Fajar 1973 menandai perubahan warna musik populer Indonesia setelah polemik 1965. God Bless terbentuk dan merajai blantika olah vokal. Mengusung genre rock, God Bless hampir tiada tanding, hingga munculnya Soneta sebagai Orkes Musik satu-satunya yang mengusung dangdut sebagai musik asli Nusantara. Kerusuhan lapangan Tegalega -- Bandung seakan menjadi puncak perseteruan Rock dan Dangdut, yang masing-masing merasa lebih superior. Saling mengejek terjadi di akar rumput, khususnya pada kalangan yang merasa tidak puas dengan persaingan itu. Yapto Soerjosumarno bersedia mendamaikan kedua bintang, tetapi orang-orang lebih melihatnya sebagai sebuah inisiatif politik.
Perseteruan itu juga dipanas-panasi oleh media. Majalah AKTUIL yang sangat terkenal masa itu, dengan halus menyebut keduanya sebagai bajingan yang tidak perlu dibela. Hal itu tentu cukup tendensius, hanya supaya oplaag-nya meningkat. Sejak itu pula AKTUIL menjadi primadona di kalangan pencinta musik tetapi tidak ikut-ikutan fanatik karena secara sosial memang "sangat berbahaya"
Selain musik, AKTUIL juga memberi perhatian terhadap Sastra dan Budaya, meski tidak setajam HORISON yang digawangi Sutan Takdir Alisjahbana. Saya ingat salah satu artikel AKTUIL yang menampilkan puisi mbeling yang memang sangat nyeleneh.
 Terima Kasih, Tuhan, atas makanan ini
 Tetapi berhubung Boni barusan kentut
 Terpaksa Amin kami ganti menjadi jancook..!_
Seiring dengan itu, pemerintah juga punya banyak uang dari hasil Booming Oil. "Jenderal, ini proyek penting. Saya tidak tahu uangnya dari mana. Tetapi proyek ini harus tepat waktu dan tuntas", kata Jeffrey Winters menirukan ucapan pada Ibnu Sutowo.
****
Tahun 1977 muncul Ebiet G. Ade yang penuh dengan lirik balada. Beberapa lagu dikaitkan pula dengan soundtrack film yang menjadi legendaris. Sebut saja Badai Pasti Berlalu oleh Berlian Hutauruk. Tetapi pemenang Festival Radio dan TV mulai membetot perhatian. Sebut saja Broery Pesolima, Bob Tutupoli dan Hetty Koes Endang. Mereka berusaha konsisten, meski tidak terlalu terkenal dan lagu-lagunya tidak harus berhubungan dengan isu-isu sosial.
Kenaikan harga BBM pada 1982 disambut Iwan Fals dengan "Galang Rambu Anarki". Sejak itu pula Iwan menempatkan diri sebagai idola publik, meski terdapat pula sejumlah nama lain seperti Euis Darliah dan Arie Wibowo. [Dalam wawancara saya dengan Arie Wibowo beberapa tahun lalu, terkuak bahwa "Madu dan Racun" sebenarnya akan dirilis 1972 atau sepuluh tahun sebelumnya. Tetapi tidak jadi karena "memperhitungkan situasi"]. Endang S. Taurina turut pula meramaikan blantika musik Indonesia dengan lagu-lagu bernuansa militer, menyemangati ABRI masuk desa.
Orang-orang mengistilahkan suasana waktu itu sebagai lahirnya Pop Kreatif yang mampu mengimbangi lagu-lagu Pance Pondaag maupun Rinto Harahap. Tetapi tidak lama, mulai 1986 muncul pula Obie Mesakh dengan lagu-lagu cengeng yang dibawakan secara mendayu-dayu dan serial. Tidak dapat disangkal, kritik sosial paling tajam justru terlontar dari PSP (Pancaran Sinar Petromaks), dengan Jhony Iskandar sebagai tokohnya. April 1987, mereka merilis album "pacar-pacaran" yang meledak di pasar. Lagu bergenre dangdut kreatif ini sebenarnya menyoroti perilaku kumpul kebo yang banyak terjadi di tengah masyarakat kelas Atas hingga kelas Bawah. Pada periode yang sama pula, Majalah SENANG semakin populer karena setiap pekan selalu menampilkan ramalan Porkas, berisi 16 pasang nomor jitu yang akan keluar. Lagu cengeng dan ramalan buntut memang seolah menjadi padanan sosial yang serasi kala itu, diimbuhi oleh stabilitas ekonomi yang makin menina-bobokkan.