Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Tulisan untuk Mempertahankan Tradisi dan Bahasa Muna

13 Juni 2023   04:35 Diperbarui: 13 Juni 2023   04:46 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Kabupaten Muna via .wikipedia.org

Menurut hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik, di tahun 2010, Indonesia memiliki 2.500 jenis bahasa daerah, termasuk dialek dan sub dialek (BPS, 2010). Keberagaman bahasa daerah tersebut bisa kita tanggapi sebagai suatu hal yang membanggakan, di satu sisi keberagaman tersebut juga dapat menjadi tantangan yang besar untuk mempertahankanya.. Temuan dari UNESCO dikatakan bahwa terdapat 154 bahasa daerah, termasuk bahasa Muna, penuturnya mengalami penurunan yang sangat drastis dan 15 bahasa daerah benar-benar telah mati (Moseley, 2011). Selain itu, Kemendikbud menemukan bahwa dari rentang tahun 2011-2019, 11 bahasa daerah telah punah dan 25 lainya terancam menyusul punah (CNN Indonesia, 2020).

Kekhawatiran utama dari hilangnya bahasa daerah bukan hanya persolan ada dan tidaknya suatu bahasa daerah. Lebih dari itu, pentingnya bahasa daerah merupakan sebuah instrumen vital untuk mempertahankan kearifan lokal.. Hilangnya bahasa daerah, berarti sama halnya dengan hilangnya catatan sejarah manusia yang tak ternilai dan berharga di mana kearifan lokal diajarkan dan dipelajari secara turun temurun. Melihat realita yang ada di daerah penulis, Kabupaten Muna, penulis melihat ada hubungan antara bahasa daerah dan lunturnya kearifan lokal. Misalnya dalam hal perladangan, masyarakat Muna memiliki kearifan lokal berupa ritual kaago-ago, artinya berbagai jenis pengobatan (Suryaningsih, 2015).

Kata pengobatan ditujukan pada ladang yang sudah tidak dipakai lagi, sebelum warga ingin membuka lahan perkebunan baru maka dia memiliki kewajiban untuk memperbaiki lahan yang sebelumnya dengan cara menanam tanaman keras dan berdaun lebat agar
kelestarianya terjaga. Jika ritual ini tidak dilakukan, masyrakat Muna di masa dulu percaya bahwa makhluk gaib akan marah dan nasib sial akan menghampiri petani yang tidak menanami kembali ladang yang sudah ditinggalkan (Suryaningsih, 2017). Naas, jika saat ini kita bertanya pada generasi muda suku Muna, sebagain besar tidak tahu-menahu dengan istilah kaago-ago. Menurut penulis, ketidaktahuan generasi muda ini di dorong oleh dua faktor utama. Pertama, pemamaham terhadap bahasa Muna yang semakin rendah. Variabel pemahaman terhadap bahasa daerah penting karena seluruh proses dalam ritual kaago-ago menggunakan bahasa Muna. Kedua, saat ini belum ada buku atau rujukan literasi yang berisi panduan untuk melakukan ritual kaago-ago.

Ketidakadaan rujukan literasi ini menurut penulis disebakan oleh tradisi lisan yang kuat dalam masyarakat Muna, sehingga proses untuk mempertahankan kearifan lokal dilakukan secara oral. Upaya-upaya untuk mempertahankan kearifan lokal sebenarnya sudah ada, seperti adanya mata pelajaran muatan lokal dalam kurikulum pendidikan. Akan tetapi, dalam praktiknya di Kabupten Muna, penulis melihat bahwa sejauh ini efektivitasnya terhadap pelestarian bahasa daerah masih sangat minim. Bagaimana tidak, di kelas pun, pengantar pelajaran tidak dilakukan dalam bahasa daerah dan lebih mirisnya lagi terkadang yang menjadi pengajar adalah honorer dari keluarga kepala sekolah yang tidak memilki latar belakang pendidikan di bidang muatan lokal. Buku yang digunakan pun bukan dalam bahasa daerah. Dengan alasan ini, penulis merasa perlu adanya upaya baru untuk mempertahankan keberadaan bahasa daerah yang terancam punah. Tesis dari Rusel Bernad, profesor di University of Florida mengatakan bahwa "jika bahasa daerah dan kearifan lisan tidak mengembangkan tradisi tulisan maka kebanyakan dari bahasa dan kearifan lokal tersebut akan segera mati" (Bernard, 1997). Dari tesis ini, penulis kemudian mengemukakan ide mengenai perlunya penulis dan lembaga penerbit yang mempublikasikan karya tulis masyarakat dalam bahasa Muna sebagai pemicu munculnya tradisi tulisan dalam masyarakat Muna sekaligus sebagai rujukan bagi generasi dalam mencari literatur mengenai kearifan lokal.

Langkah pertama untuk mewujudkan ide diatas bisa dimulai melahirkan penulis lokal dengan melibatkan ahli bahasa ataupun orang tua kampung yang masih fasih berbahasa Muna. Untuk melahirkan penulis lokal, Ahli bahasa dapat menjalankan program revitalisasi
bahasa. Dalam program ini, peran dari ahli bahasa adalah melakukan penyusunan dan transfer pengetahuan mengenai ilmu bahasa dalam dua hierarki, yakni tata bahasa dan kamus. Penyusunan tata bahasa dimaksudkan agar calon penulis lokal memahami seperangkat aturan yang baik dalam menyusun tulisan dalam bahasa Muna. Sedangkan penyusunan kamus
berfungsi sebagai alat yang membantu calon penulis lokal untuk mengenal kata-kata dalam bahasa Muna beserta maknanya.
Tujuan utama dari transfer ilmu dari ahli bahasa daerah diatas adalah menciptkan bibit untuk ditanami pada penerbit. Penulis ingin menperjelas bahwa penulis sedang berbicara tentang penerbitan nyata dari buku-buku yang dijual di pasar walaupun mungkin skala
pembacanya hanya sebatas pada suku Muna. Dan penulis ingin memperjelas bahwa pendidikan bilingual dan mengajar orang untuk menulis bahasa daerah yang sebelumnya tidak tertulis bukanlah solusi dengan sendirinya, tetap perlu sebuah wadah resmi bagi penulis generasi muda untuk menungkan ide dan gagasanya. 

Penulis menggunakan istilah "penulis generasi muda" karena banyak bahasa di dunia telah ditulis, seringkali oleh ahli bahasa, kadang-kadang bahkan oleh penutur asli, tetapi tanpa mengembangkannya pada generasi muda pada akhirnya bahasa dan tulisan tersebut akan mati dimakan waktu (Bernard, 1997). Bahasa Tuvalu misalnya, dulunya dituturkan oleh sekitar 9000 orang Tuvalu, di Pasifik Selatan. Hampir semua penutur Tuvalu melek huruf, tetapi praktis tidak ada literatur tertulis yang tersedia, akibatnya saat ini bahasanya sudah terancam punah. Besmier (1991) mempelajari bagaimana penduduk Nukulaelae Atoll menggunakan keterampilan menulis mereka dan menemukan bahwa kebanyakan orang di sana memiliki indeks literasi yang baik karena menulis surat satu sama lain dan beberapa orang menulis khotbah untuk disampaikan di gereja. Kasus ini sangat linear dengan ide penulis, dimana perlunya tradisi tulisan dalam bahasa daerah yang bisa berbentuk penerbitan buku.

Penerbitan buku bahasa daerah Muna akan menawarkan masyarakat kesempatan untuk belajar tentang budaya asli dan kearifan lokal secara langsung. Memang ide ini terkesan seperti komoditisasi bahasa Muna itu sendiri. Beberapa orang mungkin tidak nyaman dengan pendekatan komersialisme ini. Namun menurut penulis, semakin cepat bahasa dan budaya asli menjadi komoditas yang dapat dijual, semakin besar peluangnya mereka tidak menghilang. Terakhir bagian terpenting dari perlunya lembaga penerbit karya tulis adalah selain meningkatkan literasi dan konservasi bahasa Muna, juga dapat menjadi motivasi masyarakat untuk berpatisipasi melalui insentif yang diberikan ketika tulisanya dimuat atau dipublikasi. Kemudian pada akhirnya ketika seorang penulis memperoleh insentif dari tulisanya, motivasi untuk menulis akan terus tumbuh. Tentunya dalam keseharian kita, tidak dapat dimunafikan bahwa dorongan ekonomi seringkali menjadi faktor pendorong dalam melakukan sebuah pekerjaan.

Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa saat ini nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat Muna kian terkikis oleh zaman. Kritisnya kearifan lokal tersebut disebabkan oleh semakin sedikitinya penutur usia muda dalam bahasa Muna. Ketidaktersediaan rujukan literatur turut mendorong ketidaktahuan masyarakat terhadap kearifan lokal Muna. Melalui peningkatan tradisi tulisan diharapkan mampu mempertahankan bahasa Muna sekaligus kearifan lokalnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun