PERTAMA, Portugal. Nomor dua, Spanyol. Yang ketiga, Korea Selatan, lalu China. Ini bukan otak-atik calon juara Piala Dunia 2010. Ini adalah daftar negara asal wartawan yang jadi korban perampokan dan kejahatan lainnya, dua-tiga hari sebelum turnamen mulai. Akankah daftar itu bakal terus bertambah panjang? Pertanyaan tersebut kini menghantui ribuan pekerja media yang datang ke Afrika Selatan untuk meliput Piala Dunia 2010. Bukan hanya menimpa mereka, tindak kriminal itu bahkan telah merambah pemain. Tiga pemain Yunani, yang seharusnya masuk ring satu pengamanan aparat, juga jadi korban pencurian. Tentu, bukan melebih-lebihkan jika media mengangkat isu kriminal di antara menu liputan Piala Dunia 2010. Sejak ditunjuk Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, tak terhitung isu kriminal diangkat media. Namun, FIFA dan pemerintah Afrika Selatan lebih memosisikan "membela diri" dan terkesan menganggap remeh persoalan itu. Presiden FIFA Sepp Blatter --yang kini punya kesibukan baru dengan akun twitter-nya-- baru tersadar hal itu saat terjadi kerusuhan suporter pada uji coba Nigeria versus Korea Utara, awal pekan ini. Kesan meremehkan itu terlihat dari betapa longgar pengamanan mereka. Di berbagai sudut kota Johannesburg, hampir tidak terlihat batang-hidung aparat keamanan. Persoalan keamanan kehidupan kota bisnis paling sibuk di Afrika itu seolah diserahkan kepada masing-masing warganya. Seperti berlaku hukum rimba: siapa kuat, dialah yang bertahan. [caption id="attachment_164945" align="alignright" width="410" caption="Sejumlah tentara menyaksikan para penari yang sedang menggelar geladi bersih atraksi seni untuk upacara pembukaan Piala Dunia 2010 di Stadion Soccer City, Johannesburg, Afrika Selatan, Rabu (9/6). (Foto oleh MH SAMSUL HADI)"][/caption] FIFA dan panitia setempat pernah menyebutkan, sebanyak 40.000 petugas keamanan, pasukan Interpol, dan agen-agen rahasia asing dikerahkan untuk mengamankan Piala Dunia 2010. Tetapi, di mana mereka semua? Wajarlah, jika situasi ini menjadi lahan empuk bagi para kriminal beraksi. Bukan di jalanan atau tempat keramaian mereka beraksi, tetapi di hotel-hotel! Dua wartawan Portugal dan Spanyol dirampok di bawah todongan senjata saat istirahat di hotel mereka, tak jauh dari Magaliesburg (Johannesburg utara) tempat latihan tim Spanyol dan Portugal. Tiga pemain Yunani kehilangan uang karena dicuri di hotel tim mereka, daerah suburban Durban utara. Tidak ketinggalan, wartawan China dan Korea Selatan juga korban longgarnya keamanan Afrika Selatan. Setiap kali ditanya seputar isu-isu keamanan itu, panitia dan ofisial FIFA terlihat kurang nyaman. "Kasus jurnalis Spanyol dan Portugal, mereka tinggal di bukan hotel resmi FIFA. Insiden jurnalis China terjadi di jalan. Anda tentu tahu, apa saja bisa terjadi di jalan," kata Wolfgang Eichler, Bagian Media FIFA. Sulit dipahami Semua paham, kejahatan bisa terjadi di mana-mana. Yang sulit dipahami dari Afrika Selatan adalah, mengapa tidak terlihat langkah-langkah nyata untuk mencegahnya. Apalagi, ini di tengah hajatan akbar Piala Dunia. Selain tidak terlihat aparat keamanan di tempat-tempat publik, di banyak hotel juga tak ada pemeriksaan bagi tamu. Di Hotel Garden Court Milpark, salah satu hotel resmi FIFA tempat saya menginap, semua tamu dan orang asing bebas keluar-masuk. Ada pengumuman di pintu masuk bahwa "pintu akan dikunci mulai mulai pukul 23.00", tetapi kenyataannya itu hanya aturan di atas kertas. "Anda harus ingat, masalah keamanan di negeri ini agak rumit dan kadang tidak masuk akal. Anda ingat, beberapa hari lalu seorang polisi ditembak pria bersenjata di dekat kantor polisi," ujar petugas bagian transportasi media di Soccer City. Longgarnya pengamanan juga terlihat di Stadion Soccer City, Johannesburg, tempat upacara dan laga pembuka Piala Dunia digelar. Pengunjung berakreditasi bisa leluasa datang-pergi mendekati lapangan stadion. Longgarnya pengamanan itu di satu sisi mungkin membuat semuanya lebih simpel. Di samping juga, tidak ada kesan angker atau situasi gawat selama Piala Dunia berlangsug. Wartawan, relawan, atau panitia, tidak perlu repot-repot diperiksa petugas. Akan tetapi, di sisi lain hal itu telah mengorbankan keamanan. Ada kejadian menggelikan di Stadion Soccer City, beberapa jam menjelang upacara pembukaan, Jumat kemarin. Entah karena alasan apa, petugas jaga di gerbang masuk Media Center menutup rapat-rapat pagar besi lebih dari dua meter. Sementara di luar, antrean wartawan yang sebagian sedang dikejar deadline kian panjang mengular ke belakang, bahkan ada yang mau mendobrak pagar kawat pembatas. Gerbang itu baru dibuka setelah seorang relawan datang tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa "hanya pemegang akreditasi media yang boleh lewat gerbang ini". Semua yang mengantre terbengong dan ada yang menyeletuk, "Apakah dari tadi mereka tidak melihat akreditasi kami?" Begitulah salah satu potret penyelenggaraan Piala Dunia pertama di Afrika. Awalnya terasa ingin dibuat simpel, tidak birokratis, dan tidak terkesan gawat, tetapi di sisi lain terlihat menggelikan pada hal-hal elementer. Mengingat Piala Dunia ini pertama di Afrika, tidak realistis juga menuntut kesempurnaan atau standar seperti turnamen-turnamen sebelumnya. Mungkinkan ini bagian pembuka dari rentetan kejutan yang bakal terjadi selama sebulan ke depan? Kita tunggu, sambil menekan perasaan harap-harap cemas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H