Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dalih Pembunuhan Massal Orde Baru

29 September 2022   23:13 Diperbarui: 30 September 2022   01:15 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

John Rossa kemudia menagatakan "Saya tidak puas dengan kedua poin jawaban itu". Poin pertama, persidangan-persidangan Mahmilub tidak membuktikan bahwa PKI mendalangi G-30-S. Kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi merupakan timbunan ketidakajegan. Para penuntut tidak mengajukan bukti-bukti tandas kesalahan "PKI" dan para hakim tidak membutuhkannya; mereka memulai prosiding peradilan dengan kepercayaan (yang telah dipropagandakan Angkatan Darat) bahwa "PKI" bersalah.

Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia saat mengulas beberapa berkas rekaman persidangan Mahmilub pada awal 1970-an, mengatakan bahwa  orang dapat dengan mudah menyimpulkan dari berkas-berkas tersebut bahwa sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas memimpin G-30-S dan mengajak beberapa pimpinan PKI untuk membantu mereka.

Poin kedua jawaban Lemhanas sama mudah disangkal. Tuduhannya adalah bahwa seluruh tiga juta anggota partai mengetahui tentang G-30-S sebelumnya dan bersalah karena pengabaian ("tidak melaporkan pada penguasa"). Tuduhan ini tidak mungkin benar: saluran-saluran informasi di dalam partai tidak sedemikian ketat sehingga tiga juta orang dapat mengetahui sesuatu yang orang lain, termasuk agen-agen intelijen kunci di dalam Angkatan Darat, tidak tahu.

Selain bersalah karena pengabaian, mereka bersalah karena keterkaitan; sebagai anggota partai, mereka bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil para pimpinan ("keputusan pimpinan partai mengikat seluruh anggota"). Itulah prinsip kesalahan kolektif -- sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua negara di dunia berdasarkan rule of law.

Masih menggunakan referensi dari buku John Rossa, bahwa pelimpahan kesalahan kepada masyarakat dengan rangkaian kejadian yang sama sekali tidak terikat adalah kesalahan besar. Sebab, jika dilihat secara menyeluruh, menurut Rossa, G-30-S tampak sebagai sosok aneh yang tidak masuk akal. Tidak ada pola yang jelas, bahkan jika kita susun berurutan rangkaian kejadian-kejadian yang sudah disepakati umum  yang dapat kita anggap sebagai fakta sekalipun. G-30-S tidak dapat digolongkan sebagai pemberontakan pasukan militer, percobaan kudeta, atau pemberontakan sosial.

Jika bagi Presiden Sukarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai "riak kecil di tengah samudra besar Revolusi [nasional Indonesia]," sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Suharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno.

Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Walaupun aksi-aksi pada 1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan berskala kecil dan terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh kalangan sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis.

Dalam catatan resmi dinyatakan bahwa "penumpasan PKI" telah dilakukan melalui tindakan administratif dan tanpa pertumpahan darah; orang yang dicurigai ditangkap, diperiksa untuk memastikan bersalah atau tidak, lalu dibagi dalam tiga golongan (A, B, dan C) sesuai tingkat keterlibatan masing-masing di dalam G-30-S, lalu dipenjarakan.

Namun sayangnya, realitan tidak tanpa pertumpahan darah. Banyak temuan di daerah telah terjadi pembunuhan secara masal, baik dilakukan oleh tentara maupun sesama masyarakat. Rezim orde baru ketika ditanya mengenai kematian massal di daerah mengatakan "Ribuan korban djatuh didaerah2 karena rakjat bertindak sendiri2, djuga karena prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun2 ditanamkan oleh praktek2 politik jang sangat sempit."

Seperti dikatakan Robert Cribb, pembunuhan yang terjadi "dipandang seolah-olah tergolong dalam kategori tak lazim kematian massal akibat 'kecelakaan'. Para juru bicara militer dengan sopan meyakinkan para wartawan bahwa pembunuhan apa pun yang terjadi adalah akibat kemarahan rakyat yang tak terkendali, bukan pembantaian yang diatur tentara.

Dari kisah-kisah semacam ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah. Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan secara kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun