Mohon tunggu...
Mh Samsul Hadi
Mh Samsul Hadi Mohon Tunggu... profesional -

Bergabung “Kompas” pada 2002, tiga tahun setelah memulai petualangan di ranah sepak bola. Meliput antara lain Piala Asia 2000 Lebanon; Asian Games 2006 Doha, Qatar; Piala Eropa 2008 Austria-Swiss; Piala Konfederasi 2009 Afrika Selatan; Piala Dunia 2010 Afrika Selatan; Piala Eropa 2012 Polandia-Ukraina. Sejak April 2014, bertugas di Desk Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Wajah Paradoks Johannesburg: Rawan di Jalan, Tetapi Nyaman

19 Juni 2010   17:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jangan berjalan sendirian di ruas jalan Johannesburg, apalagi di malam hari. Begitu pesan yang sering diterima warga asing di kota Afrika Selatan itu. Ini negeri yang tercatat dalam berbagai laporan media menjadi tempat terbunuhnya rata-rata 50 korban per hari. Mengerikan! Namun, bagi yang belum pernah datang ke Afrika Selatan, mungkin agak sulit menerima logika ini. Di balik ruas jalan-jalan Johannesburg yang rawan tindak kriminal, ternyata ada peradaban mulia yang bisa diteladani warga Jakarta atau kota-kota lainnya di Indonesia. Mulai dari tertib berkendaraan, tiadanya pedagang-pedagang kaki lima dan anak-anak jalanan, hingga kebijakan pemerintah setempat yang tidak memungut ongkos penggunaan jalan tol.

[caption id="attachment_171857" align="alignright" width="300" caption="Salah satu ruas jalan di Johannesburg, Afrika Selatan. Selain relatif bersih, jalan-jalan di kota ini punya trotoar yang bebas dari pedagang kaki lima. (Foto diambil Mh Samsul Hadi)"][/caption]

Meski ada perasaan was-was dan khawatir setiap kali melintasi berbagai ruas jalan di Johannesburg, tidak bisa dipungkiri juga terselip rasa nyaman . Pada jam-jam padat di pagi atau sore hari, seperti halnya Jakarta, kota berpenduduk 3,2 juta jiwa itu tak luput dari kemacetan. Antrean kendaraan roda empat terlihat di sana-sini.

Satu hal yang membedakan Johannesburg dari Jakarta. Jika pengendara Jakarta terlihat sering tidak sabar, serobot sana-serobot sini, memencet klakson sebebas-bebasnya, dan tidak tabu melanggar lampu lalu lintas; tidak demikian halnya dengan pengguna jalan di Johannesburg. Mereka terlihat selalu tertib saat melintasi jalan, di jalan utama maupun jalan kecil. Kendaraan berbaris rapi, seusai garis marka yang ada. Kalau pun toh mau pindah jalur, mereka jarang menyerobot kendaraan lain, dan selalu menyalakan lampu sinyal. Di perempatan, mereka juga menempati jalur yang seharusnya. Andaisaja kota ini tidak rawan kriminal, hampir tidak jauh berbeda dari Singapura. Ketika terjebak kemacetan panjang, mereka selalu tertib mengantre dan sangat jarang membunyikan klakson. Belum pernah terdengar sahut-sahutan bunyi klakson di tengah kemacetan kota ini. Begitu juga, jarang terlihat pengguna kendaraan menyalakan sorot lampu peringatan (dim). Semua seperti sudah maklum, masalah kemacetan seperti itu harus dihadapi bersama, tanpa ingin menang sendiri. "Kita mungkin bisa dikenali sebagai bukan warga Johannesburg dengan cara berkemudi seperti ini," kelakar rekan sesama wartawan Indonesia saat ngebut mengemudi ke Randburg, tempat latihan tim Brasil. Tertib di zona berbahaya Pemandangan tertib berlalu lintas itu tidak hanya terlihat di kawasan ekspastriat seperti Sandton atau Randburg, tetapi juga di kawasan zona berbahaya semacam Hillbrow, Alexandra, Bramfontein, atau sekitar Stadion Ellis Park. Di kawasan berbahaya ini, suasana memang terlihat agak rusuh, sedikit kotor, dan riuh orang lalu-lalang. Akan tetapi, untuk urusan berkendaraan dan berlalu-lintas, mereka jempolan. Mobil selalu parkir pada tempatnya. Satu-dua berkeliaran "Pak Ogah" dan peminta-minta di perempatan atau beberapa orang nongkrong di trotoar, tetapi tidak satu pun yang memanfaatkan anak-anak. Dan satu hal lagi -ini mungkin yang membuat kita iri-- bisa dibilang tidak ada pedagang kaki lima (PKL) di trotoar-trotoar jalan, seperti yang menjamur di kota-kota besar Tanah Air. Sejauh ini, hanya dua PKL yang saya temui sejak berada di Johannesburg, 8 Juni lalu. Andaisaja tidak rawan kejahatan, trotoar-trotoar itu bisa menjadi surga bagi pejalan kaki. Lalu, dari mana orang-orang miskin Johannesburg mendapatkan penghasilan untuk hidup sehari-hari? "Sebagian dari mereka menjual obat-obatan terlarang," ujar salah seorang sopir bus antar-jemput media peliput Piala Dunia 2010. Johannesburg, salah satu dari 40 kota metropolitan terbesar di dunia, sering dijadikan tempat pelarian warga Zimbabwe, Nigeria, dan Mozambik yang diimpit kesulitan ekonomi. Terlepas bahwa itu sisi hitam kehidupan kota ini, warga Johannesburg mempunyai tradisi dan budaya berlalu-lintas tertib, yang dalam satu hal jadi cermin peradaban mereka di jalan. Mengapa mereka bisa seperti itu? Kenyataan yang tidak bisa diingkari, tidak ada pengendara sepeda motor di Johannesburg, tidak ada ojek, becak, atau bajay. Ada satu-dua pengendara motor melintas, tetapi sangat jarang. Warga miskin kota ini biasa bepergian dengan angkutan umum seperti bus "Rea Vaya" yang punya jalur khusus seperti busway, bus umum, kereta "Metrorail", dan angkot. Sayang, berbagai jenis angkutan umum itu tidak aman bagi pendatang atau turis. Kebijakan pemerintah Belum lama ini, beberapa menjelang Piala Dunia 2010, pemerintah setempat meluncurkan jenis angkutan baru, yakni kereta "Gautrain" untuk melayani penumpang dari Bandara Internasional OR Tambo ke Sandton. Semula, angkutan sejenis MRT itu dirancang juga untuk menghubungkan Johannesburg-Pretoria, tetapi belum selesai hingga Piala Dunia dimulai. Mereka memilih kereta karena tak ingin menambah padat lalu lintas dalam kota. Bukan itu saja, Pemerintah Kota Johannesburg juga tidak memungut biaya bagi pengguna jalan tol. Begitu pengendara masuk jalan tol, bisa.... wuessss tanpa harus mengantre di pintu-pintu gerbang tol. Tak bisa dipungkiri, di tengah suasana rawan kejahatan, jalan-jalan di Johannesburg menyimpan peradaban tersendiri.* -------------- * Tulisan ini pernah dimuat di Harian "Kompas", 13 Juni 2010, berjudul "Masih Ada Peradaban di Jalanan" dengan sedikit perubahan editorial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun