Hampir seminggu setelah meletusnya kudeta militer di Myanmar, Presiden Joe Biden menyeru, "Kami akan terlebih dulu melihat reaksi sekitar tentang kondisi kudeta". Tentu yang dimaksud adalah Thailand, Tiongkok, Kamboja, Malaysia, dan juga pastinya Indonesia. Tapi mengapa Biden tidak langsung ke sumber masalah? Apakah ini ciri perbedaan kontras dengan cara-cara presiden Republik melihat persoalan?
Sebenarnya tidak. Sejak Eisenhower, Asia Tenggara adalah sebuah "kawasan X" di Asia Pasifik yang perlu diperhatikan dengan cermat, termasuk secara sosiologis.
***
Tidak seperti militer Thailand, tentara Myanmar sama sekali tidak bertendensi kultural. Mereka dibentuk oleh kebutuhan persaingan dan konflik antar etnis serta perang antarsuku di pedalaman. Jenderal Aung San (1949) telah mengusahakan persatuan dan nasionalisme. Konsep Reorganisasi dan Restrukturasi tentara lahir di tangannya. Tetapi bapak tentara Burma itu tidak panjang umur. Sepeninggal Aung San, konflik sosial menyebar kembali, juga diimbuhi ketidak-mampuan pemimpin-pemimpin sipil berpolitik pada level kebangsaan. Oligarki pun tumbuh menyeruak tanpa terkendali.
Tidak terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa sejak dekade 1960an tak ada lagi negarawan yang lahir di tengah masyarakat Burma, bahkan hingga menjadi Myanmar (modern).
Tentu saja itu berbeda dari Muangthai. Sejak Dinasti Mongkut, raja adalah panglima tertinggi semua serdadu. Dapat pula dipastikan, semua rakyat tunduk pada raja tanpa kecuali. Raja adalah panutan, sebagaimana raja adalah philo sophia sekaligus teladan Theravada. Raja adalah kondisi ideal sekaligus fakta empirik yang terlalu diharapkan, meskipun akhir-akhir ini muncul pertanyaan besar, bagaimana semisal raja baru tidak sebijak ayahnya?
Seperti Myanmar, Vietnam dan Kamboja hampir setali tiga uang. Tetapi Perang Vietnam (1969-1975) 'mendidik' para serdadu mereka untuk menghormati peran dan jasa-jasa non-militer terhadap negara, khususnya tentang Nasionalisme dan Ideologi. Rezim militer dan wibawa kekuasaan tak ada artinya tanpa perjuangan gigih kelas sosial paling bawah, yang disana-sininya mengingatkan kita pada 'Vietnam Rose'; sebuah aforisma paling memalukan atas kekalahan pasukan Amerika Serikat di Asia Tenggara.
***
Sejak kemerdekaan-I dari Spanyol (1898), Filipphina memahami dirinya sebagai sebuah Nation yang ringkih. Tentu bukan soal negara kepulauan dan suku-suku yang proselitis, tetapi fakta bahwa posisi geografis mereka memang rentan diserang negara lain, sementara Spanyol tidak mewariskan blue print negara modern yang meyakinkan bagi negeri jajahan. Maka kolonialisme ke-II melalui Amerika Serikat seolah menjadi blessing disghuised.
Amerika Serikat lah yang membentuk angkatan perang Filipphina, sekaligus memperkenalkan gaya perang tradisional Amerika. Maka jangan heran jika sampai hari ini Filipphina selalu dijuluki negara berlagak coboy di Asia Tenggara, termasuk soal Demokrasi. Toh mereka tidak pernah merasa perlu malu soal Subic, pangkalan militer yang pada dekade 1980-an melahirkan sejumlah patologi sosial.
Setelah Corry Aquino, Jenderal Fidel Ramos menjadi presiden berikutnya. Di tangan Ramos lah ideologi dan proses Modernisasi militer Filiphina berhasil dibangun dan diperkuat.