker dan kapten Perancis, Thierry Henry, mengontrol bola yang mau keluar lapangan itu dengan tangan kirinya. Hanya itu? Tidak. Ia kembali memainkan "bola voli"-nya dengan menggaet bola dengan tangan kirinya, dilanjutkan umpan ke depan gawang yang disambut sundulan William Gallas. Skor 1-1, Perancis menang agregat 2-1, dan lolos ke Piala Dunia. "Apakah kamu handball?" tanya Kevin Kilbane, bek kiri Irlandia, pada Henry. "Ya, tetapi saya tidak sengaja," jawab Henry. Percakapan singkat itu diceritakan Kilbane. Henry mengakui terus terang, dirinya handball. "Ya, itu handball, tetapi saya bukan wasit," kata penyerang Barcelona itu. "Saya berada di kotak penalti, ada dua bek di depan saya. Bola memantul ke tangan saya, tetapi wasit tidak melihatnya, dan saya pun meneruskan permainan." Apa kata wasit Martin Hansson (Swedia) yang memimpin laga? Seusai laga, Kilbane mempertanyakan insiden itu pada Hansson. "Apakah Anda melihat insiden itu?" tanya Kilbane. "Saya 100 persen bisa mengatakan, itu bukan handball," jawab Hansson. Wasit Swedia itu mungkin akan berubah pikiran jika menonton tayangan ulang insiden tersebut setibanya di rumah. Kecurangan, kebohongan atau kepura-puraan menyatu dalam satu laga di malam itu. Anak SD yang menonton tayangan insiden itu pasti akan mengatakan, itu jelas handball. Seluruh dunia mengecam kecurangan itu sebagai borok yang harus dikikis dari panggung sepak bola. Bahkan, orang Perancis pun ikut menanggung malu. "Saya tidak merasa sangat bangga lagi menjadi warga Perancis pagi ini," kata David Ginola, mantan pemain timnas Perancis kepada BBC Radio 5 Live, Kamis pagi harinya. (http://news.bbc.co.uk/sport2/ hi/football/8367913.stm) Persatuan Guru-Guru Olahraga di Perancis ikut mengecam dan menyatakan, insiden itu menjadi contoh buruk bagi anak-anak. Mereka mendesak agar Federasi Sepak Bola Perancis (FFF) mengutuk insiden kecurangan tersebut. Salah satu sasaran kecaman mereka adalah Raymond Domenech, Pelatih Perancis. "Untuk bisa masuk universitas, Anda butuh level A, tetapi Anda tidak perlu mendapatkannya dengan terhormat. Jika Anda punya level A, Anda bisa masuk. Itulah sikap kami," kata Domenech. Kata-kata yang maksudnya "menghalalkan segala cara untuk menang" itulah yang dikecam warga Perancis. "Kualifikasi yang tidak pantas diterima dan kecurangan," ujar Bixente Lizarazu, mantan bek timnas yang membawa Perancis juara dunia 1998, kepada Le Parisien. Asosiasi Sepak Bola Irlandia meminta FIFA agar laga tersebut diulang, seperti halnya dulu ketika ada kesalahan ofisial laga pada laga kualifikasi Piala Dunia 2006, Bahrain versus Uzbekistan. Henry pun setuju dengan opsi tanding ulang itu. Tetapi, FIFA menolak tawaran itu dengan alasan keputusan tanding ulang akan menjadi preseden tidak baik di masa depan bahwa setiap ada kesalahan perangkat pertandingan akan diikuti dengan permintaan tanding ulang. Seperti pada kasus "Tangan Tuhan" Maradona di Piala Dunia 1986, harus diakui bahwa dalam kasus ini, sepak bola bukan contoh yang baik untuk mengajarkan nilai kejujuran dan sportivitas.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H