Kata korupsi berasal dari bahasa Latin: “corruptio” atau “corruptus”. Kata korupsi secara harafiah berarti kebusukan, keburukan, keburukan, ketidakjujuran, penyuapan, maksiat, perilaku kotor. WS Poerwadarminta (1976) menjelaskan bahwa kata korupsi mempunyai arti: kejahatan, kebusukan, korup, tidak bermoral, perbuatan buruk dan perilaku tidak jujur. Ali (1993) melihat perilaku korupsi sebagai perilaku busuk, suka menerima uang suap, penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan dirinya sendiri. Dengan demikian, kata korupsi erat kaitannya dengan perbuatan buruk, buruk, dan amoral yang dilakukan seseorang. Dari segi hukum, suatu perbuatan buruk dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila memenuhi ciri-ciri tertentu, antara lain: berlawanan dengan hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan sarana umum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi tertentu.
adapun beberapa teori tentang penyebab terjadinya korupsi
1. Teori Jack Bologne
Jack Bologne mengatakan akar dari kasus korupsi disebabkan oleh keserakahan dan ketamaan. Ia menjelaskan isi teori ini menggunakan akronim "GONE": Greedy (G), Opportunity (O), Needs (N) dan Expose (E). Jika keempat variabel tersebut dipadukan maka hal ini akan membuat seseorang dengan gampang mengerjakan tindak pidana korupsi menjadi lebih mudah. Keserakahan, yang didukung oleh peluang yang sangat besar dan diperkuat oleh kebutuhan, mendorong manusia untuk melakukan korupsi. Keinginan melakukan korupsi juga diperkuat dengan kondisi hukum yang jelas yang memberikan hukuman yang terlalu ringan kepada koruptor, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Teori ini nampaknya sangat cocok untuk menggambarkan situasi korupsi di Indonesia saat ini. Umumnya korupsi terjadi melalui empat variabel tersebut. Kebutuhan manusia akan korupsi dan keserakahan dipicu oleh peluang yang diperoleh manusia sebagai pejabat yang menduduki suatu jabatan atau jabatan di suatu tempat atau lingkungan kerja. Jabatan dan gelar tersebut membuka peluang seseorang untuk melakukan korupsi. Kemungkinan ini didukung oleh jeratan hukum pidana yang tidak sebanding dengan besarnya keuntungan yang diperoleh dari tindakan korupsi, dan perilaku aparat penegak hukum yang mudah bisa disuap untuk meminimalisir hukuman. yang diberikan kepada pelaku korupsi (Ola Rongan Wilhelmus, 2017) .
2. Teori Klitgaard
Menurut teori Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan
(monopoly of Power) ditambah dengan besaran kekuasaan (discretion of official) dan tanpa adanya pengawasan yang memadai (minus accountability) maka hal tersebut menjadi pendorong terjadinya korupsi. Perubahan sistem pemerintahan dari otonomi terpusat menjadi otonomi daerah sudah mengubah praktik korupsi yang tadinya hanya dikuasai oleh pemerintah pusat (saat itu kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat), kini sudah meluas hingga ke daerah-daerah. (karena otonomi daerah sudah memberikan kekuasaan kepada pemimpin daerah). Hal ini sejalan dengan teori Klitgaard yang menyatakan korupsi mengikuti kekuasaan.
3. Teori Vroom
Menurut teori Vroom, terdapat hubungan antara kinerja seseorang dengan kemampuan dan motivasinya. Menurut teori Vroom, efektifitas (performance) seseorang bergantung pada kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Kemampuan seseorang ditunjukkan oleh kompetensi (skill) dan tingkat pendidikan (knowledge). Oleh karena itu, pada tingkat motivasi yang sama, seseorang dengan keterampilan dan pengetahuan yang lebih tinggi akan berkinerja lebih baik. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa variabel M (motivasi) adalah tetap. Namun Vroom juga menciptakan fungsi motivasi, yaitu motivasi seseorang dipengaruhi oleh harapan (expection) orang tersebut dan nilai (value) yang terkandung dalam kepribadiannya. Jika harapan seseorang adalah menjadi kaya, ia mempunyai dua pilihan. Jika nilai-nilainya positif, dia akan melakukan hal-hal yang tidak melanggarnya (Bambang Waluyo, 2014).
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
1. Perilaku Individu
Dari sudut pandang pelaku korupsi, karena koruptor mengerjakan perbuatan korupsi, maka hal itu dapat berupa dorongan dari internal berupa keinginan atau tujuan, dan ia melakukannya dengan penuh kesadaran, antara lain, karena keserakahan manusia, gaya hidup konsumeris. , kurang beragama, lemahnya akhlak dalam menghadapi godaan korupsi, dan kurang beretika sebagai pejabat. berdasarkan Undang-Undang No. 20 2001 jo Menurut Pasal 31 Tahun 1999, korupsi dilakukan karena dipaksakan karena tidak memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan, sehingga korupsi menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhannya. Pada saat yang sama, sangat tidak masuk akal jika pejabat negara tidak punya uang, karena kenyataannya pemerintah dibayar oleh negara dengan nilai yang cukup tinggi. Alasan sebenarnya adalah kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap gaji didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang puas terhadap gajinya jika persepsinya terhadap gaji dan sudut pandangnya sesuai.