Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi juga semakin berkembang, berbagai penelitian disegala aspek terus bermunculan. Salah satunya ialah penelitian dalam bidang pendidikan. Belakangan ini banyak pro dan kontra terkait budaya belajar sekolah di Indonesia, di mana guru selalu memberikan pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan oleh siswa dan terkadang PR tersebut diberi tenggat waktu pengumpulan yang sebentar atau bahkan PR yang diberikan tidak sesuai dengan kapasitas kemampuan anak, sehingga orang tua pun bukan hanya membantu untuk mengerjakan tugas anak, tetapi justru orang tua lah yang mengerjakan tugas anak tersebut. Sehingga kemampuan anak tetaplah tidak terasah secara akademik.
Profesor psikologi dari Duke University Harris Cooper, juga menegaskan bahwa PR yang terlalu membebani siswa tidak berkaitan dengan pencapaian nilai akademik yang lebih tinggi. Ia menekankan bahwa jumlah PR yang ideal untuk anak adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan kapasitasnya. Misalnya siswa yang lebih muda (sekolah dasar) harus mendapat PR yang lebih sedikit ketimbang yang lebih tua (sekolah menengah).
Namun karena adanya pemberian PR diluar kapasitas kemampuan anak, maka timbullah kekeliruan dalam mengerjakan tugas tersebut, dimana seolah aspek utama yang dicari bukanlah kemampuan siswa seutuhnya dalam belajar namun bagaimana upaya yang dilakukan orang tua agar anak mendapatkan nilai yang bagus. Sebab tidak sedikit pula orang tua menuntut anaknya agar dapat terus berprestasi, bahkan melakukan segala cara yang pada akhirnya membuat anak merasa tertekan. Perasaan tertekan itulah yang juga dapat memicu munculnya masalah kesehatan bagi anak.
Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Experimental Education atas penelitian dari para peneliti Stanford Graduate School of Education menemukan sebuah fakta bahwa siswa yang mendapatkan PR terlalu banyak lebih mungkin mengalami stres, masalah kesehatan fisik karena kurang tidur, dan merasa terasing dari kehidupan sosialnya. Di mana penelitian yang dilakukan pada 4.317 siswa dari 10 sekolah menengah ke atas di California ini menunjukkan bahwa 56% siswa menilai PR merupakan sumber utama stres mereka. Serta mereka kehilangan waktu untuk melakukan kegiatan lain, salah satunya aktivitas sosial.
Selain itu, studi yang dilakukan Gerald LeTendre juga menemukan sebuah fakta bahwa beban yang terlalu banyak dari pekerjaan rumah bisa membuat anak kecewa dengan sekolah serta kehilangan motivasi untuk belajar. Bagi anak yang memiliki masalah dengan prestasi akademiknya, memberi terlalu banyak PR bisa membuat nilainya semakin merosot.
Tetapi, tetaplah ada sisi positif dan negatif dari kebijakan seorang guru untuk memberikan PR kepada siswa. Dosen Psikologi Universitas Brawijaya (UB) Ari Pratiwi mengatakan bahwa sisi positif apabila sisa tidak diberikan PR oleh guru, maka siswa memiliki waktu lebih untuk mengeksplorasi dunianya seperti apa yang dia minati dan siswa akan jauh dari rasa tertekan saat di rumah, serta tidak terbebani dengan urusan di sekolah saat pulang ke rumah.
Namun sisi negatifnya adalah terdapat beberapa siswa yang apabila dilihat dari segi kemampuan memahami pembelajaran memang memerlukan latihan lewat PR. Serta apabila terdapat kebinaka  dihapusnya PR dari sekolah pun bisa menambah waktu bagi anak-anak yang punya interaksi tinggi dengan gadget.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H